webnovel

Kelewat Nekat

Bian sukses dibuat terkejut oleh wanita kelewat nekat ini. Bian memang tak tertarik, tapi ia jugalah pria normal yang bisa tersulut.

Apalagi sedekat ini. Ranum bercampur keringat Tarana terasa pekat menusuk hidungnya. Merupakan jenis bebauan ... manis untuk dihidunya dalam-dalam.

Dan dapat membuat siapa pun terbang melayang. Hanya ..., Bian berusaha mempertahankan kewarasannya juga kewarasan Tarana.

Tidak apa-apa kalau mereka sudah menikah. Tapi jika belum? Bian tak ingin melanggarnya duluan.

Tuk!

Kening Tarana didorong Bian lembut ke belakang. Menjauhinya sedikit demi sedikit hingga Tarana beralih memegang dahinya sendiri dan meninggalkan rangkulan leher Bian. "Apa, sih? Kamu sangat suka menyentuh tanpa izin, ya?!"

"Setidaknya saya bukan orang yang keterlaluan, Tarana." Bian berbalik pergi menuju dapur seperti anjuran Tarana sebelumnya. Pintu kulkas dibukanya demi menyembunyikan diri dari sisi pandang Tarana.

Nekat. Tarana bisa celaka kalau orang itu bukanlah seorang Bian Pramoko. "Kalau kamu lupa, pakaian kamu saat itu lebih dari tertutup Tarana. Tapi kita berdua sama-sama mabuk. Sama-sama kalut, hendak mencari kesenangan lain untuk melupakan masalah kita. Kita bisa apa?"

Kakaknya yang paling penurut, kakaknya yang paling anti pergaulan yang salah ..., pergi ke klub malam?

Shit. Itu menjadikan dirinya sebagai orang yang paling tidak berguna di dunia ini. "Jadi ... waktu itu kamu berselingkuh?"

"Bisa dikatakan demikian. Dan itu adalah hal yang paling saya sesali di dunia ini, Tarana." Bian menghela napasnya rendah. Mengambil botolan minum dari sisi kulkas, lalu menutupnya kembali.

Dari cara pandang Bian, Tarana tahu betul seberapa kecewanya Bian melakukan hal itu. Hal terlarang bagi pasangan suami istri, hal paling mengecewakan yang pernah ada.

Bahwa pasangan yang dipercayai mengkhianati kepercayaan yang menjadi pondasi utama sebuah hubungan. Rasa percaya yang harus dijaga sirna begitu saja kala hubungan satu malam terlaksana.

Jelas. Bian dan Diana adalah sebuah kesalahan. Tapi, apa kemudian Tarana menjadi kesalahan lainnya? "Lalu, apa yang terjadi?"

"Biar saya tanyakan dulu pada kamu." Bian tersenyum kecil. Tipikal senyum yang baru terlihat kali ini. "Kamu bilang hamil waktu itu, Tarana. Jadi ... di mana anak kamu?"

Spontan Tarana merapatkan mulutnya ke dalam. Memilin jarinya gugup ke belakang, memilih untuk pergi dari kawasan membahayakan tersebut.

Sekali kebohongan terbentuk, maka kebohongan lain akan tercipta untuk menutupi lubang yang sudah digali.

Pepatah itu benar-benar sesuai untuk Tarana yang tengah terjebak oleh karangan yang sedang ia buat. Berbohong dan berbohong lagi. Tarana belum pernah berbohong untuk orang lain, juga belum pernah berbohong sebanyak ini. "Saya menggugurkannya karena dia tidak punya Ayah."

Sedikit Tarana memberanikan diri menoleh ke belakang. Memperhatikan gerak-gerik tak nyaman, juga tundukkan pasrah dari Bian.

Baiklah. Bian kecewa, dan mungkin menyalahkan dirinya.

Bagus kalau begitu. Tarana mengembalikan kepalanya dalam posisi semula, mengangguk begitu yakin kalau semuanya akan berjalan lancar. "Terutama untuk suami orang lain yang kehilangan pengendalian dirinya karena alkohol. Anak itu tidak semestinya ada, bukan?"

***

"Tante, Om." Tarana merentangkan tangannya ceria menyambut dua orang yang baru dikenalnya semalam. "Maaf kemarin Tarana gak sempat pamitan. Lagi ada urusan sedikit."

"Gak apa-apa. Kedatangan kami yang dadakan." Kyla-ibu dari Bian mengangkat lengkungan hangatnya memaklumi Tarana. "Bahkan kalau memang kamu yang belum siap untuk bertemu kami lagi, kami paham. Kemarin hari pertama kamu, dan hari ini kamu akan menyandang status istri."

Bibir pucat Tarana terkulum rapat. Ekor bibirnya berkedut tak kuasa mengangkatnya dengan kerelaan.

