webnovel

Bukan Istri Tapi Estri

Karena impian bodoh Endra, dia harus terjebak dengan perempuan sadis yang bernama Sarah dengan menjadi seorang suami. Sialnya, perempuan sadis yang awalnya Endra anggap seperti malaikat justru berubah menjadi iblis yang meneror hari-hari indahnya menjadi semakin suram. Bagaimana Endra akan menghadapi Sarah? Dan mampukah Endra melepaskan diri dari cengkeraman kesadisan Sarah yang selalu berperan sebagai istri yang baik di depan ibunya sendiri?

AdDinaKhalim · Urbano
Classificações insuficientes
247 Chs

#003: Bidadari Itu Bernama Sarah

Meski awalnya Endra sangat berterima kasih pada Sarah karena telah menolongnya. Dan langsung meminta berkenalan dengan Sarah. Rupanya Sarah membalas, kalau preman itu sudah pernah mencuri barang berharganya dan memukul preman itu sebagai balasan saja. Sama sekali tidak berniat menolong Endra. Terlebih nada kalimat yang diucapkan Sarah sangat tidak mencerminkan kecantikan wajahnya yang melebihi bidadari, tapi lebih menyerupai nada suara preman tadi. Tapi meski begitu, Endra masih berpolos hati dan tetap ber-positif thinking. Hingga akhirnya Endra memutuskan untuk menjatuhkan pilihannya pada Sarah.

Pada saat Sarah berlalu pergi dengan naik mobil pribadinya, maka Endra langsung menyetop pengemudi motor yang lewat di depannya dan menyuruhnya untuk mengikuti mobil Sarah. Dan berakhir di depan kantor SR Fashion.

Dari situ Endra memutar otak untuk bisa mengenal Sarah, karena waktu itu Endra masih menyebutnya sebagai bidadari. Dengan bermodal otaknya yang nggak bego-bego amat, akhirnya Endra mengeluarkan map biru yang sudah disiapkannya dari kampung, jika keadaannya memang mengharuskan Endra untuk melamar kerja di kota. Ya, Endra akan berpura-pura melamar kerja di tempat sang bidadari saja.

Tapi baru sampai di depan pintu masuk kantor, Endra justru membaca peringatan area khusus wanita. Dan pria dilarang masuk kecuali mendapat ijin khusus. Endra berniat mengabaikannya dan tetap menyentuh kenop pintu, tapi kemudian seorang perempuan yang lumayan cantik muncul dengan mata melotot.

"Anda nggak bisa baca peringatan ini ya," kata perempuan itu sembari menunjuk tulisan yang tertempel di depan pintu.

"Maaf, tapi saya cuma ingin menaruh lamaran di kantor ini," balas Endra membela diri.

"Jelas aja bakal ditolak. Kantor ini hanya mempekerjakan perempuan saja. Dengan Anda sebagai laki-laki saja sudah jelas tidak mungkin lolos kualifikasi utama."

"Ta-tapi..." Endra bingung. Tidak mungkin dirinya jujur ingin mengetahui soal bidadari yang sudah menolongnya yang kebetulan masuk ke kantor ini.

"Tolong, Anda pergi saja dari kantor ini!" kata perempuan itu dengan nada yang sengaja ditekankan.

Endra mencelos. Dia tidak memiliki pembelaan apapun yang bisa dipakainya untuk bisa diijinkan masuk. Akhirnya Endra mundur dan beranjak pergi dari depan pintu.

Tapi kemudian Endra tak langsung menyerah. Dia menunggu di sekitaran kantor untuk melihat bidadari yang sudah diincarnya keluar dari bangunan itu. Endra bahkan mengabaikan suara keroncongan perutnya yang kelaparan minta diisi. Dia tidak mau sampai kehilangan jejak jika Endra sampai pergi ke warung untuk menebus perutnya yang lapar.

Entah berapa jam kemudian, akhirnya bidadari yang dimaksud keluar. Meski dari jauh, Endra tetap bisa melihat aura bidadari yang masih terus menempel dan membuat Endra meleleh.

Dengan segenap keyakinan yang ada, Endra memutuskan untuk menghampiri bidadari incarannya dan kalau bisa berkenalan dan mengajak menikah dengannya. Tapi baru mau berbicara saja, si bidadari justru bersuara lebih dulu.

"Lo orang yang tadi, kan?" tanya bidadari itu pada Endra yang sudah berdiri dua meter dari tempatnya berada.

Endra mengangguk cepat-cepat dan tersenyum senang, rupanya bidadari ini masih mengingat wajahnya. Sudah bisa dipastikan kalau ini adalah jodoh yang sudah ditakdirkan Tuhan padanya.

"Lo temennya si preman tadi ya? Dan mau nyoba ngerampas barang-barang gue?" tuduh sang bidadari. Nada suaranya masih sama seperti sebelumnya. Tajam dan dingin.

Endra cepat-cepat mengeleng. "Saya Endra. Tadinya saya pikir barang berharga di tas saya bakalan di rampas sama si preman tadi, tapi untungnya nggak jadi karena pertolongan dari..." Endra sengaja menggantung kalimatnya dengan tujuan agar sang bidadari mau menyebutkan namanya.

