webnovel

Untuk Diana

"Tar? Tarana?" Cantika mengetuk lembut ambang pintu tempat anak gadisnya bersembunyi kini. "Kamu belum pamitan sama keluarganya Pramoko, Tar. Besok kamu menikah, kalian harus akur-akur, Tar. Bisa buka pintunya dulu?"

"Tar?" panggil Cantika tak pasti. "Mama tahu kamu belum tidur sekarang. Apalagi kamu baru masuk kamar. Kenapa menghindar dari Mama?"

"Udah dari delapan tahun lalu aku menghindar, Ma," sahut Tarana di balik pintunya. "Delapan tahun, Ma, dan sekarang aku disambut cuman karena mau nikah. Gitu, ya, Ma, gunanya punya anak?"

"Ngomong apa, sih, Tar? Kamu, kan, yang setuju mau nikah sendiri? Kok sekarang begini?" Sekali lagi wanita di setengah abadnya mengetuk lebih pelan lagi. "Buka, Tar. Kita omongin baik-baik. Mama paling enggak suka kalau kita ngomong di depan begini. Nurut, Tar."

Klak!

Tak ada orang di balik pintu tersebut. Namun, bayangannya yang menyamping membuat Cantika tahu posisi Tarana berada di mana.

Tarana juga tak berusaha untuk bersembunyi. Diam mematung bersender di samping dinding. Berekspresi datar dengan pergumulan air mata yang menyakitkan itu.

"Kenapa?" Daun pintu itu didorongnya menutup sela-sela kamar. Cantika berderap lambat ke depan Tarana, mengelus pelan pipi anak satu-satunya. "Ada yang perlu kamu ceritain ke Mama, atau kamu cuman mau Mama temenin di sini?"

"Pertanyaan aku enggak berubah, Ma," kata Tarana bergetar. Menjuruskan pandangnya ke kamar luas bernuansa gelapnya. "Delapan tahun aku menghilang, empat tahun lalu aku kembali, lalu aku menghilang lagi. Ada yang sadar, enggak?"

"Sadar, Sayang. Papa juga tahu setiap kabar kamu pergi. Tapi kamu, kan, tahu kalau Papa orangnya paling minim ekspresi. Mirip kayak putri bungsunya kami. Keras, tapi pundaknya kokoh."

Kedua tangan Tarana terambilnya untuk dilapisi tangan halus Cantika. "Maklumin Papa, ya, Sayang?"

"Aku maklum kalau Papa cuman begitu sama aku. Tapi kenapa Diana harus merasakan hal yang sama, Ma!" Tarana berseru tak terkendali. Hatinya tercabik kuat mendapati foto catur keluarga mereka berubah.

Hanya ada Tarana, Cantika, dan Manuel di dalamnya. Diana tak bergabung lagi di sana. "Aku selalu terima semuanya kalau menyangkut aku, Ma. Tapi aku paling gak bisa terima kalau Diana digituin! Mama sama Papa jahat! Kalian udah gila!"

"Tarana," panggil Cantika berseru tegas. "Kamu enggak boleh berbicara begitu. Semua keputusan Papa yang terbaik untuk kita."

"Buat Mama sama Papa aja kali!"

Plak!

Wajah Tarana tertoleh ke sebelah kiri. Pukulan itu tak menyakitkan. Rasanya seperti palingan lembut. Tapi itu adalah hal terburuk yang pernah diberikan Cantika kepadanya.

Tangis yang ditahannya beberapa menit belakangan meluruh begitu saja. Tanpa diiringi oleh isakan manja dan rengekan tak terima.

Apa yang dikatakannya, selalu dilakukannya. Tak masalah terjadi pada dirinya, tapi ia paling tidak suka jika saudara kembarnya menerima ketidakadilan semacam ini.

Dianggap tak pernah ada, eksistensinya dimusnahkan semudah meniup asap.

"Aku pikir Mama satu-satunya orang yang masih ada di pihakku," celetuk Tarana mengusap pipinya. Kemudian, berkedip kecewa pada orang yang melahirkannya. "Ternyata aku salah, ya? Empat tahun itu pun, Diana doank yang coba buat hubungin aku."

"Selesai gelar, Mama mikir enggak, seberapa hancurnya aku begitu denger Diana udah pergi buat selama-lamanya?" tanya Tarana parau. "Satu-satunya orang yang paling deket sama aku, tiba-tiba pergi begitu aja?"