Detik selanjutnya, Tarana sudah ditarik oleh dua ibu-ibu yang bersemangat menyembunyikan ke bilik pergantian baju. Tak sempat Tarana memperhatikan hal lainnya, kecuali Bian yang menjuruskan satu-satunya perhatian pada Tarana.

Baru disadari oleh Tarana, kalau Bian lebih suka memperhatikan, melihat, diam, dan tidak berbicara. Pengecualian untuk malam itu. Bahkan, Tarana mengira kalau Bian adalah tipikal laki-laki cerewet.

Kenyataannya berbanding terbalik. Ya sudah, terserahlah. Tarana juga tidak punya usaha untuk menjaga keutuhan dari pernikahan ini. Yang ia yakini Bian mungkin juga akan berpisah karena tidak tahan akan sifat bandel Tarana.

"Tar? Hey, Tar? Tante Kyla lagi ajak kamu ngomong, tuh." Cantika menepuk tipis pundak Tarana. "Bengong terus. Mikirin apa, sih?"

"Enggak ada," sahut Tarana berbohong. "Tante Kyla tadi ngomong apa?"

"Tante tadi tanya ke kamu ...." Kyla menjadikan rambut tebal Tarana gumpalan, menarik naik saat resleting gaun pengantinnya. "Pendapat kamu tentang Bian itu apa?"

Menontoni dirinya yang sedang dihiasi gaun pengantin, tak ada kesenangan membuncah di dalam dadanya. Seandainya ia tidak tahu bahwa Manuel tengah mencarikannya calon suami, mungkin nama Bian juga tak pernah ada di meja ayahnya.

Hanya itu. Karena itu, Tarana lebih memilih Bian daripada orang yang tak ia kenal seluk beluknya. Tak tahu busuknya. Tapi masa, Tarana membicarakan itu pada Kyla? "Orang baik, Tante."

"Itu aja?" tanya Kyla mendahului. "Kayak tampan ..., atau misalnya hangat, begitu?"

"Mereka masih baru saling kenal, Kai, kasih mereka waktu dulu." Cantika mengangkat separuh bibirnya kecil. "Aku yakin, Tarana juga bisa menyesuaikan diri dengan Bian. Ya, kan, Tar?"

Semestinya, Bian yang harus menyesuaikan diri dengannya. Bukan Tarana yang menyesuaikan.

Sama sekali Tarana tak berpikir untuk mengubah tabiat buruknya. Memangnya siapa yang salah di sini?

"Tar? Diem mulu. Biasanya berkicau kalau gak diminta."

"Ma." Tarana mengerling jengah menghadapi seruan konyol mamanya ini. "Tarana lagi gak pengen diajak ngomong aja. Lagi capek, Ma."

"Tumben." Cantika kembali menggodai Tarana. Mencium sekilas pipi tirus Tarana. "Baik-baik sama Bian, ya, Tar?"

"Ma," protes Tarana.

"Itu juga yang Tante harapkan dari kamu, Tar. Tante serius mengenai hal ini." Mata sehitam jelaganya, yang nampak persis seperti Bian ikut mendalami pantulan Tarana di cermin besar. "Dia gak pernah terbuka sama Tante. Mungkin merasa pernikahannya adalah privasi. Tapi dengan kamu, Tante harap dia mulai membuka diri."

Oh, padahal Tarana mengira bahwa Bian adalah tipikal membuka diri 'untuk semua orang'. Dan sekarang, ia malah mencemoohnya lagi. Sungguh menyebalkan. "Iya, Tante."

"Udah semua, 'kan? Sekarang berdiri di sini." Kyla dan Cantika serta-merta mengantarkannya pada podium. "Tunggu di sini. Jangan ke mana-mana."

"Ma? Tante?"

Ah, sial. Lagi-lagi Tarana ditinggalkan sendirian dalam ruangan sunyi bertirai ini.

Berbalik ke belakang, manik-manik gaun putihnya memantulkan cahaya bergemilau dari lampu. Ikut berputar seiring dengan pergerakan melambainya Tarana.

Pakaian ini pas, dan lumayan disukainya. Gaun pengantin yang tidak buruk. Hanya itu yang bisa dikatakannya. Tidak lebih.

Srak!

Tirai membiarkan cahaya menyeruak ke dalam ruangannya tadi. Terbuka lebar menampilkan Tarana yang terkejut.

Mamanya, papanya, kedua orang tua Bian, juga Bian sendiri ... menjadikannya sebagai objek utamanya.

Oh, astaga. Bisakah Tarana menghilang sekarang? Karena Tarana paling tidak sanggup diberikan tatapan menilai oleh orang lain.

Sialnya, ia tak pernah sanggup menangani ini sendirian. Tak ada yang memegang tangan gemetarannya ini. Tak ada. "Tarana udahan dulu. Capek."