webnovel

Istri Kecil Presdir

Keluarga Grissham memiliki 2 penerus. Hanya saja, lahir dari wanita yang berbeda. Gavin Grissham, penerus pertama dan tentu saja dari Istri pertama, seharusnya menjadi kebanggaan. Namun semua itu hanyalah sebuah mimpi. Davin Grissham terlahir tidak sempurna sehingga hanya tubuhnya saja yang berkembang pesat tapi otaknya memiliki IQ rendah dan membuat Gavin bersikap seperti anak yang berumur 5 tahun. Siapa yang sudi menikah dengan pria tidak normal? Sedangkan, menikah adalah syarat utama dari Tuan Grissham untuk mendapatkan hak waris. Guinnevere, Putri angkat Tuan Grissham harus menelan kepahitan itu karena dipaksa menggantikan Agatha menikah dengan Tuan muda Gavin. Bisakah Guin menerima Tuan muda Gavin?

Sabrina_Angelitta · Adolescente
Classificações insuficientes
304 Chs

5. Hari Bersamamu

Masalah yang rumit tidak akan bisa selesai hanya dalam satu gerakan. Benang yang sudah kusut harus secara perlahan diperbaiki, itu juga harus seseorang yang memiliki keahlian dan kesabaran. Sama halnya dengan permasalahan Keluarga Grissham.

Tuan Grissham yang terjebak cinta satu malam dengan Nyonya Amber dan akhirnya tumbuhlah Aland dalam rahim Nyonya Amber, membuat Tuan Grissham harus berbagi tempat.

Nyonya Calista meminta untuk bercerai, hanya saja Tuan Grissham tidak menyetujuinya. Meskipun sudah menikah lagi dengan Nyonya Amber, Tuan Grissham tidak pernah tidur di ranjang yang sama dengannya.

Tidak ada cinta, tidak ada perhatian, tidak ada hal yang tersisa dari Tuan Grissham yang bisa diberikan untuk Nyonya Amber. Semuanya tercurah hanya untuk Nyonya Calista tanpa terkecuali.

Nyonya Caslista tidak pernah menatap Tuan Grissham penuh cinta, melainkan menatapnya dengan penuh kebencian. Hal itu di anggap sebagai hukuman bagi Tuan Grissham atas pengkhianatannya.

"Mom, jangan bertengkar lagi," Nyonya Calista langsung menyingkir setelah Gavin menyadarkannya.

'Apa aku dan Guin akan bertengkar juga' batin Gavin.

***

Gavin memakai kaos dan jaket. Penampilannya sangat sederhana. Ya, meskipun memakai pakaian yang lusuh sekalipun, Gavin tetap tampak mempesona karena wajahnya yang mendukung.

Ralio selalu setia mengantar kemana pun Gavin ingin pergi. Kepercayaan Nyonya Calista dijaga dengan sangat baik olehnya.

"Gavin, kau mau kemana?" tanya Nyonya Calista.

"Mom, Guin," jawabnya.

"Jangan pulang terlalu sore. Makan tepat waktu ya," ucap Nyonya Calista. "Ralio, tolong jaga Gavin dengan baik. Hubungi aku kalau ada apa-apa dengannya," imbuhnya.

"Baik, Nyonya," jawab Ralio.

Mobil sudah meluncur di jalanan yang padat oleh kendaraan lain. Kecacatan Gavin patut untuk dicurigai karena Gavin bebas keluar rumah hanya dengan Ralio. Sayangnya tidak ada bukti untuk membuktikannya.

Gavin bukan hanya dibawa berobat 1 atau 2 kali, tapi sudah puluhan kali dan sampai mengelilingi dunia. Semua Dokter menyerah karena Gavin sendiri tidak memiliki keinginan untuk sembuh.

Semua surat keterangan dari Dokter, menjadi bukti bahwa kecacatan Gavin adalah nyata meskipun jika dilihat sekilas, semuanya tampak tidak jelas.

"Tuan muda, apa kita langsung menjemput Nona Guin?" tanya Ralio.

"Iya!" jawab Gavin singkat.

Sudah berapa meter jalanan sudah dilalui, sudah berapa banyak gedung terlewati, akhirnya Gavin sampai di Apartement milik Eve.

"Tuan muda tunggu di sini. Saya akan menjemput Nona Guin," ijin Ralio.

"Iya, Ralio," jawabnya patuh.

Belum sempat masuk ke dalam gedung, Guin sudah berada di depan mata Ralio. Sedikit terkejut karena Guin bisa mengetahui kedatangan Gavin sebelum Ralio menyusulnya.

"Selamat pagi, Nona Guin!" sapa Ralio.

"Iya!"

"Silahkan, Nona Guin. Tuan muda sudah menunggu di dalam mobil."

Gavin yang saat itu melihat Guin sudah berada tidak jauh dari mobil, langsung menurunkan kaca mobil dan mengeluarkan kepalanya. Tangannya melambai-lambai, juga senyumnya merekah seperti bunga yang siap menunjukkan betapa indah mahkotanya.

"Guin! Guin! Guin!" Gavin tidak berhenti berteriak memanggil nama Guin dan tidak memperdulikan pandangan orang lain yang melalui jalan itu.