Tarana menjeda sebentar. Melihat raut wajah kesedihan dari Cantika, ia juga tidak tega. Mau bagaimana lagi? "Diana pernah tinggal di sini, dan akan selalu tinggal di sini. Kalian menghapus jejak Diana kayak gimana, aku gak akan pernah berhenti berjuang buat Diana."

"Dan akan aku pastikan semua orang yang pernah menyakiti Kak Diana, bakal membayarnya, Ma. Aku enggak akan bosen sebut nama Diana Manuella sampai kapan pun," gumam Tarana bengis. "Kalian enggak akan bisa membungkam aku."

***

Mom.

[Bian yang jemput kamu ke resepsi kamu nanti, Tar.]

[Bersikap baik. Jangan bicara yang kasar dan tidak-tidak ke dia. Jangan ungkit Diana ke dia juga. Kehormatan keluarga yang dijaga Papa jangan sampai rusak gara-gara kamu.]

"Padahal siapa juga yang udah rusak kehormatan keluarganya sendiri," gumam Tarana berdecih.

[Mama still loves you, anyways. Apa pun yang terjadi, Tar. Soal malam itu, maaf Mama belum bisa menjawab semuanya.]

[Waktu berjalan cukup lama, tapi lukanya masih baru untuk kamu, juga untuk Mama. Mama beruntung punya Papa, tapi kamu ... jangan menutup diri sama Bian, Tar. Jangan menutup diri dengan semua laki-laki.]

[Bian anak baik. Mama jamin itu.]

"Mama aja yang belum tahu Bian itu siapa!" teriak Tarana sebal. Tergesa mematikan ponselnya sembari menggerutu lebih lanjut. "Kalau tahu emang Mama berani ngomong gitu? Papa juga sama. Karena aku rekomendasiin anak dari Pramoko, bukan berarti dia itu lurus aja, 'kan?"

Tombol di tengah treadmill itu ditekannya kembali. Melanjutkan larinya yang tertunda, dengan gumaman misuh-misuh yang berlanjut. "Gimana juga bicarain soal Diana kalau Bian mikirnya Diana itu aku."

Ting! Tong!

Ah, shit. Tarana merutuk dalam hatinya kembali. Terpaksa menghentikan laju mesinnya yang target Tarana pun, belum mencapai setengahnya.

Bian memang pembawa masalah baru bagi si pencari masalah. Menyebalkan. "Ya, sebentar."

Bathrobe-nya terpasang asal melekat di tubuh rampingnya. Tali panjang kiri kanannya mengitari pinggang kecil nan atletis Tarana. Berjalan sedikit mengentak tak acuh daun pintu kayu. "Bian Pramoko, 'kan?"

"Hm," jawabnya dengan dehaman. Tak menambahi jawaban lain di dalamnya.

Klak!

Berbanding terbalik dengan tampilan acak-acakan yang berkeringat, Bian malah terlihat sangat rapih dengan setelan kaus dan celana pendeknya.

Nah. Kalau ada Cantika di sini, mungkin ia akan diomeli habis-habisan karena identitasnya dan tingkah lakunya sama sekali tak mencerminkan sebagai seorang 'Manuel'.

Ya, siapa juga yang ingin? "Masuk. Saya bersiap dulu. Untuk minuman dan semuanya ada di dapur. Ambil saja kalau kamu mau."

Bian terus meneliti tampilan peduli-tak peduli yang baru ditemuinya dari wanita berlekuk sempurna Tarana. Sampai wanita itu berbalik mendahuluinya, berjalan menuju ruangan kanannya. "Habis mandi?"

"H-hm." Seirama dengan gelengannya, tali bathrobe itu dilepasnya.

Menampilkan celah-celah sempurna dari pakaian minimnya, memamerkan kulit bersihnya untuk dipandangi oleh Bian. Bersama dengan tarikan alis kirinya, semuanya sudah terlihat seperti seinginnya Tarana.

Pria mana pun akan cepat melirik ke arahnya. Sayangnya, tidak dengan Bian Pramoko. Pria itu terlalu datar untuk menampilkan mimik wajahnya. Tangannya tergerak, tapi bukan untuk menyentuh Tarana.

Melainkan untuk menarik sisi tali yang dilepas Tarana tadi. Berpesan tanpa ekspresi di dalamnya. "Tutup tubuh kamu."

"Jangan berperilaku seperti pria yang tidak tertarik dengan wanita, Bian!" Tungkai jenjang Tarana bergerak cepat. Menggarap leher Bian untuk memaksa mata legam itu melihatnya. "Bukankah begitu, hm? Karena saya begini, kamu menyetubuhi saya seperti empat tahun yang lalu?"