"Tar-"
"Tarana setuju, Ma," sahut Tarana meyakinkan. Kemudian, beralih ke ujung kiri orang yang terdiam dalam kedatarannya. "Lagipula itu mau Papa. Apa pun yang Papa mau, harus dipenuhi, kan, Ma?"
"Tarana," panggil Manuel memperingatkan. "Pergi ke ruang kerja Papa sekarang. Papa mau bicara pribadi sama Om Liel, Tante Kyla, Bian, sama Mama kamu."
"Sebelumnya maaf kalau saya menyela, Om, boleh saya pinjam Tarana-nya sebentar?" Mata hitam gelap Bian menembus iris mata yang terang-terangan mendalaminya tajam.
Bisa-bisanya Bian membalasnya? Tidakkah seharusnya Bian merasa bersalah? Terbuat dari apa jiwa pria itu sampai bisa mengajaknya berbicara pribadi?! "Kalau saya enggak mau, kamu mau apa?"
"Sudah cukup kekurangajaran kamu hari ini, Tarana." Manuel menengahi dengan cara mencegat lontaran kalimat lanjutan yang memicu pertengkaran lagi. "Ikut dia, Tarana. Bagus bagi kalian untuk saling mengenal sebelum pernikahan besok."
"Bagus bagi Papa, bukan bagi aku!" Tarana berseru mencebik. Bangkit mendorong kursinya ke belakang. "Liat Kak Diana, Pa!"
"Diana siapa?" tanya Manuel tak merasa bersalah. "Siapa Diana? Dan apa hubungannya di sini?"
Kepalan tangan Tarana di sisi tubuhnya mengencang kuat. "Papa harus bertindak sejauh ini, ya, Pa? Sejauh ini?"
"Maksud kamu apa? Papa enggak mengerti apa maksud kamu." Manuel dengan santainya masih menyecap cairan kemerahan itu tenang. Menikmati aliran tenggorokan terbakarnya sendiri. "Terus apa mau kamu? Emang siasat kamu buat terima terus buat keributan? Atau apa?"
"Tarana, ikut saya," pinta Bian menyudahi pergulatan tersebut. "Maaf, Om. Saya bawa Tarana pergi dari sini."
***
"A … pa, sih! Bian Pramoko! Lepas!"
Namun tidak ada satu pun kata-kata dari Tarana yang ditanggapi oleh seorang Bian. Mencekal kuat pergelangan tangan Tarana, tak membiarkan Tarana lepas dari jangkauannya.
Menarik wanita itu hingga menepi ke taman belakang rumah Tarana, baru mendudukannya di bangku teras. Siap menginterogasi Tarana lebih lanjut. "Saya kenal kamu, 'kan? Mengaku."
"Enggak, Bian Pramoko!" balas Tarana menyentak kesal. "Seenaknya saja menarik saya. Kamu pikir kamu siapa sampai bisa memperlakukan saya semena-mena!"
Rambut tebal segelap iris matanya disisir ke belakang. Berkedip teduh, menyetarakan tingginya dengan tinggi Tarana yang duduk di kursi. "Okay, saya minta maaf. Tapi saya ingin kamu mengaku. Kamu mengenal saya?"
"Saya bilang tidak ya tidak!" jawab Tarana menyipitkan matanya sebal. "Sekarang minggir. Masih banyak hal yang harus saya perbincangkan dengan kedua orang tua saya."
"Siapa Diana?" Bian bertanya lagi. Bergerak ke sisi di mana Tarana ingin pergi. "Kalau itu salah satu saudara yang mirip kamu, saya ingin bertemu dengan dia. Mungkin yang saya kenal adalah dia."
Bahkan …, Bian saja tidak tahu nama Diana?
Sebenarnya apa hubungan yang keduanya jalani ini?! Layaknya labirin yang berliku, tidak ada habisnya. Diana meninggalkan terlalu sedikit clue untuk Tarana.
Tarana harus apa sekarang? Sudah berhasil dilumpuhkan oleh Bian, selanjutnya, ia harus mengelak dengan cara apalagi? "Kakak saya. Berbeda tiga tahun dari saya, melanjutkan kehidupannya di sana. Kenapa?"
"Berbeda dengan kamu?"
"Ya beda, lah!" cerocos Tarana geram. "Minggir. Resek banget jadi orang."
Pergelangan tangan mungil Tarana digenggam Bian sekali lagi. Belum menyerah dengan apa yang menjadi niatnya tadi. "Kalau kamu marah karena saya meninggalkan kamu malam itu, saya minta maaf."
