Satu Minggu sudah Dito dirawat di rumah sakit, setiap harinya Naya pasti menemani Dito yang bergantian dengan ayah ibunya. Naya merasa dirinya menjadi bagian dari keluarga Dito, kehangatan keluarga yang tidak ia dapatkan dari keluarganya justru didapatkan di sini.
"Nay!" Panggil Seno yang membuat Naya terkejut ketika membuat sarapan pagi.
"Panggil Naya, bukan Nay!" Tegur Naya.
"Kenapa?!" Heran Seno.
"Nay itu hanya untuk Dito! Orang lain tidak boleh memanggilku Nay." Jelas Naya yang membuat Seno mendecih tak suka.
Seno pun langsung duduk di kursi makan, menunggu masakan Naya seperti biasanya. Masakan Naya membuat dirinya kecanduan, ia tak mau makan lagi di restoran mahal karena rasanya terkalahkan oleh masakan Naya.
Ketika Naya sedang menyelesaikan masakannya, pikirannya beralih ke masalah dana pengobatan Dito. Ia sangat ingin membantu, tapi untuk kebutuhan sehari-hari pun sangat sulit bagi Naya untuk mendapatkannya.
Tanpa malu, Naya berbalik badan dan menghampiri Seno. Ia berniat meminta agar gajinya dibayarkan lebih awal, agar dirinya bisa membantu Dito.
"Dito?!" Seno mengulangi dengan intonasi yang tak percaya.
Akhirnya tidak kepercayaan Seno terjawab langsung oleh anggukan Naya. Tapi sebelum mengiyakan permintaan Naya, ia menyuruhnya untuk duduk di hadapannya.
"Kenapa sih hubungan kamu sama si cowo tengil itu Deket banget?!" Seno kepo.
Tapi kekepoan Seno digebrak langsung oleh Naya, ia tidak suka sahabatnya itu dipanggil cowo tengil. Seno tidak tau Dito sangat berharga sekali di dalam hidup Naya, Seno pun tidak tau bagaimana kesetiaan Dito terhadap Naya.
"Jika memang mau membayar gajiku di awal, ya laksanakan. Tapi jika enggan pun aku tak masalah. Asal jangan sekali-kali lagi memanggil Dito dengan seperti itu!" Kecam Naya yang langsung bangkit menyajikan masakannya untuk Seno.
Seno termegun, ia cemburu berat Naya melakukan pembelaan untuk Dito di hadapannya. Naya tidak menghargai perasaannya yang memang benar mencintainya.
Karena rasa kesal masih ada di dalam dada Naya, ia pun sedikit menambahkan garam ke dalam masakannya. Membiarkan Seno keasinan dan tidak akan peduli dengan itu semua.
"Kamu sudah makan?!" Tanya Seno yang berusaha mengembalikan suasana panas ke suasana biasa.
Naya menggeleng, ia memang belum makan di kosannya. Bagaimana bisa makan, berasnya pun tidak ada di rumah. Naya benar-benar dalam keadaan sengsara. Maka dari itu ia mengharapkan uang gaji dari Seno.
"Duduklah dan makan bersamaku!" Titah Seno yang terlihat sudah melupakan kejadian barusan.
Naya duduk dan tidak akan memakan oseng buncis yang dipadukan dengan telur bubuk. Alasan pertama Naya memang tidak suka, dan alasan kedua Naya tidak mau makan makanan yang sangat asin. Tapi Naya tidak akan memberitahu Seno jika oseng buncisnya asin.
"Ada apa dengan diri gue sendiri? Gue gak bisa berlama-lama marah sama wanita satu ini. Gue juga gak bisa melihatnya sedih dan sengsara, padahal gue tau siapa diri gue sendiri. Pria gagah perkasa yang tak takut siapapun dan apapun. Pria keras kepala dan tak punya banyak waktu untuk hal seperti ini. Semua yang ada di diri gue hancur lebur olehnya!" Seno membatin. Tatapannya sangat dalam dan melekat di wajah Naya yang sangat bersih.
Tatapan Seno yang berbinar langsung berubah seketika ketika suapan pertama masuk ke dalam mulutnya. Ia merasakan asin yang luar biasa. Tapi ia tak mampu mengeluarkan makanan itu di depan Naya, ia takut hati Naya terluka olehnya.
