webnovel

8. Semakin Berubah

Bekerja di hari pertama setelah sekian lama cukup mengurus tenaga. Aku pulang larut malam ketika sampai rumah. Namun, rumah nampak sepi seperti tidak ada penghuni. Biasanya Mas Denis terlihat duduk di kamar kami, jelas saja aku bisa tahu karena posisi kamar kami ada di lantai atas bagian depan.

Aku turun dari mobil lalu segera masuk ke dalam rumah. Karena rindu pada Kiara, setelah cuci tangan dan muka. Aku bergegas ke dalam kamar anakku, ternyata bayi mungil itu sedang terlelap.

"Duh, anak Mama sayang. Maaf ya, Mama pulangnya kemalaman. Sehat-sehat ya cinta." Ku bisikkan kata-kata lembut ditelinganya. Tangan mungil itu ku genggam dan dikecup perlahan.

Walau belum pernah memiliki anak. Aku sudah banyak belajar lewat online maupun sharing dari teman-teman yang sudah mempunyai anak. Segudang cerita mereka selalu saja bisa membuatku sangat bersyukur.

Sebab, sekarang aku sangat menyadari betapa kita sebagai orang tua. Harus cerdas menyikapi anak, mengelola mental supaya baik luar dan dalam. Banyak anak yang menjadi korban keegoisan orang tua karena kurangnya pengetahuan.

"Loh, kok, aku baru sadar. Ke mana Nita?" pikirku, setelah sadar Nita tidak ada di kamar Kiara.

"Nit, Nita!"

Hening, tidak ada sahutan apapun dari Nita. Apa mungkin dia sudah tidur? Pikirku.

Karena merasa penasaran, aku beranjak ke kamar Nita. Namun, saat pintu terbuka, gadis itu juga tidak ada di sana. Sebelah alisku terangkat, tiba-tiba saja otak memikirkan sesuatu. Tapi kemudian ku tepis semua itu dengan mengucap istighfar. Setan memang paling suka merasuk, saat manusia sedang kacau pikirannya.

Saat aku berbalik, ku lihat Nita baru turun dari lantai atas dengan kondisi pakaian juga rambut yang sedikit berantakan. Ketika Nita menoleh ke arahku, wajahnya terlihat kaget seakan baru melihat hantu. Aku masih berdiri diambang pintu kamar Nita. Ya, pikiran jelek masih menyelimuti otakku.

"Ibu, sudah pulang ya. Maaf, saya tidak mendengar suara mobil Ibu," ucapnya santun sambil sedikit menunduk.

"Ya, tidak apa-apa. Kamu habis ngapain dari lantai atas?" tanyaku segaja menyelidiki. Sikap Nita sangat mencurigakan bagiku. Terlebih saat ini cuma ada dirinya dan Mas Denis di rumah ini.

"Oh, itu Bu, tadi Bapak minta tolong kemasin koper. Katanya, besok Bapak mau pergi. Jadi, saya habis dari lantai atas," jawab Nita.

"Oh, begitu. Kok, dia nggak bilang sama saya ya kalau mau pergi."

"Maaf, saya tidak tahu apapun, Bu."

"Ya sudah, bisa tolong buatkan mie instan? Saya lapar sekali," perintahku seraya mengelus perut.

"Baik, Bu," jawab Nita.

"Panggil saya ke atas kalau sudah selesai. Saya mau ganti baju dulu," pamitku.

Setelah berkata demikian, aku langsung bergegas menuju kamar utama. Kamar yang selalu menjadi saksi cinta kami. Ya cintaku dan Mas Denis bersatu diperaduan yang hangat. Saat pintu ku buka, benar apa yang dikatakan oleh Nita.

Ada sebuah koper yang sudah tertutup di sisi ranjang. Aku masuk lalu menyalami Mas Denis. Namun, wajah pria itu terlihat ditekuk dan menanggapiku dengan sikap dingin.

"Mas, kamu baik-baik aja?" tanyaku.

"Ya," jawabnya singkat, matanya tetap fokus pada layar ponsel di tangannya.

"Kamu besok mau pergi ke mana? Kok, nggak kabarin aku?"

"Urusan bisnis, lagipula kamu sibuk kerja. Mana ada waktu memperhatikan suami lagi," ucap Mas Denis.

