Di sebuah cafe gazebo yang masih belum terlalu ramai pengunjung di jam sore seperti itu, terlihat Leon dan Frans sedang duduk berdua saja di dalam salah satu gazebo di situ.
Wajah mereka terlihat sama-sama serius tanpa ada senyuman sedikitpun, di meja terlihat beberapa macam makanan ringan, dua botol aqua ukuran sedang dan dua cangkir kopi yang di pesan oleh mereka.
"Apakah kamu sudah yakin dengan hasil tes itu Leon?" suara Frans terdengar berat keluar dari tenggorokannya.
"Apakah kak Frans meragukan kinerja kami dari pihak medis. Ya sudah tentu itu benar."
Leon yang mempunyai hubungan kerabat dari keluarga ayah Frans itu memang sejak kecil sudah biasa memanggil Frans dengan sebutan kakak, usia merekapun juga terpaut jauh, tahun ini Leon berusia dua puluh delapan. Meskipun jarang sekali bertemu, namun hubungan mereka berdua lumayan dekat setelah kematian kedua orang tua Leon dua tahun lalu pada sebuah kecelakaan tragis. Leon dan Frans sama-sama anak tunggal, secara tidak langsung Leon menganggap Frans seperti kakak kandungnya.
"Lalu...?" tanya Frans seperti pada dirinya sendiri.
"Lalu apa? Kenapa mesti bertanya padaku, jika kak Frans mau aku membantu untuk menggugurkannya, aku tidak mau. Aku takut masuk neraka nantinya."
Nada bicara Leon terdengar kesal sekali. Dengan kasar dia meletakkan garpu di tangannya ke atas piring sehingga menimbulkan suara berisik. Lalu di teguknya kopi dari cangkirnya.
Sebenarnya sejak tadi pagi saat Frans menceritakan perihal hubungan Frans dan Clara yang akhirnya membuat Clara sekarang terbaring dalam salah satu kamar di kliniknya, Leon sudah kesal sekali. Lebih kesal lagi waktu dia melakukan tes darah dan urine Clara, dia temukan Clara sedang hamil, tapi dia masih menghormati dan peduli pada Frans sebagai kakaknya.
Sejak satu jam yang lalu mereka berdua duduk di gazebo itu, sudah hampir sebungkus rokok habis di hisap oleh Frans tanpa berhenti.
"Bagaimana perasaan kak Frans pada gadis itu, kamu mencintainya?"
"Aku tidak tau.. Kamu tau posisiku kan Leon.."
"Seharusnya kak Frans yang tau posisimu sendiri sebelum membuatnya hamil." suara Leon terasa menghunjam dada Frans.
"Leon please... Aku pusing sekali, aku tidak tau lagi harus bagaimana, bantulah aku mencari jalan keluar."
Leon memperhatikan Frans yang kusut dan acak-acakkan, hanya dalam sehari Frans berubah menjadi seperti orang lain, tidak seperti Frans yang di kenalnya selama ini.
Leonpun menyadari saat ini Frans bukan saja harus menghadapi masalah dalam rumah tangganya nanti, tapi jika hal ini tersebar, pekerjaannyapun juga terancam.
Leon mulai meneruskan menghabiskan kentang goreng yang ada di piringnya.
"Tadi siang aku mengobrol banyak dengan gadis itu, aku rasa dia gadis yang baik, hanya mungkin kedekatan kalian di mulai dengan hal yang salah."
"Hah?" Frans seperti orang linglung menatap Leon.
"Terutama kak Frans yang paling salah. Kamu sebagai seorang guru dan seorang suami seharusnya tidak melakukan hal itu."
"Memang aku yang salah.."
"Aku menyukai gadis itu."
"Iya.." suara Frans datar.
"Aku serius."
"Iya.."
"Kak Frans!" Leon mengeraskan suaranya,"Kau mendengarkan aku bicara atau tidak?"
"Iya, aku dengar.. Aku dengar."
"Aku rasa kau terlalu egois, saat ini kamu hanya memikirkan dampak negatifnya pada dirimu saja, tapi kamu tidak betfikir dengan nasib Clara."
Frans menghembuskan asap rokoknya kuat-kuat ke udara, lalu menatap mata Leon.
"Aku bukan anak kemarin sore Leon, tentu saja aku juga memikirnya. Tapi lihatlah posisiku sekarang, apa yang bisa aku lakukan."
Leon balik menatap membalas tatapan mata Frans.
"Baiklah aku mengerti. Hidup tenanglah dengan kak Sheyla, jangan hubungi lagi Clara, biar aku yang mengurusnya."
"Maksudmu?"
"Aku menyukainya, aku mau menikahinya."
Frans tertegun mendengar kata-kata Leon.
"Lalu... Bayi itu.."
"Itu bukan urusanmu. Aku harap setelah kita pergi dari sini, kak Frans jangan singgung soal bayi itu lagi, biarkan ini hanya kita bertiga saja yang tau." ujar Leon tegas.
Dua orang lelaki tampan itu masih saling memandang dalam kebisuan, meskipun berjuta kalimat bermunculan di kepala mereka masing-masing.