Feeling-nya mengatakan bahwa ada tangan yang menjalar ke pinggangnya. Antara khayalan, atau kenyataan. Tapi buktinya, saat Tarana bergerak menyisir bagian belakangnya, tidak ada yang mengganggunya.
Jadi, dianggap sebagai mimpi semata, Tarana bergelung lebih rapat lagi dengan selimutnya. Enggan diganggu padahal belum waktunya Tarana untuk bangun dan beraktivitas lagi.
Sekian menit nyaris kembali pada alam yang sebelumnya, Tarana terhenyak lagi akan tangan dingin yang merupakan kejutan bukan main untuknnya. Kali ini lebih menekan, lebih intens.
Dan, menyakitkan. Bahkan Tarana sudah melupakan keberadaan lebam di pinggangnya seminggu yang lalu jika saja tidak diingatkan sekarang. "Engh!"
"Sstt ... tahan," bisiknya lembut. "Ini biru. Kamu tidak sadar atau kamu sengaja mengabaikan memar ini?"
"Minggir." Tarana berbisik lemas. "Ayolah. Saya tidak punya waktu banyak. Saya hanya ingin tidur."
"Semalam tidur jam berapa?"
Masih pagi, tapi Bian sudah memaksanya untuk mengingat kejadian kemarin. Mana bisa? Pikirannya malas bergerak. Masih ingin terlelap kalau saja Bian tidak menekan lagi bekas kebiruan itu. "Bian!"
"Kalau tidak begini, memarnya gak sembuh, Tar." Bian mendengkus pelan. Berlagak tak acuh, padahal memang ia yang jahil. "Jam berapa?"
"Gak tahu," jawab Tarana lemas. "Sekarang jam berapa?"
"Lima empat lima." Tepat di telinga Tarana, Bian bernapas sedikit menderu. "Jadi?"
"Baru satu jam." Untungnya, otaknya sudah bisa berkompromi dengannya pagi-pagi begini. Ingin protes kehilangan jam tidur lima belas menitnya, tapi rasanya kenapa ia yang terancam akan jawabannya? "Oke, bisa diam?"
"Satu jam, Tar?"
Tiba-tiba, Tarana membuka akses khusus bagi Bian untuk meneliti mata indahnya saat matahari baru saja terbit. Pun, menambah senyuman semanis gula yang tak pernah ia tunjukkan untuk siapa pun.
Catat, siapa pun. Semua hanya untuk membujuk Bian agar tidak marah-marah di cuaca secerah ini. "Biannn! Saya ingin beristirahat sebentar lagi. Boleh, ya?"
Tergoda, Bian juga mulai melancarkan aksinya. Menaikkan intensitas permainan ini demi Tarana. Wanita yang menunjukkan sisi manisnya hanya untuk membujuk. Lucu sekali? "Siapa yang bilang kamu tidak boleh?"
"Ah!" pekik Tarana terkejut, lantas memukul lengan besar Bian yang mengalung di belakangnya. "Stop tekenin pinggang saya!"
"Biru, Tar," balas Bian terkekeh. Tidak pernah Bian sebelumnya merasa khawatir yang diaduk dalam satu kuali dengan bercandaan. "Tidur aja. Kenapa sekarang malah melotot-melotot begitu?"
Berapa kali pun tangan Bian diremasnya kencang, Bian tidak bereaksi sama sekali. Kedua mata sehitam jelaga nan bersihnya mendayu lembut seiring penekanan bertubi-tubinya pada pinggang Tarana.
Pijatan-pijatan teratur itu telah berubah menjadi sensual. Dapat Tarana rasakan sendiri bagaimana kulit dingin itu berkeringat. Tak bertujuan lagi untuk mengobati, tapi lebih dari itu.
Walaupun Tarana tahu perubahan dalam diri Bian, Tarana enggan mengakui. Mata terjaganya memperhatikan bagaimana rahang tegas itu mulai mengetat, bagaimana Tarana didekatkan, namun masih menghalanginya dengan tangannya di pertengahan.
Juga, bagaimana Bian berupaya agar Tarana mau mengalungkan tangannya di belakang. Tanpa suara, semua dilakukannya hanya berdasarkan gelagat. "Saya adalah pria biasa dan orang paling bodoh yang melewatkan kamu berhari-hari, Tar."
"Saya belum mau melakukannya," tolak Tarana menciut. Pandangan berkabut Bian membuatnya tidak tega, tapi bagaimana? "Saya belum bisa."
Harusnya Bian mengerti saat itu juga. Tapi semua reaksi dan keinginan tubuhnya sulit dihentikan. Sungguh. "Tar ... apa kali ini saya boleh meminta ciuman?"