Guin berlari supaya bisa lekas bertemu Gavin. Entah sejak kapan, dorongan hati untuk terus berada disamping Gavin mulai memenuhi hidupnya.

"Jangan melambai seperti ini. Bahaya," wajah Gavin tampak murung.

Guin yang khawatir jika Gavin dicemooh oleh orang lain, tanpa sadar berbicara dengan nada suara sedikit tinggi. Gavin tampak murung dan sedih mendengar ucapan Guin yang seperti sedang memakinya.

"Maaf! Aku hanya khawatir padamu," ucap Guin setelah masuk ke dalam mobil dan duduk disamping Gavin.

"Guin tidak marah padaku?" mata dibalik kacamata itu mulai berkaca-kaca.

"Siapa yang bisa marah dengan pria tampan sepertimu?" ucap Guin sembari melepaskan kacamata Gavin.

"Wajah Guin jadi tidak jelas," ekspresi malu dari wajah Gavin membuat wajahnya memerah.

Guin mendekatkan wajahnya, sangat dekat sampai-sampai hidung mereka hampir bersentuhan. "Kalau sedekat ini, apa masih tidak jelas?"

"Je—jelas!" ucap Gavin gugup.

'Ternyata Gavin juga bisa malu dan gugup. Apa semua yang bernasib sama dengan Gavin juga bisa berekspresi seperti dia?' batin Guin.

"Guin!" panggil Gavin setelah Guin termenung.

"Ahhhh! Ma—maaf Gavin," Guin langsung menjauh dari Gavin begitu sadar dengan apa yang baru saja dilakukannya.

Gavin terus menatap Guin tanpa memberi jeda waktu. Jalanan dan pemandangan indah dari pepohoman yang rindang, tidak dilirik olehnya karena Gavin terlalu sibuk memperhatikan Guin yang tersipu.

"Gavin, bisakah kau tidak menatapku?" tanya Guin tanpa menoleh ke arah Gavin.

"Apa Guin tidak suka lagi padaku?"

Guin menghela nafasnya. Bersama Gavin, mungkin dunia baru akan tercipta dengan sedikit kebahagian didalamnya. Hanya saja, Guin harus melatih kesabarannya.

Guin tidak tahu apa yang harus dilakukan, apa yang boleh dan tidak boleh untuk dikatakan. Guin sama sekali tidak mengenal Gavin. Setiap kali Guin bertanya, jawaban Gavin selalu sama yaitu Gavin berfikir kalau Guin tidak lagi menyukainya.

'Gavin, aku harus bersikap seperti apa? Bahkan anak kecilpun tahu kalau apa yang aku ucapkan tidak bermaksud seperti itu,' batin Guin.

Setelah emosinya tenang, Guin menoleh dan melihat Gavin yang sudah kembali memakai kacamatanya.

"Guin, tidak ada yang menyukaiku. Hanya Guin dan Mommy yang menyukaiku. Aku takut kalau Guin tidak suka padaku lagi," ucapnya sedih.

"Maaf! Gavin, aku tidak mungkin tidak menyukukaimu," tangan Guin mengusap kepala Gavin.

CKITTT...

"Ahhhhh!" pekik Guin.

Jalanan tidak ekstrim, tidak juga ramai. Ralio seperti sengaja mengerem mobilnya secara mendadak. Rencana yang tidak sia-sia karena Guin jatuh ke pelukan Gavin.

Ralio menahan tawanya. Matanya melirik ke arah Gavin seperti ucapan maaf. Guin sempat terkejut hingga memeluk Gavin tanpa sengaja. Bukannya melepaskan pelukan Guin, Gavin malah lebih mempereratnya.

"Gavin, bisa tolong lepaskan?" ucap Guin.

"Kata Mommy, kalau menyukaiku berarti Guin harus sering memelukku," jelas Gavin.

"Ap—apa? Te—teori dari mana itu?"

"Guin tidak mau memelukku?"

"Tunggu sampai kita menikah!"

Gavin tersenyum tapi senyum itu terlihat berbeda dimata Guin. Senyum itu penuh arti seperti pria dewasa yang sedang menyiapkan sebuah rencana atau pandangan mata yang seperti singa siap menyantap mangsanya.

"Tuan muda, Nona, kita sudah sampai," ucap Ralio.

Ralio membuka pintu untuk Guin dan Gavin membuka pintu untuk dirinya sendiri. Mereka sudah sampai di taman bermain. Taman yang dipenuhi dengan anak-anak atau orang yang sedang berkencang.

Gavin mengulurkan tangannya ke arah Guin dengan maksud untuk menggandeng tangan Guin seperti pasangan pada umumnya tapi cara Gavin sama sekali tidak terlihat romantis melainkan seperti seorang anak yang sedang takut terpisah dengan ibunya.

"Guin tidak ingin menggandeng tanganku?" tanya Gavin.

Lagi-lagi, ekspresi wajah sedih Gavin meluluhkan hati Guin. Guin akhirnya menerima tangan Gavin yang sudah dingin terkena terpaan angin.

"Gavin untuk apa mengajakku ke sini?" tanya Guin.

"Kencan!"