webnovel

1.1 Kencan

Kota M, 10 September 2018

Wijaya tengah mengelus dagunya yang tak gatal, manik coklatnya melihat lekat layar monitor 24” di depannya. Wajah itu tampak serius, mengamati kata demi kata dengan seksama, mengabaikan tumpukan berkas yang menggunung di sisi kanan dan kiri. Pokoknya, bagi yang utama adalah apa yang ditampilkan layar di sana.

Heh, kalian bertanya apa yang membuatnya serius seperti ini? Jawabannya adalah … Laporan.

Bukan laporan tugas kuliah atau pun kegiatan Eksekutif Mahasiswa sayangnya.

Lalu?

Laporan ini berisi tentang aktivitas Cakrawala Pangestu dari 2017 sampai sekarang. Sangat detail bahkan, sampai mata kuliah apa yang dia ikuti dan kegiatannya di luar kampus. Tak hanya itu, dalam laporan ini juga berisi apa yang disukai oleh Cakra, hal yang tak disukai si ikal, juga mantan-mantannya siapa saja. Katakan Wijaya stalker handal, maka yep. Dia begitu. Baru kali ini sih dia menggunakan kekuatan keluarganya untuk melakukan yang seperti ini.

Dan laporan ini dibungkus rapi dengan tajuk: Cakrawala Pangestu’s curriculum vitae (CV) .

“Hm … salah gua dimana sih?” Wijaya menggaruk dagu, tangannya yang bebas menggulir berkas di komputer. Namun serius, semakin diamati semakin dia tak paham.

Dimana salahnya? Apa yang dia lakukan sampai manusia asli Kediri itu tidak mau bertekuk lutut padanya? Hah! Boro-boro bertekuk lutut, lihat wajahnya aja langsung melengos kesal. Heeeei, padahal dia sudah membuat CV sakti sampai begini dan googling kiat-kiat meluluhkan pria … tapi kenapa ...

“Hm …” memikirkan tentang Cakra, membuat Haris Wijaya mengerang terus-terusan. Dia juga jadi goyang-goyang di kursinya seperti orang tak nyaman. Dia gelisah, kalau boleh jujur. Sebelumnya tak pernah begini. Dari dulu, kalau dia menginginkan sesuatu, dia akan mendapatkan itu. Termasuk jika dia ingin punya gandengan, atau dia lagi birahi ingin cicip lubang seseorang entah siapa yang masih perawan … dia tinggal keluarin kartu nama dan hap! mereka datang dengan sendirinya. Tidak akan ada menolakan, tanpa effort yang banyak … orang-orang akan melakukan apa yang dia inginkan dengan suka cita.

Nah si Cakra? Iya sih mereka pacar, tapi duhile … genggaman tangan aja kagak pernah, Bambang! Apalagi seggs! AISH! “Hnggg! Gua harus gimana coba?” erang Wijaya dengan lengosan panjang terbuang sebelum lagi, jemarinya gulir-gulir lembar dokumen di depannya. “Apapun yang gua lakuin salah mulu di mata Cakra … kudu gimana gua? ARRRGGGGHHHH!” kesal, Wijaya berseru sambil menendang mejanya dari bawah.

Ribut? Ribut dong. Saking ributnya sampai membuat seseorang yang sedang asyik baca manga BL esmosi. Dia menggebrak mejanya dan melotot ke arah Wijaya, seruan kencang, “Jay, lu berisik! Diem elah! Ini bukan ruangan pribadi lu, semvak!”

Sayangnya, Wijaya terlalu menuli untuk mendengar protesan si pemilik wajah kecil dengan rambut lurus coklat dan manik menyala itu. Bahkan dia seperti tak menangkap suara gebrakan yang dibuat laki-laki setinggi 169 cm itu. Wijaya sudah berada di langit antah berantah. Cih.

Alhasil, untuk membuat ketuanya itu sadar kalau dia mengganggu, sahabat dari SMAnya ini menoleh ke kanan kemari, mengambil barang terdekat yang paling berat, lalu ciiiiaaaaaat!!! Dia lempar benda itu kuaaat.