Apa akan terlalu kejam baginya kalau Tarana masih tidak mengizinkannya? "Bian ...."
"Saya paham kalau kamu belum mau, Tar. Tapi sungguh, saya menahan diri, dan apa kamu masih tidak mengizinkan saya untuk menyentuh kamu ...." Seutuhnya wajah Tarana dibebaskannya dari rambut tipisnya. Persetan dengan muka berminyak Tarana. Tarana cantik apa adanya. "Walaupun seujung bibir?"
Bian adalah seorang laki-laki, dan posisi Tarana adalah seorang perempuan. Perempuan di usia matang, yang legal apalagi dalam perkara ini. Ia sadar betul, sejak mereka tinggal sekasur, cepat atau lambat hal ini akan datang juga.
Lagipula, Bian sudah pernah menikah. Mungkin saja, ia merindukan lagi hal-hal kecil sebagai pemanis dalam pernikahan ini.
Bukan inti, tapi bisa jadi gawat kalau terus diabaikan.
Tahu akan keengganan yang tak kunjung disebutkan Tarana, Bian melepaskan rangkulan tak menyisakan jaraknya. "Masih terlalu cepat untuk kamu juga? Untuk kita?"
Kalau Tarana bilang masih, akan jadi apa? "Bian."
"Hm?" tanya Bian lembut. Lengkungannya lebih tipis, juga lebih datar. "Belum jam enam."
Tarana menggeleng. Bukan itu yang ingin ia bahas. "Gimana kalau saya pencium yang buruk ...? Mungkin kamu akan membenci saya selamanya."
Benar. Tarana masih sangat baru dalam hubungan serius. Tak pernah berpacaran, mantap menolak untuk disentuh, apalagi berciuman.
Bagaimana kalau Bian malah jijik dengan dirinya? Oh, Tarana tidak akan bisa melanjutkan sisa pernikahan ini dengan bersembunyi di balik selimut, 'kan?
Yang ia tahu hanya menempelkan bibir. Sudah, itu saja.
Di luar dari semua kegundahan Tarana, Bian terbahak ringan. Semringahnya muncul ala kadarnya. Puas, bebas, melebihi dari berat batinnya yang ingin memakan Tarana habis-habisan. "Tar ... Tar! Beneran itu yang pengen kamu tanyain ke saya? Kayaknya ada yang lebih penting buat ditanyain, Tar."
"Misalnya?"
Dengan pergerakan lembutnya, Bian menuntun tangan Tarana untuk mengalung di belakang lehernya. "Buat diri kamu senyaman mungkin dulu."
Satu kali kedip ... dua kali kedip .... "Saya gak ngerti."
"Misalnya ...." Aroma menyejukkan perempuan ini dihirupnya dalam-dalam. Tidak pernah berubah, dan Bian akan pastikan tidak akan berubah. "Bagaimana kalau saya melakukan yang lebih dari sekedar ciuman? Apa menurut kamu itu tidak penting?"
Deg!
Hey! Hey!
Tolong berhenti sekarang juga!
Apa ini semata adalah gombalan, atau ini merupakan hal yang serius?!
Pun, kenapa hal kurang ajar ini malah membuat jantungnya melompat keluar dari tempatnya? Kepalanya jadi berkunang, pusing, juga ribuan sengatan mengerikan di dalam hatinya. Sesak, ia sulit mendapatkan kebutuhan utamanya sebagai manusia.
Di situasi normal, Tarana sudah pasti menimpuk dan memaki Bian dengan berbagai kalimat-kalimat yang dibalasnya tenang dan datar.
Nyatanya tidak. Tarana membiarkan Bian menang.
Tapi apa sesungguhnya ada kemenangan dan kekalahan di sini? Tidak ada.
"Hey, saya bercanda, tahu?" Kebahagiaan Bian direntangkan lebih lebar lagi. Mendekatkan mulutnya, tapi untuk mengecup lembut kening Tarana. "Sayangnya beberapa menit lagi jam enam. Mungkin lain kali, Tar?"
Setelahnya, Bian memberikan satu pelukan hangat untuk Tarana. Debaran yang lumayan dinikmatinya untuk hari ini. "Selain karena waktu, saya ada alasan lain, sih, Tar."
"H-huh?" Penerimaan indra Tarana masih bergerak lamban. Merangkak layaknya kura-kura.
"Saya takut kelepasan," bisik Bian kecil. Mencuri kecupan kecil di pipi kiri Tarana sebelum membiarkan udara dingin menyeruak ke tengah mereka. "Jadi, biarkan saya yang mencari jarak aman."
Keberingsutannya mundur juga dibatalkan beberapa detik. Berbalik, memberikan Tarana senyuman singkat. "Tapi kalau kamu mulai duluan ... jangan salahin saya, ya?"