"Lo baru pertama kali ke kota ya?" Sang bidadari rupanya menanyakan hal lain.

"Waktu kecil saya sudah pernah ke kota, jadi sekarang bukan pertama kalinya."

"Oh, pantes."

"Jadi ... saya ingin mengucapkan terima kasih atas pertolongan Anda pada saya."

"Oke. Sekarang lo boleh pergi."

"Sebentar." Endra mengeluarkan sesuatu dari dalam tasnya. "Karena Anda sudah ikut menyelamatkan barang berharga milik saya, jadi Anda boleh memilikinya juga," kata Endra sembari menyodorkan sebuah bungkusan koran pada sang bidadari.

"Apaan tuh?"

"Ini seduhan teh spesial racikan buatan ibu saya. Rasanya bener-bener enak. Seduhan teh ini merupakan barang berharga bagi saya."

Sang bidadari sempat tertegun saat Endra menjelaskan soal itu. Dan secara ajaib, bidadari tersebut bersedia menerimanya.

"Awas aja lo kalau rasanya nggak enak!" kata bidadari sebelum akhirnya berlalu pergi dengan mobilnya.

Endra hanya terus menyunggingkan senyuman meski mobil sang bidadari sudah melaju meninggalkan Endra. Tapi mengingat soal bidadari yang bersedia menerima pemberiannya, benar-benar membuat Endra gembira bukan main.

Pas sadar, Endra baru ingat kalau dirinya masih belum tahu nama si bidadari itu.

***

Keesokan harinya, Endra sudah standby di sekitaran kantor. Kemarin, Endra sudah mendapatkan tempat tinggal sementara yang jaraknya paling dekat dengan kantor itu meskipun harga sewanya terbilang lumayan. Untungnya, Endra memiliki stok uang yang cukup untuk dihambur-hamburkan.

Saat melihat mobil sang bidadari mulai parkir di depan kantor, Endra langsung semringah dan bergegas mendekat.

Tapi rupanya sang bidadari justru tidak menyadari kehadiran Endra dan langsung berjalan begitu saja menuju pintu masuk. Takut bidadari keburu masuk dan Endra nggak bisa ikutan masuk karena peringatan area khusus perempuan itu, akhirnya Endra berteriak memanggil sang bidadari.

Langkah Sarah seketika terhenti. Dia mendengar ada panggilan aneh yang sangat keras yang entah ditujukan untuk siapa, dan saat Sarah melihat ke sumber suara, Sarah menautkan keningnya heran.

"Tadi lo manggil apaan?" tanya Sarah saat Endra sudah bergegas menghampirinya.

Endra berpikir sebentar, dan kemudian berkata, "Maaf, saya belum tahu nama Anda, jadi saya bingung mau memanggil apa."

"Terus tadi lo manggil apaan?"

"Ehm ... 'bidadari'?"

"Hah?" Sarah hampir tertawa. "Lo orang yang sama kayak kemarin kan?"

Endra mengangguk.

"Ah iya, gue inget. Lo beneran dari kampung kan?"

Endra lagi-lagi mengangguk.

"Pantesan. Gue pikir juga gue nggak pernah nyobain teh seenak kayak yang lo kasih kemarin. Gue sering beli teh di sini tapi rasanya beda."

Endra tersenyum senang. "Karena teh itu bener-bener murni racikan ibu saya sendiri. Jadi rasanya sudah pasti beda sama yang dijual di pasaran."

Sarah menganguk-angguk setuju. "Kalau gitu, gue bisa pesen seduhan teh kayak kemarin nggak, tapi dalam jumlah banyak."

"Bisa kok, bisa banget. Nanti saya sampaikan pada Ibu saya."

"Oke." Sarah ingin berlalu pergi, tapi Endra menahannya dengan berucap.

"Maaf, saya sedang butuh pekerjaan, apa saya boleh bekerja di tempat ini?"

Sarah menautkan keningnya heran. "Emang tujuan lo ke kota buat nyari kerjaan?"

Endra mengangguk.

"Lo lulusan apaan?"

"Sarjana pertanian."

"Di kantor ini semuanya bergerak di bidang fashion. Jadi lo nggak cocok kalo kerja di sini."

"Nggak apa-apa. Saya jadi apa saja siap."

"Tapi di sini yang kerja cewek semua."

"Saya bisa berkamuflase di antara para cewek."

"Ha?"

"Maksud saya, saat di kampung, saya juga terbiasa bekerja dengan ibu-ibu yang berjenis kelamin perempuan."

"..."

"Maksud saya lagi ... saya bener-bener butuh perkerjaan ini."

Sarah berpikir sebentar. Kemudian berkata, "Lo bawa CV nggak?"

"Bawa."

"Coba gue lihat."

Endra langsung mengeluarkan map biru yang sudah disiapkannya dan menyerahkannya pada Sarah.

"Oke, CV lo gue bawa dulu."

"Ehm ... boleh saya tahu nama Anda?"

Sarah terdiam, tapi beberapa detik kemudian akhirnya berkata, "Sarah."

Jangan ragu buat kasih komenannya ya.

Makasih.

- AdDina Khalim

AdDinaKhalimcreators' thoughts