webnovel

Seratus Persen

Secarik kertas di atas selimut mengawali paginya yang buruk ini. Dibagaimanakan pun, lelah di ototnya tak bisa menghilang. Lehernya pegal, tangannya lemas, juga tanpa semangat memulai hari.

Kalau ingin menyalahkan Tarana, rasanya ia harus menyalahkan diri sendiri. Entah mengapa, semua tingkah laku Tarana kemarin terasa wajar.

Walau ke mana pun Bian bertanya, jawabannya adalah tidak wajar. Namun, alasan itu yang tidak diketahuinya. Kenapa ia menormalisasikannya? Kenapa ia tidak menolak, dan hanya pasrah saja?

Di pagi hari pun, otaknya sudah diperas setengah mati. Membuatnya sedikit mengerang tidak rela membaca pesan singkat yang ditinggalkan Tarana.

'Saya baru akan kembali ke rumah jam delapan malam. Saya yang mengantar Nataya ke sekolah, saya juga nanti yang menjemputnya ke daycare. Kalau kamu tidak ikhlas untuk menjemput Nataya seperti kemarin, lebih baik kamu mengirimkan pesan pada saya.'

'Hanya pesan. Tidak menerima telepon.'

Karena kemarin juga, ia tidak mendapat kesempatan menjelaskan pada Tarana.

Tidak, tidak. Kesempatan kemarin ada. Hadir tepat di depan matanya. Hanya saja ..., Bian terlalu bodoh untuk membuang kesempatan itu dengan menggoda Tarana.

Siapa yang menyangka kalau reaksi Tarana seekstrem itu? Ia belum tahu luar dalam tentang Tarana rupanya. Hanya sepersekian dari yang ingin ditunjukkan wanita itu, barulah Bian berkesempatan untuk menyimpannya dalam memorinya.

Bian melenguh kecil. Mengusap layar ponsel menggunakan ibu jari, terpampanglah wallpaper hitam tak cerahnya itu.

Kalau jam delapan ... acara malam ini terancam dibatalkan.

***

Serumpun bunga tulip dibawanya melintasi bangku-bangku berjejer menghadap ke depan. Ini bukan pertama kalinya Tarana ke sini, tapi ini sekian tahun lamanya ia tidak kembali ke sini. Setelah apa yang terjadi, setelah semuanya terjadi.

Belum juga apa-apa, tenggorokan Tarana sudah tercekat. Memorinya yang lalu menyeruak paksa tak terkendali. Bergantian membuatnya oleng, hingga terpaksa duduk di salah satu kursi tanpa bisa mencapai ujung jajaran kursi panjang ini.

Siapa Tarana pikir bahwa ia sudah berhasil? Belum. Belum sedikit pun. Semuanya masih sama, tidak ada yang berbeda.

"Saya tidak pernah melihat kamu di sini."

Padahal niatnya ke sini adalah tidak dikenali. Tapi kesialan rupanya mendatanginya lebih banyak dari yang diduganya. "Pak Agra."

"Ke sini ... sendiri?"

Sedikit banyak Tarana sudah memperlihatkan gelagat keengganannya untuk berbicara lebih lanjut. Entah orang di sebelahnya ini mengacuhkannya, atau benar-benar tidak melihat. "Sendiri. Kalau begitu saya permisi dulu. Saya ada urusan."

"Oh?" Agra mengangkat kedua bahunya mudah. "Saya pikir kamu butuh ditemani."

Dari seluruh mimik wajahnya, Tarana yakin seratus persen telah mengaturnya dalam mode kesumatnya. Mungkin karena Agra ini atasannya saja, jadi tidak pernah melihat raut kekesalan Tarana. "Permisi."

Selain buta, sepertinya Agra tuli. "Pak, permisi. Saya mau keluar ke sana." Sisi kiri tempat Agra duduk ditunjuknya.

"Ke sana aja." Agra menimpali ringan. Melirik naik, turun, lalu menunjuk sisi kanan yang masih panjang dari bangku lebar itu. "Kamu, kan, lihat saya masih ada di sini. Masa suruh saya minggir, Tarana?"

Kalau saja pria ini bukan atasannya di tempat kerja, mungkin tendangan dengkul Tarana bisa mampir juga di perutnya itu.

Ternyata memang benar. Bertemu seseorang yang dikenal saat di luar sama sekali tidak menyenangkan. Wajah masam Tarana pun sama sekali tidak mengganggu Agra. Padahal kalau Agra terganggu, semua akan jadi lebih baik. Sungguh. "Oke."

