58 Aku Bisa

Ijin bolos yang diajukan Farani telah habis. Tak terasa tiga hari itu berlalu dengan cepat.

Selama membolos, Farani sengaja mematikan HP, agar dia bisa tenang dan fokus untuk mempersiapkan diri menghadapi kenyataan. Begitu HP dinyalakan, ada banyak pesan dan panggilan tak terjawab dari beberapa orang.

Ketiga sahabatnya, Amel, Tika dan Sasha menanyakan kenapa dia tidak terlihat di kampus. Lulu yang terus berusaha mengontaknya berusaha agar Farani ada teman mengobrol. Raffi pun juga melakukan hal yang sama. Juga Kia.

Pesan itu dikirim pagi ini. 'Walaupun udah nggak jadi pacar kakak, boleh kita tetap temenan?'

Mau tidak mau Farani mengembangkan senyumnya.

'Tentu aja boleh. Kita harus saling kontak biar nggak ilang.'

Di ruang makan, keluarganya sudah menunggu Farani untuk sarapan. Melihat wajah yang penuh semangat dari keluarganya membuat Farani seperti mendapat sengatan energi positif. Dan Fareza sudahkembali berkumpul disini.

"Gue anter ke kampus." Kata Fareza begitu elihat adiknya duduk di kursi.

"Jangan buru-buru. Habiskan sarapan baru boleh berangkat." Omelan Bunda mulai terdengar.

"Siap Bos!" ucap Farani sambil memberikan hormat komandan.

Kantung mata Farani memang belum sepenuhnya hilang, tapi berkat beberapa trik make up yang dia pelajari dadakan mereka sedikit tersamarkan. Dan memang baru tadi malam Farani bisa tidur sedikit lebih lama dari beberapa hari yang lalu. Itu pun karena Fareza setia menemaninya.

Tiga anggota keluarga berpamitan untuk mengerjakan kegiatan mereka, meninggalkan Bunda di rumah sendiri seperti biasanya. Ayah berangkat kerja lebih awal, Fareza akan mengantar Farani berangkat kuliah.

"Kapan lo balik?" pertanyaan itu menggaluti pikiran Farani beberapa hari ini.

Sekembalinya Fareza dari Jakarta, Farani merasa seperti ada orang kepercayaannya yang bisa diandalkan. Itu sebabnya dia bisa menikmati tidur beberapa jam meski terkadang harus terbangun karena mimpi aneh yang terus datang. Tapi ketika harus menghadapi kenyataan bahwa kakaknya harus kembali ke Samarinda untuk bekerja, itu terasa menakutkan bagi Farani.

"Harusnya kemarin, tapi ini lagi nego. Mungkin Senin mulai kerja lagi." Jawab Fareza.

"Minggu lo balik?"

"Sabtu lebih tepatnya."

Sekarang hari Rabu. Untuk sampai ke hari Sabtu, itu berarti ada tiga hari lagi sebelum Fareza kembali bekerja. Dalam waktu tiga hari ini Farani bertekad untuk memulihkan pikirannya. Berusaha sebaik mungkin untuk bisa melanjutkan hidupnya seperti biasa. Memang banyak yang akan mendukung dan membantunya melewati masa ini, tapi tetap saja Fareza adalah orang yang selama ini menjadi tempat curahan hati Farani.

"Nanti dijemput nggak?" tanya Fareza begitu sampai di depan kampus Farani.

"Nggak, gue mau bawa balik Pinky."

Fareza menganggukkan kepalanya, lalu berlalu meninggalkan Farani di pintu gerbang kampus.

Setelah menarik napas panjang, akhirnya Farani berjalan memasuki kampus. Langsung menuju ruang kelas karena kuliah akan dimulai beberapa menit kemudian. Ditambah lagi ketiga sahabat Farani yang sudah menunggunya di kelas sudah mulai meributkan kenapa dirinya tidak juga muncul.

Baru saja Farani duduk di bangku yang ada disamping Amel dan bersiap untuk melepas rindu dengan ketiganya, dosen tampan memasuki ruangan. Langsung saja semua mahasiswi yang ada di kelas itu terdiam. Mereka terpesona dengan ketampanan sang dosen yang menyejukkan mata.

