webnovel

Bukan Istri Tapi Estri

Karena impian bodoh Endra, dia harus terjebak dengan perempuan sadis yang bernama Sarah dengan menjadi seorang suami. Sialnya, perempuan sadis yang awalnya Endra anggap seperti malaikat justru berubah menjadi iblis yang meneror hari-hari indahnya menjadi semakin suram. Bagaimana Endra akan menghadapi Sarah? Dan mampukah Endra melepaskan diri dari cengkeraman kesadisan Sarah yang selalu berperan sebagai istri yang baik di depan ibunya sendiri?

AdDinaKhalim · Urban
Not enough ratings
247 Chs

#004: Jalan Sukses Menuju Pernikahan

Jarak antara kantor dengan rumah Sarah kira-kira membutuhkan waktu 20 menit. Endra kini sudah berada dibalik kemudi untuk menjemput estri.

Meski sepanjang perjalanan, Endra masih saja dibuat merenungi nasibnya yang sudah sebulan ini berada di sekitar Sarah. Ada banyak macam kejadian yang menguatkan dugaan Endra perihal kesadisan Sarah yang rasanya sudah tidak bisa ditolerir lagi. Tapi intinya Endra bisa menarik kesimpulan, bahwa jangan coba-coba untuk mendekati Sarah kalau tidak ingin menderita karena kesadisan yang pada akhirnya akan didapatkan.

Contohnya saja Endra sendiri, saat dulu dia masih di awal-awal kenal, mungkin hanya nada suara Sarah saja yang masih dibilang judes. Tapi saat di awal itu, Sarah masih belum menunjukkan kesadisan naturalnya.

Seperti kejadian sebulan yang lalu. Begitu Endra menyerahkan CV, dua-tiga hari kemudian tidak mendapat respon apa-apa. Sampai akhirnya Endra memutuskan untuk kembali menunggu Sarah di sekitaran kantor. Dan begitu Sarah muncul, Endra langsung nongol di depan Sarah.

"Siapa lo?!" Dengan sedikit terkejut, Sarah bertanya dengan nada tak suka.

"Ini saya Endra, yang dulu pernah nyerahin CV buat ngelamar kerja di kantor yang sama seperti Anda."

"Oh, itu." Sarah tampak acuh tak acuh. "Di kantor ini nggak ada lowongan buat lo. Jadi lo cari kerjaan di tempat lain aja."

"Tapi saya benar-benar ingin bekerja di kantor ini."

"Ha?"

"Sa-saya..."

"Tunggu, biar gue yang ngomong duluan. Lo itu dari kampung niatnya nyari kerja kan? Dan lo pasti ngelamar di tempat lain juga kan? Jadi ngapain lo stuck di satu tempat yang nggak sesuai sama skill lo. Aneh banget."

Endra bingung harus menjawab apa. Karena tujuan sebenarnya sama sekali bukan untuk mencari kerja, melainkan cari istri yang sekarang sedang berbicara dengan Endra.

Sarah akhirnya membuang napas kesal seraya berucap, "Gue sibuk, jadi jangan datang ke kantor ini lagi, karena lo nggak bakal diterima kerja di sini." Sarah berjalan melewati Endra.

"Tolong tunggu sebentar," Endra masih mengejar langkah Sarah yang hendak menuju mobil.

"Apaan lagi sih!" Sarah sudah mulai kesal. Raut wajahnya sangat jelas menunjukkan ketidak-sukaannya pada Endra. Tapi anehnya, Endra sama sekali tidak memedulikannya dan tetap saja berkata, "Saya sudah benar-benar jatuh cinta dengan kantor ini, jadi saya mohon, biarkan saya bekerja di kantor ini."

"Ha?"

"Bisa tolong antar saya menemui si pemilik kantor, saya akan mencoba berbicara kepada beliau agar mau mempekerjakan saya."

Sarah menghembuskan napas kesal, kemudian menyedekapkan kedua tangannya dengan sikap angkuh. "Gue! Gue yang punya kantor ini. Dan gue udah bilang kalau lo nggak bakal keterima kerja di tempat ini."

Endra sedikit terkejut mendengarnya. Tidak hanya cantik melebihi bidadari, rupanya bidadari incaran hatinya ini juga sukses sampai bisa mengelola kantor sendiri. Jiwa polos Endra langsung bergetar dan semakin memantapkan tekadnya untuk menjadikan Sarah sebagai istrinya. Meski jika didengarkan baik-baik, nada suara Sarah memang judesnya minta ampun. Tapi Endra sama sekali tidak mau ambil pusing. Yang penting bisa punya istri dari kota yang cantik dan mapan!

