webnovel

Kamu Cemburu?

"Kamu cemburu?"

Terbentuk ukiran sinis mengejek pertanyaan Bian. "Gak ada pertanyaan lain, gitu? Atau semisalnya kamu merasa menganggur, lebih baik kamu bantu saya cuci piring."

Orang di belakang sana kini berlaku sebagai orang paling sibuk di dunia. Bilang saja dia malas bergerak. Padahal yang Tarana lihat sedari tadi hanya menggeser layar terang itu ke atas, ke bawah, dan menyamping tak tentu arah.

"Kalau lagi malas, taruh aja," usul Bian mendahului cemoohan Tarana. Tombol power ditekannya sampai layar tablet-nya menggelap. "Besok saya yang cuci."

"Terus mau biarin ini numpuk?"

"Iya."

"Jorok," desis Tarana ketus. "Secapek-capeknya saya gak ada tuh yang namanya pekerjaan rumah numpuk, atau Nataya gak diurus. Kamu doank yang begitu sampai weekend minggu lalu sibuk di kantor."

"Kamu mau saya di rumah?" tanya Bian ringan. "Bukan Nataya, tapi kamunya."

"Kalau saya pribadi lebih suka rumah yang kosong dan sepi."

Berarti ia tidak suka keberadaan Bian. Padahal sudah lebih dari dua minggu mereka tinggal bersama, apa tidak ada tanda-tanda Tarana akan mengakhiri perang ini dengan perdamaian? "Saya ke kamar Nataya dulu. Kamu tidur duluan aja."

Piringan kaca terakhir selesai dibasuhnya. Namun, tak muncul sedikit pun niatnya untuk menyusul kepergian Bian. Ujung-ujung jarinya menancap di pinggiran wastafel geram. Kalau di apartemennya, mungkin semua bisa amburadul.

Sayang, ini bukan rumahnya. Perabotan pun bukan miliknya. Ini membuatnya frustrasi setengah mati.

Ikatan celemek Tarana dilepasnya asal. Merematnya kencang, kemudian membuangnya tak peduli tersangkut di mana.

Tidak bisa. Dia tidak bisa begini terus.

Ada hal yang harus bisa ia lakukan.

***

Mata kirinya terpejam sempurna menargetkan titik hitam papan bundar itu.

Satu anak panah terluncur.

Dua anak panah terluncur.

Anak panah terakhir diusapnya lembut. Akan menjadi penyambutan yang meriah saat Bian datang nanti.

Sekarang. Pintu sudah bergerak, dengan derap kecil yang muncul di baliknya.

Siap-siap Tarana merenggangkan otot-otot lehernya. Mulai membidik tepat sasaran.

Semoga saja tidak meleset.

Tak!

"Untung gak meleset, Bian," cetus Tarana menyambutnya dengan seringai miringnya. "Kalau meleset, mungkin akibatnya bisa fatal."

Bian tak dapat bergerak setelah melihat sendiri apa yang melintasi atas kepalanya, lalu bersuara menubruk dinding. Nyaris berhenti, detak jantungnya ini. Matanya spontan terpincing naik pada Tarana. "Kamu mau membunuh saya?"

"Satu anak panah tidak bisa membunuh kamu, Bian." Bahu Bian didorongnya ke samping. Berjongkok, memungut anak panah lancip. "Ini cuman kayak jarum."

"Kalau kena mata saya bagaimana?" Bian menderu berat. Tak habis pikir dengan kelakuan Tarana. "Kamu masih gak akan mau minta maaf, Tar? Sampai kapan mau kekanakan begini?"

Sampai Tarana puas. Tapi mana mungkin Tarana bisa mengucapkannya? Itu cari mati, dan bunuh diri. Semua akan lebih menyenangkan jika dilakukan perlahan-lahan.

"Masuk." Tarana berkacak pinggang. Badan besar itu lagi-lagi memenuhi satu ambang pintu lagi. "Jangan sampai saya paksa, Bian."

Sama tajamnya. Belati yang tersimpan di dalam matanya selalu terasah setiap kesempatan. Kini Tarana dapat merasakan lagi setelah sekian lama terpendam.

Bian harus begini? Harus selalu dipancing baru akan mengeluarkannya? "Masuk."

"Saya gak akan kasih kamu masuk sebelum kamu kasih tahu kenapa kamu ingin membunuh saya, Tar." Musnah sudah kabut-kabut kelembutan yang selalu disimpannya. "Saya tidak bisa menoleransi atau tinggal dengan orang yang memiliki niat buruk terhadap saya."

