webnovel

Bayi di Depan Rumahku

Blurb Kehidupan rumah tangga, tak lengkap jika sang malaikat kecil belum hadir. Lima tahun sudah kami mengarungi bahtera rumah tangga. Namun, tanda-tanda malaikat kecil belum hadir juga di rahimku. Segala cara sudah kami coba. Namun, tak ada satupun yang berhasil. Hingga suatu hari, seorang bayi perempuan ditinggalkan seseorang di depan rumah kami. Awalnya kami akan melaporkannya pada ketua RT. Namun, sebuah ide gila hadir di otakku. Dan suami menyetujuinya. Kami mengadopsi bayi itu dan memberikan nama keluarga suami padanya. Entah apa yang terjadi tanpa sepengetahuanku. Segala kejanggalan terjadi semenjak bayi itu datang. Mulai dari liontinku yang hilang ada pada bayi itu, sampai sikap suamiku yang tiba-tiba berubah. Bayi itu seakan menjadi pusat utama dunianya. Bukan karena aku cemburu, tetapi sikapnya sangat berlebihan. Semuanya menjadi aneh, terlebih banyak hal-hal yang disembunyikan dariku. Suamiku, Papa dan Mama mertua, dan yang lebih mengherankan pembantu di rumahku. Akankah semuanya akan terbongkar? Dan dapatkah aku bisa menghadapi semuanya?

E_Rinrien · Urbano
Classificações insuficientes
348 Chs

9.Nyinyiran

Sampai tengah malam, aku masih menunggu kepulangan Mas Denis. Ya, aku berpikir bahwa dia sedang marah saja terbawa emosi. Mas Denis tidak biasanya marah dalam waktu lama.

Jika diingat-ingat selama kami menikah. Dia marah hanya satu sampai tiga jam saja. Setelah itu kami baikan lagi seolah tidak terjadi apa-apa. Mas Denis anugerah yang mengajarkanku sebuah kesabaran.

Dua jam berlalu, waktu menunjukkan pukul setengah dua malam. Aku mulai merasa khawatir, ke mana Mas Denis pergi. Kucoba menelponnya tapi nomor tidak dapat dihubungi.

"Yaa Allah, Mas, apa kamu semarah itu padaku?" tanyaku dalam hati.

Rasa bersalah merasuki hatiku. Apa karena sikapku Mas Denis jadi berubah sekarang? Aku diam merenung di tengah rumah, sampai suara tangisan Kiara membuyarkan pikiran.

Segera aku beranjak ke kamar Kiara, ternyata anak itu ingin menyusu. Aku menggendong bayi mungil itu, supaya tidak berisik. Kasihan Nita, sebab besok dia harus bekerja menjaga anakku.

"Uhh sayang, kamu itu lucu banget sih." Kutatap wajah mungil Kiara yang sangat cantik.

Entah siapa wanita yang tega membuang bayi yang tak berdosa ini. Apapun masalah yang dihadapinya, tidak sepantasnya dia mengorbankan anak demi egonya. Ah, aku selalu emosi setiap mengingat hal itu.

***

"Bu, sudah jam enam." Suara Nita membangunkanku dari tidur yang sedang nyenyak.

Aku merenggangkan tubuh yang terasa pegal. Entah sejak kapan aku tidur di kamar Kiara. Terakhir kuingat anak itu meminta susu dan langsung ku buatkan. Karena menunggu Mas Denis pulang, mata ini tetap terjaga walau akhirnya harus tertutup juga.

"Sudah siapkan sarapan, Nit?" tanyaku.

"Sudah, Bu, tapi cuma untuk satu orang saja," jawab Nita.

"Satu orang? Pak Denis tidak pulang?" Aku terkesiap mendengar perkataan Nita.

"Tidak, semalaman saya juga menunggu. Takut Bapak minta dibukakan pintu, Bu. Tapi, Bapak tidak pulang ternyata," jawab Nita. Raut wajahnya tidak bisa dijelaskan. Entah karena tidak enak padaku mungkin.

"Ya sudah, mumpung Kiara lagi tidur. Saya mandi dulu, kamu siapkan air hangat untuk Kiara mandi," perintahku.

"Baik, Bu." Nita mengangguk pelan lalu mundur satu langkah dan berbalik meninggalkan kami.

Lagi, kutatap sosok mungil yang tengah tertidur pulas. Wajah polos tak berdosa itu membangkitkan semangatku kembali. Setelah beberapa menit melihat Kiara, aku merasa semangat lagi dan beranjak ke kamar mandi.

Selesai sarapan pagi, aku bersiap pergi ke kantor. Tapi kemudian kudengar Kiara menangis. Karena masih ada waktu longgar, aku mencoba menenangkan Kiara. Tapi ternyata bocah itu semakin menangis menjadi-jadi.

"Aduh, gimana ya ini. Kok, Kiara rewel sekali."

"Mungkin kangen sama bapaknya, Bu," kata Nita yang sejak tadi berdiri memperhatikanku.

"Apa iya Nit?" tanyaku mengernyit keheranan.