"Kalau begitu, tolong biarkan saya bekerja di sini. Saya mohon dengan sangat." Endra masih berkeras diri.

"Lo ini sebenernya kenapa sih! Nyari kerja apa nyari apaan? Kok ngotot banget kerja di sini yang nggak ada kaitannya sama skill lo."

Benar juga. Ah, tapi Endra tetap tidak mau menyerah. Dia harus mencari alasan. "Se-sebenarnya saya ... dari kampung sudah bilang sama ibu saya kalau dalam seminggu ini saya bakal mendapatkan apa yang saya cari di kota. Dan ibu saya bakal nyusul ke sini buat membuktikannya."

Sarah ingin tertawa saking konyolnya mendengar penjelasan yang baru saja didengarnya. "Lo itu aneh banget sumpah. Mau nyari kerja aja nargetin seminggu sampe ngejanjiin ke nyokap lo segala. Emangnya lo nggak tau kalau nyari kerja itu susah. Banyak noh diluaran sana yang bahkan punya pengalaman kerja tapi tetep nggak dapet kerja juga. Nah elo! Enak bener nargetin seminggu doang maunya bisa langsung kerja."

"Bu-bukan!" bantah Endra gugup. "Saya bukan menargetkan untuk langsung dapet pekerjaan selama seminggu. Tapi ... ada hal lain yang saya targetkan yang perlu saya buktikan pada ibu saya."

"Ha?" Sarah menautkan alisnya tidak mengerti.

"Jadi ... saya sedang mencari seseorang di kota ini. Dan ibu saya bener-bener lagi nunggu orang yang sedang saya cari ini."

Ekspresi wajah Sarah berubah, tampak sedikit tertegun begitu mendengar kalimat Endra tadi.

"Keluarga lo ada yang ngilang ke kota?" tanya Sarah dengan suara sedikit lebih pelan.

Endra menggeleng. "Bukan. Tapi bisa juga sih dibilang calon keluarga."

"Ha?"

"Makanya itu saya benar-benar berharap bisa bekerja di sini." Endra masih bersikeras.

"Lho, apa hubungannya lo kerja di sini sama nyari calon keluarga lo itu."

"Ka-karena ... dia ada sekitaran sini. Jadi saya bisa sekalian memantaunya jika saya bekerja di sini," jawab Endra tidak berani menatap Sarah. Entah kenapa Endra merasa malu.

"Kalo lo udah tau dia di sini, kenapa nggak lo samperin aja sekalian, dan langsung lo bawa pulang."

"Pengennya juga begitu, tapi saat ini nggak bisa."

"Duh ... kenapa lo jadi ribet banget sih!"

Endra terdiam, dia memasang tampang memelasnya agar Sarah bersedia memberinya pekerjaan. Karena jika sampai dirinya bekerja di kantor sang bidadari, secara otomatis jalan sukses menuju pernikahannya akan jauh lebih mulus.

"Oke, karena lo keras kepala. Gue bakal ngasih kerjaan ke lo buat jadi OB. Lo bakal bertanggung jawab atas semua kebersihan kantor gue. Dan kalau lo sampai ngeluh, lo boleh langsung keluar saat itu juga." Akhirnya Sarah memberikan lampu hijau.

Mata Endra langsung berbinar cerah. Dia tidak peduli jenis pekerjaan apa yang menantinya. Toh selama di kampung, Endra juga terbiasa mengerjakan banyak hal. Jadi bisa dibilang dia sudah mandiri.

"Besok pagi, lo harus udah ada di sini sebelum gue dateng. Dan di situ gue bakal kasih tau semua pekerjaan lo. Paham?"

"Paham," jawab Endra cepat.

"Dan panggil gue Bu Sarah!"

"Siap, Bu Sarah."

"Oke, sekarang lo boleh pergi." Setelah mengatakan itu, Sarah langsung melanjutkan langkahnya menuju ke tempat di mana mobilnya di parkir.

Endra memperhatikannya sampai mobil Sarah menghilang dari pandangan. Kemudian dengan senyum masih menggantung, dia ber-yes-yes ria dengan penuh ekspresif.

Makasih udah baca cerita sampai dengan bab ini. Semoga semakin menarik ya.

- AdDina Khalim

AdDinaKhalimcreators' thoughts