"Saya sudah ditinggalkan oleh istri saya. Saya tidak ingin ditinggalkan lagi."
Situasi macam apa ini? Memang ini yang seharusnya terjadi, tapi apa ini yang seharusnya dilakukan oleh seorang Bian Pramoko?
Ia tentu tahu seberapa besar kesuksesan pria dengan segala aura gelapnya ini. Jarang tersenyum di depan kamera, tak pernah terlibat dengan wanita mana pun.
Sampai berita mengenai pernikahannya pun tidak ada! Tarana terkejut mendengar bahwa seorang Bian yang ia kira melajang, ternyata adalah duda.
Oh, astaga. Fakta apalagi yang disembunyikan oleh Bian? "Malam itu kamu ke mana?"
"Istri saya masuk rumah sakit," aku Bian tak ingin berbelit-belit lagi. Mendudukan Tarana ke tempat semulanya, sembari menekuk lutut di depannya. "Saya tahu kamu ingin mengatakan hal penting, tapi di saat itu, tak ada yang lebih penting dari istri saya."
"Maksud kamu, saya tidak penting?" Tarana mulai tersulut akan lontaran kalimat manis tersebut.
Kalau Diana, mungkin secepat kilat menerima permintaan maaf itu. Tapi tidak dengan dirinya yang butuh beberapa hari untuk menerima apa pun dengan lapang dada.
Mereka berdua tidak sama, tapi selalu saling menjaga. Seperti perasaannya yang terluka setiap kali mendengar hal yang tak semestinya dikeluarkan Bian. "Minggir atau kepala kamu bocor sama saya?"
"Dengarkan saya dulu, Tarana Manuella. Hey! Dengarkan saya dulu!"
Bian terus mengejar dengan kaki lebarnya. Di sisi depannya, Tarana kabur dengan gerakan lincahnya.
Muak. Itu yang Bian sebut dengan alasan? Tarana malah bisa membuat alasan yang lebih baik dari itu tanpa menyakiti salah satu di antara dua wanita.
Lagipula, kalau sudah ada istri, kenapa malah berhubungan dengan kakaknya-
Grep!
"Tunggu saya dulu, Tarana." Bian tersengal selepas mendapatkan kedua pundak Tarana untuk ditahannya. "Tunggu. Saya belum selesai. Kenapa kamu terus memberontak, sih? Terakhir kamu terlihat seperti wanita yang tenang. Sekarang kamu begitu berapi-api."
Ya karena itu bukan dirinya, bodoh! Ingin sekali Tarana ingin memaki demikian, juga memelintir tangan Bian. Tapi, masih menjaga dirinya agar tak memberikan kesan buruk di hari pertama ini.
Nanti saja. Nanti saja kalau sudah menikah. Akan Tarana keluarkan semua hal yang dapat membuat Bian muak, juga ingin memutuskan jalinan kasih ini.
Tak akan ia biarkan Bian pergi. Biar saja, merasa tersiksa sepanjang hidupnya. Seperti hidup kakaknya yang sudah berubah menjadi abu-abu.
Itu adalah tekad Tarana. Seorang Tarana Manuella. "Sudah? Apalagi yang mau kamu katakan?"
"Waktu itu kamu minta saya untuk menikahi kamu." Segera, Bian membalik tubuh Tarana seringan kapas. "Kenapa? Waktu itu, kenapa saya harus menikahi kamu? Apa juga yang ingin kamu beritahukan ke saya?"
"Biar saya bertanya dulu ke kamu." Tarana menyepak kasar tangan Bian dari kawasan bahunya. Lengannya terlipat di depan dada, mendongak naik ke atas walaupun Bian menunduk ke bawah. "Kamu menganggap pertemuan kita sebagai pertemuan singkat, Bian Pramoko? Kalau saya tidak menarik kamu ke sini, kamu tidak akan mencari saya, begitu?"
"Itu memang singkat-"
"Sesingkat apa?" cecar Tarana mendesak. "Sesingkat apa sampai kamu bilang bahwa 'saya pernah melihat kamu', huh? Walaupun bukan saya, kamu tidak boleh begitu pada orang lain!"
"Sesingkat satu malam, Tarana. Kamu tidak merasa pertemuan itu singkat?" Bian mengerutkan dahinya tak percaya. "Hanya dalam satu malam, Tarana. Dan kamu meminta saya untuk menikahi kamu! Kamu tidak memikirkan bahwa saya sebingung apa saat itu?"
"Karena saya hamil waktu itu, Bian!" Napas Tarana dibuatnya naik turun. "Puas kamu?!"