"Iya, namanya juga anak sama orang tua, Bu. Pasti ada ikatan batinnya," jawab Nita.

Degh! Jantungku berdebar kencang, benarkah Kiara merindukan ayahnya? Rasanya tidak mungkin itu terjadi, karena Kiara dan Mas Denis baru bertemu beberapa hari.

Setahuku, bounding dan ikatan batin antara orang tua juga anak yang sedarah saja perlu waktu untuk menjalin hal tersebut. Bagaimana dengan anak yang tidak ada ikatan darah sama sekali. Aku menghela napas sejenak, perkataan Nita sedikit mengganggu pikiran.

"Kamu tahu dari mana Nit?" tanyaku penasaran, dalam hati berharap kalau Nita memberi jawaban memuaskan.

"Menurut pengalaman saya Bu, ya tahu dari orang-orang juga sih kalau cerita. Aura dari ibu bapaknya bisa sangat pengaruh sama anak," kata Nita.

Akuk masih diam mendengarkan gadis itu bicara. Ternyata, Nita lumayan pintar juga, pikirku.

"Jadi, kalau ibu bapanya berantem, otomatis pikirannya anak juga ikut ngerasain lho Bu," sambung Nita.

Entah kenapa aku merasa tersindir dengan perkataan Nita.

"Ya sudah, makasih penjelasannya ya. Tapi, saat ini saya sama suami baik-baik juga," jawabku singkat.

"Iya, Bu, maaf jika perkataan saya menyinggung," ucapnya.

"Oh ya, tolong bawaan bekal dan tas yang ada di meja ruang tamu ke mobil. Nanti, saya kasih Kiara ke kamu," kataku.

"Baik, Bu," jawab Nita, gadis itu pun keluar dari kamar Kiara.

Sepeninggal Nita, aku masih kepikiran omongan gadis itu. Benarkah Kiara rewel karena Mas Denis tidak ada di rumah. Aku mencoba menelpon Mas Denis lagi, tapi nomornya masih tidak aktif.

Teringat ada satu video Mas Denis, aku memutar video tersebut dan didekatkan di telinganya Kiara. Tidak lama kemudian, Kiara tertidur pulas seperti dihipnotis dan langsung lelap.

Karena tidak mau Kiara terbangun, dengan hati-hati ku simpan tubuh mungil itu di ranjang. Video Mas Denis masih diputar di ponsel. Setelah Kiara aman, aku segera pergi ke kantor karena takut terlambat.

Saat akan bersiap masuk ke dalam mobil, kulihat Mang Tasyrep tukang sayur keliling di komplek tengah memarkirkan gerobaknya tepat di depan pintu. Aku sedikit kesal karena posisi mereka menghalangi jalan keluarku. Tapi jika menegur, ibu-ibu komplek juga tidak akan mau minggir. Apalagi di sana ada Jeny, tetangga yang rumahnya bersebelahan denganku.

Harus ku siapkan banyak kesabaran untuk menghadapi Jeny dan omongan pedasnya. Daripada kutegur mereka, lebih baik aku menunggu sebentar. Tapi lima menit berlalu, tanda-tanda mereka akan pergi belum juga terlihat. Mereka malah semakin asyik bergosip membicarakan orang lain.

Aku sudah jengah dan memberanikan diri menegur. Sudah cukup wahai tetangga, ini sudah jam kerja!

"Permisi, bisa gerobaknya digeser sedikit, Mang? Saya mau keluar soalnya," kataku pada Mang Tasyrep.

Tatapan tajam langsung tertuju padaku dari semua ibu-ibu yang ada di sana. Sebetulnya aku tidak kaget, hanya kesal saja untuk kali ini melihat sikap mereka. Di sana ada Bu Rt, Jeny, Bu Meriska, dan Bu Merlyn, si genk kompak dalam berjulid riya. Aku masih mencoba tersenyum pada mereka, walaupun tidak direspon.

"Oh ya maaf, Neng, maafin Mamang ya," ucap Mang Tasyrep, siap mendorong gerobaknya.

"Terima kasih, Mang," ucapku pada Mang tasyrep.

"Nebeng sebentar aja kenapa sih pelit banget," celetuk Bu Merlyn.

"Maaf, Bu, saya mau berangkat kerja. Jadi tolong kerjasamanya," ucapku dengan sopan.

"Ya sebentar aja sih, belagu banget punya mobil gitu doang juga," sahut Bu Merlyn.

"Maaf, bukan maksud saya seperti itu," ucapku ingin menjawab. Tapi kulihat Jeny maju ke depan menghampiriku, tatapan nya yang tajam membuatku semakin sebal padanya.

"Kamu kerja Din?" tanyanya.

"Iya," jawabku.

"Seriusan? Kamu kan, baru punya bayi? Kenapa sudah langsung bekerja? Kasihan dong bayi kamu," komentar Jeny seraya menatapku.

"Apa? Bu Dinda punya anak?" Semuanya serempak bertanya.

Astaga! Dia sudah tahu perihal Kiara. Apa yang harus aku jawab sekarang. Sementara akta Kiara saja belum ada sebagai bukti. Ku