Daaan BUAAAAK!!! Buku itu membentur kepala Wijaya dengan ujungnya sebelum terpental entah kemana.

“JANCIIIIKKK!!!” oh, tentu, Wijaya auto misuh. Dia mengusap-usap kepalanya yang sakit bukan main sambil menatap tajam kawannya itu, si Fairuz. Matanya menyipit, kekesalan merajah. “Sakit cok! Apaan sih lu?! Gimana kalau gua gegar otak?” geram Wijaya dengan nada tinggi pada lelaki yang hanya terkekeh dan balik pada manga panas yang dia baca.

Lirikan dibuat Fairuz sejenak sebelum dia kembali mengistirahatkan kakinya di atas CPU PC dan menyendarkan punggung di sandaran kursi tingginya, “ya gua bawa lu ke rumah sakit lah. Sans, gua nggak bakal tinggalin lu di sini.”

“Hah?!” Wijaya tak percaya. Komuk sekali mukanya mendengar ujaran Fairuz. Yang membuat si coklat begitu hanya menaikkan alis, “Hah apaan?!” tanyanya seperti dia tidak baru saja melempar kamus anatomi kedokteran miliknya ke kepala orang.

“Enteng bet lu bilang bawa gua ke rumah sakit. Lu mau bayarin pengobatan gua?!” Wijaya yang sudah berdiri—di balik mejanya—bersendekap. Dia memasang tampang menantang.

Si Fairuz hanya mengerjap mendengar pertanyaan ini. “Lah ngapain gua bayarin? lu kan udah tajir melintir, njir. Tar gua bantu beli buku yasin kalau lu mati, tapi kan lu kaga mati sih ...,” adalah respon lelaki bermuka kecil ini. Dia memandang Wijaya dengan mata iyuuuuh lalu kembali membaca.

Menggeretakkan giginya, Wijaya mengomel, “Untung temen, kalau bukan udah gua laporin lu ke polisi atas percobaan pembunuhan!” di akhir ucapannya, Jay melihat sesuatu. Kamus yang tadi dilempar Fairuz. Senyum iblis merekah di mukanya, tawa rendah fufufufu menggaung. Sebelum tiba-tiba dia mengambil kamus di lantai itu dan melemparkannya tepat ke muka kawannya.

Wijaya tertawa ngakak melihat Fairuz bangkit dan misuh-misuh. Dia sampai memukul-mukul ujung mejanya. “Rasain lu! Rasaaaiiiiiiiin!” katanya sambil terus terbahak.

Mukin saking sibuknya tertawa, ia sampai tak melihat kawannya mendekat dan menerjangnya. “Weeeiiii!” seru Wijaya yang terkejut dengan serangan jambakan maut Fairuz. Iya, serius. Iruz menjambaknya seperti kalau wanita lagi gelut gitu. Wijaya membalas serangan ini dengan gelitikan super. Efeknya, Fairuz tertawa kencang. Tidak, mereka berdua jadi tertawa sambil gulung-gulung di lantai.

Sampai suatu titik, Wijaya berada di atas Fairuz dan tidak sengaja anu mereka bergesekan.

KRIK. Dua insan ini auto mematung.

KRIK KRIK. Mereka saling berpandangan.

Dan semua diakhiri dengan pemuda di bawah Jay memeluk dirinya sendiri lalu mendesah, “j-jangan perkosa akuuu~” yang otomatis membuat dua orang ini merinding sendiri. Wijaya auto menggulingkan badannya dan pura-pura muntah.

HOEEEK!

Fairuz cemberut kesal. Dia menendang Wijaya kuat-kuat sebelum bangkit dan kembali duduk. Baru saat dia mau duduk, Fairuz sadar mereka di ruangan ini tidak berdua saja. Tampak seniornya yang sedang makan jajan menonton asyik perkelahian mereka. Ada yang sengaja krauk-krauk popcorn sambil memakai kacamata 3D. Ada yang menuangkan teh untuk dibagi-bagikan. Intinya mereka berlagak seperti sedang melihat pentas drama.