Hatiku terasa sakit mendengar ucapannya. Bagaimana bisa sikap pria yang selalu bersikap lembut ini. Berubah dratis menjadi seorang pemarah dan suka menyindir.

"Maaf, Mas, namanya juga baru masuk kerja. Pasti ada trouble di kantor," jawabku.

"Iya, seneng-seneng sama temen baru. Apalagi sama cowok, pasti caper banget ya."

"Mas! Kok, omongan kamu makin ngelantur sih. Kenapa sih Mas, aku jadi serba salah!" seruku kesal.

"Loh, Mas cuma ngomong fakta. Biasanya cewek gampang sekali terbawa perasaan kalau ketemu cowok baru. Bos kamu ganteng ya?" Ekspresi wajah Mas Denis seakan mengejekku.

"Sumpah ya Mas, aku nggak ngerti maksud kamu apa!"

"Tidak perlu kamu berusaha mengerti. Karena sejak dulu hubungan ini tidak akan baik-baik saja. Selama kamu belum punya anak."

Kepalaku rasanya ingin pecah mendengar perkataan Mas Denis. Daripada berdebat tiada ujung yang tidak ada faedahnya. Aku meninggalkan Mas Denis sendirian dan masuk ke kamar mandi. Biasanya jika tahu aku marah, Mas Denis akan membujuk.

Cukup lama di kamar mandi sebelum membersihkan diri. Mas Denis masih bergeming di tempatnya. Akhirnya aku mengalah keluar, Mas Denis masih anteng dengan laptopnya. Suara ketukan di pintu membuatku terpaksa membukanya.

"Bu, makanannya sudah jadi," kata Nita yang baru saja datang.

"Ok, maaf saya lupa lagi minta kamu buat mie," jawabku.

"Kaya gituan aja kamu suruh orang. Bikin sendiri dong jangan nyusahin terus," teriak Mas Denis.

Harga diriku semakin terinjak dengan perkataannya. Ku hela napas panjang, lalu mengembuskannya kasar.

"Nit, nanti saya turun," kataku.

"Baik, Bu."

Aku segera menutup pintu dan berbalik menatap Mas Denis. Sosok yang sama namun dengan karakter berbeda ini belakangan membuatku meradang. Harus bagaimana lagi aku bersikap padanya.

"Mas, ada masalah apa? Kalau ada masalah di pekerjaan, jangan bawa ke rumah dong," kataku menurunkan nada suara.

"Aku tidak punya masalah. Tapi kamu yang jadi sumber masalah," jawabnya, Mas Denis menutup laptop lalu memasukkannya ke dalam tas.

"Kenapa denganku Mas? Coba katakan dengan jelas."

"Ah, sudahlah. Aku sangat pusing. Ditambah kamu lagi terus bicara bikin kepalaku sakit." Mas Denis turun dari ranjang, lalu menyambar kunci mobil dan tas nya juga koper.

Sontak aku terkejut melihatnya bersiap pergi. Tapi, apa salahku padanya. Kenapa dia bersikap seperti itu. Padahal, tadi dia sendiri yang memulai pertengkaran.

"Mas, mau ke mana? Ini sudah tengah malam." Aku mencoba mencegahnya pergi.

"Lebih baik aku tidur di Bandara. Daripada tidur sama kamu," jawabnya.

"Kamu ini aneh banget deh. Apa salahku?" Air mata mulai bercucuran, aku tidak sanggup lagi menahannya.

"Minggir!" Mas Denis mendorongku tubuhku dengan kasar. Pria itu berlalu begitu saja keluar dari kamar.

Aku mencoba mengejar Mas Denis yang sudah pergi meninggalkan rumah. Sungguh, hatiku dipenuhi tanya. Kenapa sikap suamiku sangat berubah. Emosi Mas Denis tidak jelas dan tak beralasan.

"Bu, masuk sudah malam." Suara Nita membuatku tersadar dari dinginnya angin malam.

"Nit," sahutku lalu perlahan bangkit.

"Sabar ya Bu, saya memang belum menikah. Tapi saya tahu apa yang ibu rasakan," ucap Nita.

Aku hanya menanggapinya dengan senyum biasa. Ucapan Nita terlalu dewasa bagi gadis seusianya. Aku masuk ke dalam rumah, melupakan mie instan yang dibuat Nita dan tidur di kamar Kiara.

Next chapter