"Keluarkan saja jika sudah tidak tahan menahan rasa asinnya!" Batin Naya menyeringai.
"Sebentar, rasanya aku ingin pipis." Ucap Seno dengan suara yang samar karena mulutnya masih penuh dengan makanan. Ia bangkit dan melangkah terburu-buru menaiki tangganya. Pipis adalah cara lain untuk menyembunyikan keasinan pada makanan yang ia makan.
Naya tertawa puas saat melihat itu, ia benar-benar berhasil memberikan pembelajaran pada Seno. Pada saat itu juga Naya mulai menyuapi mulutnya dengan nasi yang dipadukan dengan bakmi goreng. Rasa yang crispy membuat dirinya terbang dan mengingat kepuasan yang telah ia lakukan barusan pada Seno. Membuat kedua matanya terpejam dan senyumanya sedikit mengembang.
Seno yang baru saja tiba dari kamarnya setelah membuang makanananya langsung terpesona hebat dengan kecantikan Naya yang sedang terpejam manis. Dengan cepat ia merogoh handphone-nya dari saku celananya, lalu ia mengabadikan wajah Naya dengan jetrekan yang lumayan banyak.
"Manis sekali!" Puji Seno di dalam hatinya.
"Kenapa?!" Tanya Seno yang berpura-pura tidak mengetahui apa-apa.
Naya langsung membuka matanya dengan cepat, ia menggeleng enggan menjawab. Kegugupannya membuat Seno mencurigainya, tapi ia tidak bisa menuduh langsung jika Naya telah berbuat sesuatu pada masakannya.
"Sepertinya kamu harus mencoba oseng buncis ini deh," bujuk Seno yang langsung menuangkan oseng buncis di atas piring Naya.
Naya melotot, ia tak bisa memakan buncis dengan alasannya sendiri. Tapi Seno mempunyai cara lain agar Naya bisa memakan oseng buncis itu. Seno menawari satu suapan dengan satu juta rupiah. Pikirnya tentu Naya tidak akan menolak, tapi kenyataannya Naya kekeh menolak tawaran Seno.
"Satu suapan, dua juta!" Seno terus membujuk.
Tawaran yang sangat menggiurkan, di sana Naya langsung mengalokasikan uang yang akan didapatkan jika dirinya menerima tawaran dari Seno.
Melihat Naya tak bereaksi, akhirnya Dito terus menawarkan hal-hal yang diluar dugaan. "Satu suapan, tiga juta. Ditambah dengan gaji yang akan dibayar dua kali liapat!" Tawarnya dengan mata yang berbinar.
"Deal!" Jawab Naya sambil mengambil cobeknya dari koper kecil pemberian Seno.
Ia menuangkan nasi, oseng buncis, dan bakwannya dari piring yang ia pakai sebelumnya. Lalu ia mengaduknya dengan rata.
Seno tidak memperdulikan apa yang dilakukan Naya barusan, ia hanya ingin menyampaikan jika masakan Naya benar-benar asin.
Di sisi lain, Dito sarapan dengan keterpaksaan. Semangatnya menurun karena tidak ada masakan Naya dan masakan ibunya yang tersaji untuknya. Hanya ada makanan rumah sakit yang terasa hambar dan tidak membuat rasa laparnya hilang.
"Mi, berapa jam lagi Naya ke sini?!" Tanya Dito pada ibunya yang juga sedang sarapan pagi.
"Naya itu lagi kerja, mungkin seperti biasa di jam siang." Jawab ibu Dito sambil menoleh ke arah anaknya yang sedang sarapan.
Ayah Dito sudah tidak ada di sana karena harus datang lebih awal ke pasar untuk melayani pelanggan setianya yang sedang membutuhkan sayuran segar dari warungnya.
Melihat lagi masakan rumah sakit, membuat Dito merengek. Tapi dengan terpaksa ia kembali menyumpali mulutnya dengan makanan rumah sakit. Di dalam hatinya sudah sangat cerewet menunggu kedatangan Naya. Ia ingin makan masakan Naya lagi, sudah satu minggu dirinya tidak mencicipi masakan Naya yang super lezat.
"Kangen!" Lirihnya yang membuat ibunya langsung melotot. "Apa?!" Tanyanya syok.