“Oh? Jangan berhenti, silakan diteruskan ...” ketua EM Universitas B yang sedang asyik duduk melipat kaki di sofa tunggal, menggerakkan tangannya, meminta Fairuz untuk melanjutkan. Seketika Fairuz memerah.

Dia buru-buru mengambil buku dan membenamkan mukanya di balik buku itu.

Sedang Wijaya … bukannya menyesali perbuatannya, dia justru duduk jigrang di atas lantai. Jemarinya menggaruk dagu, jelas terlihat dari matanya, dia sedang memikirkan sesuatu. Tadi saat dia bergelut dengan Fairuz, ada ide membesit di otaknya.

Oh! OH!!!

Seringai terbentuk di bibir si Wijaya. Dia terkekeh rendah dengan rentetetan rencana tertulis dalam benak.

Sip. Habis ini dia akan kabedon Cakra atau melakukan lantai-don seperti apa yang dia lakukan pada Fairuz tadi. Lalu dia akan senggol anu Cakra dengan miliknya. Maka akan berakhir dengan mereka … slebew slebew slup slup.

Mantaab.

“Gua kok merasa semakin kenal Wijaya, semakin kelihatan dia iblis berbulu manusia ya?”

Fairuz hanya tersedak dalam diam mendengar komentar seniornya. Hatinya menjerit ‘kakak darimana aja kak kok baru tahuuuu?!’

***

"Cak, sekarang aku mau pergi ketemu pihak rektorat buat nanya dana, ya?" Seorang lelaki rekan kerja Cakra yang merangkap menjadi Bendahara II, bertanya pada rekannya yang masih sibuk dengan excel di depannya. Nada yang dia gunakan datar, tak ada cengkok dan bahkan diucapkan dengan intonasi tak tertarik. Dia sudah selesai membereskan dokumen dan kini tengah memasukkan berkas ke dalam ransel. Dia si Imam, ingat? Yang pernah membela Cakra mati-matian dulu.

Pengambu jabatan Bendahara I meski dia baru semeter 3 di sana menghentikan ketikannya. Dia menoleh ke arah pemuda tinggi itu dan tersenyum. "Aku menunggu kabar baik, Mam," katanya pada sosok tak berekspresi di sana. Well, wajah Imam memang cenderung datar.

Yang disebut namanya mengangguk. Pamit undur diri, kemudian pergi. Sedangkan Cakra, masih terus mengerjakan tumpukan berkas yang harus dicermati dan di hitung di depan matanya. Tak lama kemudian, seekor kupu-kupu masuk ke kantornya. Melalui celah-celah jendela yang terbuka lebar.

Bibir itu menyunggingkan senyum manis saat si hewan insekta menjejakkan kakinya di pucuk laptop Cakra. Kemudian tertawa kecil, "Pasti habis ini ada tamu, hm?"

Memang, Cakra itu besar di desa. Tentu saja masih mempercayai 'mitos kupu-kupu masuk rumah itu membawa tamu'. Dan karena mempercayai hal simpel ini, Cakra beranjak. Mengambil beberapa cemilan yang ada di lemari kantor, meletakkannya di meja tengah ruangan. Ia tak tahu siapa yang akan datang, tapi apa salahnya bersiap bukan? Lagi pula sekarang sedang tidak ada siapa-siapa.

Setelah itu, sang helaian hitam agak bergelombang itu kembali duduk tempatnya semula. Mengerjakan tugas. Waktu berlalu, belum lama. Lima belas menit saja belum ada. Bahkan, kupu-kupu bersayap hitam-oranye indah itu masih di laptopnya. Berjalan, lalu terbang rendah ke sebuah bunga di dekat mejanya.

Hingga suara berderit pintu dibuka terdengar, membuat angin masuk dari sana. Dan membuat Cakra mendongak. Disanalah ia, sang 'tamu' yang telah ditunggu-tunggunya. Tersenyum miring ke arah Cakra, dengan wajahnya yang menyebalkan.

"Wijaya ..." tanpa sadar Cakra berdesis.

[]