webnovel

DILEMA KARENA CINTA

Aku sudah tidak kuat, aku ingin pergi meninggalkannya tapi, karena aku masih cinta ... aku ingin mempertahankannya. Aku tidak bisa menjadi sosok yang kuat hanya karena aku sering meneteskan air mata. Hatiku ini hanya untukmu .... Bisakah kau perlakukan aku seadil mungkin seperti kau memperlakukan yang lainnya .... Jika kamu sudah acuh padaku, aku benar-benar akan pergi .... Meninggalkan orang yang benar-benar aku cintai ....

ANABANTINGAN · Urbano
Classificações insuficientes
20 Chs

006

"Eeeeeeee!!!" begitu Nana baru paham maksudnya masakan itu adalah memasak sendiri di rumahnya, sikap Nana yang terkejut dengan ekspresi tidak yakin itu membuat lelaki di depannya ikut terkejut juga.

"E-eh, kenapa?" tanyanya heran dengan wajah datarnya.

Nana tidak menyangka kalau laki-laki ini bisa masak, dia memastikan sudah mencopot alas kakinya dan mengunci rapat-rapat pintu dan jendela rumahnya lalu segera melangkah menuju dapur tanpa ganti baju terlebih dahulu ....

Dia segera membuka makanan apa yang ditutupi oleh penutup makanan yang terbuat dari rotan di atas di meja makan ini.

"...." Begitu membukanya, Nana berdecak kagum.

"Wow!!" tampak bukan seperti seorang amatiran yang bisa masak, kenapa masakannya dihidangkan dengan sangat rapi? Nana terpukau bahkan dia tak berkomentar sedikit pun.

Tapi, Nana ingat!

"Kalau begitu kita makan bakso dulu lah, makanannya bisa dipanaskan ulang nanti." Ucap lelaki itu dengan santai.

Nana juga punya microwave jadi tampaknya tidak akan repot kalau cuma memanaskan ulang saja.

Nana menutupnya penutup rotannya kembali, dia menoleh pada laki-laki yang ada di dekatnya ini sambil tersenyum lega.

"Baiklah," ucap Nana bersedia.

Nana malah merasa agak sungkan dengan dia yang segera tanggap menyiapkan dua mangkuk untuk dua porsi bakso dan menuangkannya segera.

Dia juga menyuruh Nana untuk ganti baju, cuci kaki, dan cuci tangan terlebih dahulu sebelum makan.

Nana sempat berpikir apa dia ini orangnya baik beneran atau pura-pura baik? Nana tidak bisa mempercayainya begitu saja.

"...." Karena meja makan di dejat dapur penuh, lelaki itu membawanya ke meja depan alias di ruang tamu. Dia juga menyiapkan es teh di gelas untuk Nana.

"Loh, mas gak minum es-nya?" tanya Nana heran karena dia hanya membawa satu es teh saja.

Dia menggeleng pelan dengan wajah datarnya, "Tidak." Jawabnya singkat sambil perlahan memakan baksonya yang polosan tanpa saos atau kecap atau sambal.

"...."

"Oh~"

"Es teh-ku kutaruh di dalam kulkas." Jelasnya lagi.

"Ya, baiklah."

Akhirnya mereka makan bersama-sama tanpa belum saling memperkenalkan dirinya satu sama lain.

Nana juga tidak terlalu mempedulikannya yang jelas saat dia lapar yang ada dalam pikirannya hanyalah makan. Dia mungkin terlalu frustasi bahkan rela memasukkan sesendok besar sambel sekaligus. Jujur itu sangat pedas sekali, terlihat di dahi Nana yang memunculkan banyak keringat dan tubuhnya menjadi gerah, tak segan-segan lelaki itu juga menawarkan es teh miliknya untuk diminum Nana.

Terpaksa Nana yang merasa lidahnya terbakar itu meminum dua gelas es teh hingga habis. Sontak semangatnya memakan bakso pedas dengan kuah merah yang telah dicampur saos hingga menghabiskan es tehnya membuat lelaki di dekatnya ini salut.

"Wah~ hebat!!" dia memujinya dengan wajah riangnya.

Sedangkan Nana masih memandangnya dengan kaku, terlihat belum bisa mengakrabkan diri padanya karena belum saling kenal.

Nana melihat mangkuk pria tersebut yang bersih tanpa makanan sisa, membuatnya berpikir ..., 'Apa lelaki ini selalu makan seperti itu?' seketika suasananya menjadi canggung. Dia juga secara refleks membereskan kedua mangkuk dan gelas yang ditumpuk menjadi satu. Sikapnya itu membuat Nana sebagai tuan rumah menjadi sungkan, "Ah~ biar aku yang mencucinya." Kata Nana dengan tegas.

"Hmm ... baiklah." Ucapnya dengan ekspresi biasa.

"Kamu sepertinya sudah melakukan pekerjaan rumah dengan baik, sebaiknya istirahat saja." Kata Nana yang menggiringnya di ruang santai depan televisi.

"Baiklah."Jawabnya singkat tanpa membantah Nana.

Nana segera membawa mangkuk dan gelas kotor itu ke dapur dan mencucinya di wastafel hingga bersih.

Pria itu benar-benar bersantai di depan televisi sambil memainkan smartphone-nya.

Kemudian, dia mengajak Nana berbincang-bincang ....

"Bagaimana pekerjaanmu tadi?" tanyanya memastikan.