*

Raffi membolak-balikkan HPnya dengan tidak sabar. Sudah satu jam lebih dia memikirkan berbagai cara untuk memulai berkirim pesan, tapi sampai sekarang dia belum memiliki ide brilian. Raffi tahu hari ini Farani sudah mulai berangkat kuliah, dan dia juga tahu jadwal kuliah gadis itu. Seharusnya sekarang Farani sudah selesai kuliah.

"Kok gue jadi galau gini? Padahal cuma mau kirim pesan ke Adek." Kata Raffi dengan frustasi kepada dirinya sendiri.

Melihat HP sekilas yang masih tenang, akhirnya Raffi melemparnya ke sofa lalu turun untuk mencari udara segar. Rumah terasa sepi dan dingin karena baru saja hujan berhenti, tapi sebagai gantinya udara segar khas hujan tersebar. Membuat Raffi sedikit tenang.

Ting tong.

Mendengar bunyi bel, Raffi sedikit heran. Siapa yang akan berkunjung ke rumahnya? Kalau itu teman Mama, harusnya bukan karena Mama sendiri belum pulang kerja. Dengan langkah penasaran, Raffi berjalan dan membukakan pintu.

Sedikit terkejut dan heran, itu yang dirasakan Raffi. Bagaimana tidak, ternyata tamunya adalah Farani. Ini bukan hal yang biasanya dia lakukan. Karena Farani pasti akan langsung masuk begitu tahu di rumah ada orang. Begitulah kebiasaan Farani selama ini.

"Hai." Senyum lebar dan sumringah tergambar di wajah Farani.

"Hai." Jawab Raffi, masih keheranan.

"Lo nggak ngajak gue masuk?"

"Ngapain? Bukannya biasanya lo main masuk?"

Pipi Farani langsung mengembung dan tatapannya tajam, tanda Farani tidak senang. Tapi itu terlihat sangat menggemaskan bagi Raffi. Dan hampir saja Raffi mencubit pipi itu saking gemasnya.

Merasa kecewa dengan sambutan yang diterimanya, Farani langsung kembali ke kebiasaan lamanya masuk ke rumah Raffi tanpa permisi. Bahkan dengan sengaja Farani menabrak Raffi yang menghalangi pintu masuk.

Ini anak orang labil banget, bentar senyum bentar ngambek, batin Raffi sambil mengikut Farani berjalan masuk ke dalam rumah.

Kali ini Farani sudah bersikap seperti biasa. bahkan bisa dibilang lebih cuek karena dia menyiapkan kue yang dibawanya hanya untuk dirinya sendiri. Juga kopi untuk teman menghabiskan kuenya.

"Buat gue mana?" protes Raffi.

Dengan tatapan tajamnya, Farani tidak berkomentar. Dia masih saja menikmati kue yang dibawanya dengan tenang, seolah-olah hanya dirinya saja yang berada di depan televisi. Mendapati dirinya diperlakukan sebagai penjahat, Raffi hanya bisa pasrah. Raffi bahkan tidak berani mengeluarkan suara ataupun membuat pergerakan. Takut kalau-kalau Farani menjadi lebih buas karena terusik ketenangannya.

"Lo sibuk?" akhirnya Farani membuka mulutnya.

Keheningan yang bertahan cukup lama itu akhirnya pecah. Bagaikan mendapat angina segar, hati Raffi terasa ringan dan seolah bisa menerbangkan tubuhnya ke angkasa.

"Nggak. Cuma prepare buat balik kuliah. Kenapa?"

Farani menghela napasnya sebelum menjawab. "Kapan lo balik?"

"Tiga hari lagi. Kenapa?"

"Ayo jalan. Gue traktir."

Raffi seolah tidak mempercayai pendengarannya. Farani mengajak dia untuk jalan? Itu berita yang sangat berharga untuk dilewatkan. Andai saja Raffi tidak bisa menahan diri, pasti dia akan keceplosan melontarkan pertanyaan tidak masuk akal.

"Oke. Kapan?"

"Besok gue jemput abis kuliah."

"Oke." Jawab Raffi sambil menganggukkan kepalanya.

Setelah menyampaikan maksud kedatangannya, Farani lalu berpi begitu saja dari rumah Raffi. Tanpa pamit dan juga tanpa membereskan piring dan gelas yang dia pakai. Tapi sang tuan rumah tidak keberatan karena tidak mengajukan protes.

avataravatar
Next chapter