Sesuai janjinya, Farani menjemput Raffi setelah selesai kuliah. Jam menunjukkan pukul 11.30 WIB, waktu yang tepat untuk makan siang. Setelah berpisah dengan teman-temannya, Farani mengirim pesan kepada Raffi. Memberitahukan kepada pangeran tampan itu bahwa dia sedang dalam perjalanan ke rumah untuk menjemputnya.
"Mau kemana kita?" tanya Raffi saat memasang seatbelt-nya.
"Udah diem aja, ntar juga tau tujuan kita." Farani mulai fokus berkendara.
Sebelum ke tempat tujuan yang masih dirahasiakan, Farani dan Raffi mampir untuk makan siang. Cacing di perut Farani sudah tidak bisa menolerir lagi kelaparan yang dia rasakan. Ditambah lagi memang dia berjanji akan menraktir Raffi saat mereka pergi.
Memperhatikan waktu yang akan terbuang saat mereka makan siang dan lama perjalanan kalau Farani yang mengendarai mobil, kemungkinan mereka akan sampai tempat tujuan paling cepat jam tiga sore. Membayangkan saja sudah membuat Raffi pusing. Tapi mau bagaimana lagi, dia sudah terlanjur di 'booking' oleh Farani. Yang anehnya langsung disetujui oleh Raffi tanpa diselidiki lebih dulu.
Tak disangka, begitu pesanan mereka datang, Farani hanya perlu waktu sepuluh menit untuk menghabiskan makanannya. Sungguh rekor makan tercepat yang pernah Raffi lihat sepanjang hidupnya. Bahkan ketika makan siang Farani sudah ludes, piring Raffi masih separuh jalan menuju perut. Mau tidak mau Raffi juga segera menyelesaikan makan siangnya.
"Tumben lo cepet makannya?" tentu saja Raffi bertanya-tanya.
"Biar nggak buang waktu." Jawab Farani sambil membuka pintu. "Ayo buruan, biar nggak kesorean."
Raffi sudah mulai bisa menebak kemana mereka akan pergi. Tempat tujuan Farani tidak pernah berganti, pantai. Satu jam perjalanan menuju pantai terdekat yang ada di kota Yogyakarta.
Matahari masih bersinar dengan penuh semangat saat keduanya menginjakkan kaki di pantai. Karena ini hari kerja dan masih termasuk jam kerja, pantai terlihat lengang. Hanya ada beberapa pengunjung yang terlihat. Setelah beberapa saat berjalan menyusuri pantai, akhirnya Raffi dan Farani berteduh dibawah pohon yang rindang.
Farani menampakkan wajah seriusnya.
"Raff, makasih buat semuanya. Lo udah meluangkan banyak wkatu dan tenaga buat hibur gue kemarin-kemarin." Ucap Farani sebagai pembuka obrolan.
"Kemarin doang? Sebelum-sebelumnya nggak dianggap?" Raffi mulai protes.
"Ya nggak sih." Jelas Farani menjadi salah tingkah.
Raffi lalu tersenyum. "Gue seneng bisa bantu lo. Paling nggak gue masih ada kegunaannya sebagai temen."
Dalam hati Farani yang paling dalam, dia sangat bersyukur memiliki sahabat yang sangat baik dan penuh pengertian seperti Raffi. Bahkan dia masih mau membantunya meski Farani sudah pernah menolak perasaannya. Bagaimana perasaan Raffi saat itu dan sekarang? Bagi Farani, dia hanya ingin bisa melewati masa yang tidak-baik ini dengan baik. Tanpa perlu menyakiti perasaan orang lain.
"Thanks, Raff, gue bener-bener nggak tau bakal kek gimana kalo nggak ada lo." Sekali lagi Farani mengucapkan terima kasih dengan tulus.
"Nggak usah sok mellow gitu ah, gue jadi geli ngeliatnya."
Seketika Farani langsung memukul lengan Raffi. Bahkan tanpa ampun menghujani Raffi dengan tendangan yang berbahaya. Meski terlihat sangat kesal, wajah Farani tidak bisa menyembunyikan senyumnya. Terasa sedikit aneh saat dia mulai mengembangkan senyum. Beberapa otot wajahnya terasa kaku.
*
Fareza memutuskan akan kembali ke Samarinda hari Sabtu. Berbarengan dengan Raffi yang juga akan berangkat hari itu juga. Dan jam terbangnya pun hanya berbeda setengahnya, Fareza akan berangkat terlebih dahulu.
Ayah dan Bunda memeluk putra kesayangannya dengan erat, mengisyaratkan bahwa kedua orangtua itu enggan berpisah. Farani yang tenggelam diantarapelukan itu tidak dapat berbuat banyak selain pasrah. Diantara keempat orang itu, hanya Farani yang bertubuh minimalis. Sungguh perbandingan yang sangat tidak adil.