"Tiga puluh menit lagi jam masuk kantor, Tarana. Jangan sampai terlambat kayak waktu itu," cetus Agra melirik jam tangan bundarnya itu. "Daripada temen kamu kena lagi, 'kan?"

Sebenarnya Agra ini ikhlas saat mengizinkan Tarana pergi tidak, sih? "Ini di luar, Bapak."

"Terus kenapa?"

Sebisa mungkin Tarana mengangkat senyum kelewat miringnya. Lenyap sudah kesedihan yang dibawanya ke sini kalau ia sendiri pun tidak bisa tenang. "Bapak masih mau di sini, ya?"

Agra mengangguk lagi.

"Kalau begitu saya yang pergi aja."

"Bercanda," sahut Agra datar. Memeriksa sekilas ponselnya, lantas memasukkannya lagi ke dalam saku celana. "Jangan sampai terlambat. Nanti kalau kerjaan kamu numpuk di kantor, jangan salahin saya."

Selepas itu, Agra malah mengangkat kakinya sementara Tarana sudah keluar dari sisi lain kursi panjang. Perjuangannya menyeret tubuh ke kanan sia-sia.

Kalau tidak mengingat untuk apa Tarana ke sini, dan di mana ia sekarang, bisa jadi keributan tercipta lagi.

Genggamannya pada sekelompok bunga tulip cerah, berwarna seperti mentari pagi, mulai mengendur setahap demi setahap. Tergeletak di ujung kanan bangku memanjang itu. Tinggal beberapa waktu saja, seseorang pasti akan membuang bunga yang dianggap sampah ini.

Jujur saja, perasaannya tidak lagi buruk. Tersisa senyum pedih yang digambarkan Tarana. "Selamat hari bahagia, Ana."

***

"Sayang!"

Suara cempreng yang merangsek itu berarti petaka baru untuknya. Oh, sial. Tidak bisakah tambah umur ini dilaluinya dengan kedamaian? Tanpa sedikit pun kebisingan? "Claire ... gue lagi sibuk."

"Bos udah kasih izin." Claire memotong bersama cengiran lebarnya. Sepotong kue tak lebih dari 10 kali 10 dibawanya selagi yang lain sedang beristirahat. "Gue udah bilang, kok, mau rayain ulang tahun lo. Katanya selagi gak ganggu kerjaan, dia kasih."

"Pak Agra emang udah balik?" Penasaran, Tarana menjulurkan lehernya keluar. Pas sekali saat Agra tengah memperhatikannya dari jauh. Tiba-tiba saja bulu kuduknya bergidik. "Gue kira dia lagi ada urusan di luar."

"Gak lama pas lo balik, dia balik." Rallan ikut menimbrung. Membawa dua tumpukan kado itu ke atas meja bersih Tarana. "Sok sibuk lo. Padahal layar komputer lo gak nampil apa-apa."

"Lo gak tahu yang namanya males ngomong, ya?" desis Tarana sinis. Separuh bercanda, separuhnya tidak. "Gue udah bilang berkali-kali gue gak mau ulang tahun gue dirayain. Kalian batu banget, sih."

Bergantian Tarana melihat orang yang di sampingnya, juga bertengger memeluk belakang kursinya. "Ini beneran?"

"Beneran!" sahut Claire heboh. "Potong, kek. Gue juga mau nyobain kali. Itu hasil gue patungan sama Rallan. Bukan dari toko lo, kok."

Mau tak mau lengkungan mampir di ranumnya yang tertekuk sedari tadi. "Gak ada yang mau kasih gue lilin buat tiup gitu?"

"Bos gak kasih kalau lilin," celetuk Rallan menggerutu. "Katanya takut kebakaran, lah. Takut apalah."

"Kenapa lo jadi tanya-tanyain beginian ke Pak Agra?"

Ujung jari Rallan bergerak menuduh Claire sebagai biangnya. "Tuh. Tanya temen lo."

Sementara, Claire mulai bergerak kebingungan. Mengelus tengkuknya, tapi kemudian tersenyum cerah. "Potong, Tar!"

Jelas Tarana menyipitkan matanya curiga. Sudut matanya memincing lebih lanjut dari sebelumnya. "Claire. Lo mau pake nama gue buat adain traktiran dari Pak Agra, ya?"

"Hehe." Jari telunjuk dan tengahnya terbentuk huruf V. "Sekali-sekali, Tar! Biar lo juga rileks gitu, kek. Kan lo yang paling sering disuruh-suruh sama dia."

Ah, sudahlah. Mampus saja dirinya beberapa hari ke depan.