"Apanya yang bagaimana?" Nana malah berbalik bertanya.

"Kamu telat, kan? Aku tahu kok, jam segitu baru berangkat pasti akan dicap sebagai keterlambatan." Dia menduganya dengan akurat.

Nana tak bergeming, dia berusaha mencuci mangkuk dan gelas sampai bersih hingga mengeringkannya di rak.

"Aku bisa membayarmu lebih dari pekerja kantor asal kau mau ikut bersamaku." Kata lelaki tampan itu dengan santainya, entah itu jujur atau tidak tapi, bagi Nana ini terdengar seperti dia sedang mengejeknya dengan menjanjikan gaji yang terdengar sangat menggiurkan.

Setelah mencuci mangkuk dan gelas, Nana berusaha memanaskan makanan ke dalam microwave agar bisa dimasak esok pagi.

"...?" Lelaki itu heran mengapa wanita yang diajak bicara ini tidak kunjung menjawabnya dan malah menyibukkan diri dengan melakukan beberapa aktivitas lain di rumahnya.

Tapi, begitu dia tengah sibuk memanaskan makanan ..., Nana tidak tahan.

Air matanya terjatuh tepat saat lelaki itu menghampirinya untuk mengeceknya memastikan wanita ini tidak terkena masalah lagi. Tentu saja siapa yang tidak khawatir kalau kedatangannya nanti akan menjadi petaka bagi sang tuan rumah ini.

Dia mendekatinya, dan berada di sampingnya, dia membuka mulutnya dan memberanikan diri untuk bertanya, "Kamu kenapa?" tanyanya pelan dengan nada lembut. Dia cemas, dan hanya bisa berpikir pasti karena keterlambatan tadi pagi.

Nana juga kaget lelaki itu menghampirinya dan melihatnya menangis, Nana sepertinya sudah tidak bisa menahan kesusahan yang selama ini dia pendam.

Lelaki itu tak tega dan meminta Nana bercerita.

Nana segera menghapus air matanya yang berlinang di wajahnya, dalam hati Nana berkata, "Sampai kapan aku hidup susah kayak gini, ya? Kalau aku boleh percaya pada laki-laki di depanku ini ...."

Beberapa menit kemudian, begitu sudah menanaskan makanan kembali, Nana hanya perlu menyimpannya di dalam microwave dan mematikannya.

Lelaki itu hanya bisa diam tanpa bertanya lagi, dia takut perkataannya menyakiti wanita yang ada di depannya ini.

Sebelum Nana meninggalkan ruangan itu, dia menjawab pertanyaannya, "Ya, aku telat dan dapat hukuman untuk tidak masuk selama satu hari lalu gajiku juga dipotong sehari itu juga. Dengan ini kau puas kan, kalau aku bisa merawatmu yang terluka seharian!?" ucap Nana dengan mulut sedikit bergetar karena sedih dan gugup.

Dia tadinya tidak ingin berbicara seperti ini dan ucapannya terdengar egois layaknya dirinya menyalahkan kehadiran lelaki itu, harusnya lebih lembut dikit tapi, karena dia tidak tahan menahan kekesalannya dalam dirinya ....

"Maaf, aku merepotkanmu ...." Ucapnya dengan ekspresi murung, "Tapi, soal aku yang akan membayarmu nanti adalah nyata. Mungkin kau belum mempercayaiku tapi, aku tidak bohong padamu." Jelas lelaki itu memandangnya serius.

Nana masih berdiri tegang dan hanya bisa meratapi nasibnya. Bagaimana dia bisa bilang menolongnya dengan ikhlas sementara dia masih kesal begini?

Dia ingin mengatakannya dengan jujur perkataan dari lubuk hatinya pada lelaki ini, "Aku memang tidak kenal denganmu, dan entah kamu siapa atau datang dari mana. Asal kamu tahu, hidupku ini selalu susah sedari dulu. Lalu, aku mencoba merantau ke kota ini karena ingin mendapatkan hidup dan pekerjaan yang layak. Tapi, sedari kemarin aku mendapatkan masalah dan merasa sudah tidak sanggup hidup lagi, aku bingung." Berharap perkataannya ini tidak membebani pikirannya, dan dia tidak mendengar permintaan maafnya lagi karena bukan salahnya.

Nana berpikir dirinya sendiri lah yang terlalu egois! Dia mengungkapkan semua isi hatinya dengan lancar agar merasa lega.

"...." Sementara lelaki itu masih terdiam dan menyimaknya.

"Aku ingin meyakini kalau kamu adalah orang baik. Aku memang tidak bisa percaya begitu saja pada orang apalagi aku khawatir telah membawa seorang pria ke rumahku ini. Tapi, begitu kamu menyambutku, membuatkan makanan untukku, aku ingin percaya kalau kau memang orang yang benar-benar baik bukan orang yang pura-pura baik, terutama soal ucapanmu tadi tentang dirimu yang menawarkanku untuk merawatmu."

Benarkah begini?

Laki-laki itu hanya tersenyum tipis dan menepuk pundak Nana yang tegang itu, dia berbisik pada Nana yang masih diselimuti kesedihan.

"Tenang saja, aku orangnya baik, kok. Bukan sejahat atau semunafik yang kau pikirkan." Jawabnya dengan lembut, dia juga merasa iba dengan hidup Nana.

"Kalau begitu, siapa dirimu?" Nana berbalik dan bertanya padanya sambil menatapnya serius.

"Aku ...."

________

To be Continued