Dari kejauhan, Mama dan Papa serta Raffi muncul. Ketiganya berjalan menuju keluarga Farani.
"Udah kangen Paris heh?" goda Fareza saat melihat Raffi dengan koper jumbonya.
"I have to. Mau gimana lagi?" jawab Raffi dengan pasrah.
"Nggak papa, 3 tahun lagi juga kelar." Papa berusaha membesarkan hati putranya.
Raffi menarik tangan Farnai, menjauh dari kumpulan orang-orang yang selalu saja mengganggu dirinya saat berkumpul bersama.
"Ada apa?" tanya Farani penasaran.
"Be a good girl. Fokus kuliah dan kerja kalo udah lulus." Raffi menatap Farani dengan penuh makna. "Mungkin ini terlalu cepet, tapi gue masih bakal nunggu lo."
Farani sedikit kaget dengan perkataan Raffi. Flash back ke tahun lalu saat Raffi akan berangkat ke Paris, dia memang berkata akan menunggu Farani. Karena saat itu Farani sudah berpacaran dengan Sita, dengan tegas Farani menolaknya. Tapi bagaimana dengan sekarang? Farani tidak terikat hubungan dengan lelaki manapun.
"As you said, ini memang terlalu cepat. Gue belum mau mikirin itu dulu." Raut wajah penyesalan Farani tergambar jelas. Untuk kedua kalinya dia menolak Raffi. "Gue bakal fokus kuliah dan kerja dulu. Ngikut arus yang udah direncanain Tuhan."
Raffi mengangguk dan tersenyum. Dia sudah bisa menebak apa yang akan dikatakan oleh gadis itu. Meski ini penolakan yang sedikit mengecewakan, tapi Raffi tetap menerimanya dengan lapang dada. Karena bagaimanapun Raffi berusaha mengerti tentang perasaan Farani yang mungkin masih berduka atas kepergian Sita.
"I know." Raffi mengusap kepala Farni dengan sayang. "Stok sabar gue masih banyak kok."
"Jangan lupa bahagia dan menikmati hidup. Jangan lupa juga ikut blind date, banyak ikan di laut."
Farani tahu dia tidak boleh terlalu lama menggantungkan Raffi. Meskipun saat ini jawabannya sudah jelas dan Raffi kekeh untuk mempertahankan perasaannya, Farani tetap ingin Raffi menikmati hidupnya. Hidup selayaknya orang-orang kebanyakan agar tidak menyesal dimasa tuanya.
"I will. Dan gue juga berharap lo juga menikmati hidup setelah ini dan selamanya."
Keduanya berpelukan sebagai tanda persahabatan dan juga perpisahan. Jika Tuhan menghendaki, mereka akan bertemu paling cepat tiga tahun lagi. Atau mungkin dua tahun? Tidak ada yang tahu masa depan. Mesk manusia sudah merencanakannya dengan sempurna tapi bila Tuhan berkehendak lain, tetap rencana itu tidak akan terlaksana.
Kedua keluarga itu melepas kepergian Raffi dengan penuh haru, bahkan lebih haru daripada saat mengantarkan Fareza tadi. Meski terpisah jarak dan waktu yang tidak sedikit, mereka masih bisa saling berkomunikasi. Disitulah keberuntungan yang diperoleh pada era digital ini.
Saat meninggalkan bandara, pikiran Farani berlari ke kenangan yang telah mengisi memorinya selama setahun terakhir ini. Betapa dia sangat beruntung bisa bertemu dengan beberapa orang yang baik dan sayang kepada dirinya. Mereka yang mengajarkan banyak pelajaran berharga tentang kasih sayang dan juga saling menghargai.
'Sita, terima kasih buat segalanya. Terima kasih udah milih gue buat jadi someone special lo meski nggak lama. Terima kasih juga untuk limpahan kasih sayang yang lo bagi ke gue. Dangue juga minta maaf, karena nggak bisa nemenin lo disaat terakhir. Walaupun perpisahan ini menyakitkan, tapi gue lebih percaya lo lebih baik di tempet lo sekarang.'
Pesan itu terkirim ke nomor Sita. Entah siapa yang akan membacanya, Farani tetap berkeyakinan bahwa dia mengirimkan pesan itu untuk Sita.
Sebelum menyimpan HPnya, Farani mengetikkan pesan sekali lagi. Kali ini untuk Raffi.
'Raff, terima kasih buat semua yang udah lo kasih ke gue. Dan makasih lo masih mau nemenin gue disaat yang paling buruk dalam hidup gue beberapa waktu lalu. Gue harap lo bahagia.'