Sayangnya, niat buruk itu dijadikan Tarana sebagai pondasi terlaksananya pernikahan ini. Kalau saja sedari awal mereka adalah dua orang asing yang dipertemukan tidak sengaja, mungkin akan jauh lebih baik dari sekarang. "Kamu tanya kenapa, Bian?"

Diamnya Bian menunggu jawaban lanjutan dari Tarana. Dirinya terdesak mundur, sampai pintu ditutup dari dalam. "Harus saya bilang berulang kali, beratus kali bahwa saya sangat membenci kamu?"

"Saya kira hubungan kita mulai membaik."

"Membaik bukan berarti tidak benci, Bian. Dan saya melakukannya untuk Nataya, karena dia butuh seseorang yang mengurusnya, bukan ayahnya yang hanya bisa terus bermain perempuan tanpa peduli dengan anaknya!" Tarana berseru tegas. Mulai mendorong pundak Bian hingga terlentang di kasur. "Kamu itu bodoh!"

"Kamu cemburu?" ulang Bian datar. "Kalau cemburu, bilang saja."

"Cemburu itu hanya untuk orang yang saling mencintai. Saya tidak mencintai kamu, tapi saya mencintai Nataya." Kilatan berapi-api, serta-merta tangannya setia memegang ujung runcing anak panah hijaunya. "Saya tidak peduli siapa dia, tapi tolong! Nataya butuh kamu, Bian!"

Tangan kanan Tarana terangkat setengah tubuhnya yang duduk bertumpu pinggang Bian di bawahnya. Memamerkan cahaya lampu yang memantul ke besi itu. "Andai Nataya membenci kamu, akan lebih mudah bagi saya, Bian."

Tak sanggup lagi mata Bian terbuka kala Tarana telah mengayunkan tangannya tanpa beban. Tinggal menghitung waktu bisa jadi salah satu anggota tubuhnya terluka.

Bunyi debam menghantam sisi telinganya kencang. Di benaknya mengira-ngira banyak hal. Apa yang Tarana lakukan kepadanya? Apa ini kematian yang tidak menyakitkan, atau sekiranya luka itu tidak terasa karena terlalu besar?

Tapi nyatanya, tidak ada yang terjadi. Bobot di atas tubuhnya berkurang drastis. Seiring dengan pergerakan bola mata hitamnya, Tarana tidak ada lagi terlihat. Ia sudah menghilang, entah ke mana, lagi.

Sebelah kiri dari kepalanya ... jarum itu ternyata menancap kuat di kasur. Tegak lurus berdiri menantang. Seakan sedikit lagi Bian berani bergerak, dia akan terluka.

Ia mengira kebencian itu kebencian yang sudah termaafkan. Tapi ... apa yang barusan dilaluinya?

Sebagian lengannya menutup akses cahaya menembus ke titik retinanya. Ia kacau, sama kacaunya dengan Tarana. Tak bisa berpikir apa pun.

***

"Tante?" Pandangan memburam Nataya diusapnya sendiri oleh punggung tangannya. "Tante."

Tarana masih tak bergeming dari tidur miringnya. Tampak nyenyak, dengan kerutan tak nyaman di atas dahinya. Meracau sedikit demi sedikit, sampai kemudian mulai terusik dari tidurnya. "Hm ...."

"Tante!" Nataya bersuara lebih kencang lagi. "Tante!"

"Hmm ...." Tarana bergumam tipis. Membuka binar kelelahan di pancaran oranyenya. "Kenapa, Sayang?"

"Tante di sini?" Nataya mengerjap lembut, menusuk pipi Tarana layaknya yang sering dilakukannya pada Bian. "Atau Ataya mimpi karena kangen sama Mama?"

"Maaf Tante gak kasih tahu kamu dulu, Sayang. Tadi Tante ngantuk banget." Tubuh Nataya dipeluknya segera, menghujamkan dua buah kecupan sayang, seraya menyugar ke atas rambut wanginya. "Kangen Mama, ya?"

Awal mulanya, ia lumayan kebingungan. Namun, kenyamanan mengalahkan ekspresi bingung Nataya menjadi sendu. "Gak pernah lihat Mama."

"Papa gak pernah ceritain tentang Mama?" tanya Tarana lembut, walaupun teramat sangat mengantuk. "Atau Nataya yang gak pernah tanya tentang Mama?"

Mendadak saja kemanjaan Nataya berubah dua kali lipat. Menyembunyikan wajahnya di bawah dagu Tarana, meminta kepalanya diusap-usap. "Papa ... benci sama Mama, tapi Papa juga sayang sama Mama. Itu kata Grandma."