webnovel

1.2

CHAP 02

"Kok nggak seneng gitu sih lihat pacarnya datang?" respon Wijaya santai, masuk saja terus tanpa permisi, meski melihat muka pacarnya langsung mengusut macam baju tidak disetrika. Sakit nggak sih hati dibeginikan? Sakit dong. Tapi karena dari awal ketemu, 18 Mei lalu itu sampai saat ini, 10 September, Cakra selalu begini … Jay mulai terbiasa. Jadi dia lempeng saja, desisan penuh peringatan Cakra tak berimbas apa-apa, manusia berbalut kemeja putih berlogo dua huruf C saling caplok itu pun tetap melenggang santuy ke arah mejanya.

Di depan Cakra dia bersedekap sejenak, memandangi pemuda ramping berema ikal di depannya lamat-lamat sebelum tersenyum miring. “Jangan pasang tampang kayak gitu, cepet tua lho,” komentarnya di tengah seringai. Ketika Cakra makin menekuk kening, tunjukkan gamblang ekspresi tak suka, Jay tergelak. Berikutnya tanpa ada yang menduga, dia meletakkan sebuah tumblr ke atas meja Cakra dan mendorongnya ke arah si lelaki bermanik coklat kemerahan sewarna rambutnya itu. Perlahan ia membuka tutup tumblr.

"Kamu suka jahe kan? Tadi aku muter-muter cari ini," kata si Wijaya seraya merekahkan senyum manis.

Cakra terkejut melihat hal ini. Dia tidak menyangka Wijaya yang katanya songong bin bangsat itu sudi berkeliling cari wedang jahe untuknya di siang bolong begini. Namun di saat bersamaan dia juga bingung. dari mana Wijaya tahu dirinya suka jahe? Juta pertanyaan berputar di benak Cakra seiring tangannya terjulur ke arah tumblr dan menarik minuman yang masih hangat itu ke arahnya.

Si hitam bisa merasakan asap mengepul dari dalam tumblr, harum minuman favorit tercium. Seulas senyum merekah di bibir tipis Cakra. “Terima kasih, Wijaya …” gumam lelaki berambut ikal itu sembari mendekatkan tumblr yang ia tangkup dengan dua tangan ke bibir. Sedikit, ia mencicip minuman hangat itu. Detik berikutnya wajah Cakra berseri.

Ba-dump!

Wijaya terhenyak melihat ekspresi lelaki di sana, melihat betapa tulus terima kasih yang diucapkan oleh Cakra, dadanya menghangat. Tanpa sadar ia pun merekahkan senyum. “Sama-sama Cakra ...”

Jujur, bagi Wijaya, semakin dia mengenal Cakra … dia merasa manusia satu ini lucu sekali. Mukanya selalu jujur, responnya tanpa dusta.

… tidak seperti ‘mereka’.

“Wijaya, kamu—”

“Abisin aja Cak.”

Dua kalimat terlontar dalam satu waktu. Wijaya sedikit terkejut melihat Cakra membuka pembicaraan, biasanya Cakra hanya merespon ucapannya saja. Namun ia harus menelan rasa kecewa ketika mendapati lelaki berkemeja polos itu menutup mulut dan kembali minum. Kebiasaan, Cakra pasti mendahulukan orang lain.

Merasa Cakra tak akan melanjutkan ucapannya, Wijaya duduk di atas meja Cakra. Satu pahanya naik seperti biasa dan seenaknya sendiri, dia menjulurkan tangan, mencomot anggur di sisi kiri Cakra. Tangannya kau tahu … melintas di atas Cakra yang sedang menikmati jahe, tanpa permisi. Lagaknya kayak dia sedang di rumah sendiri saja.

Perilaku kecil tak beradab ini seketika membuat penilaian Wijaya di mata Cakra yang awalnya merangkak naik, langsung terjun bebas, anjlok sampai minus. Mengesalkan! Tidak tahu sopan santun!

Menggeretakkan gigi tak suka, Cakra kembali berdesis, "kamu benar-benar tak punya unggah-ungguh, Wijaya," nada rendah penuh kekesalan meluncur. Wijaya terhenyak mendengar hal ini. Dia sudah menjulurkan tangan untuk mencomot buah lainnya di piring Cakra ketika si hitam berkata begitu. Serta merta gerakannya terhenti.

Sesaat dia merunduk, memandang mata Cakra yang levelnya berada di bawah. Sedetik kemudian tangannya yang terjulur itu melanjutkan gerakan, mengambil potongan mangga di sana dengan garpu Cakra yang masih tergeletak di atas piring. Santai dia kembali memakan buah dari piring itu, dan lagi, tanpa permisi.

Cakra menggeram. “Wijaya,” matanya berkilat, suaranya rendah penuh peringatan.

“Kita kan pacar nih. Jadi … buahmu buahku juga,” gumam Wijaya sambil meletakkan garpu ke tempat semula. Cakra menganga mendengar penuturan enteng itu. Hah? Gimana? Maksudnya?

“Prinsip macam apa itu?!” gamblang Cakra menunjukkan ketidak sependapatan. Dia mengerutkan kening, ekspresinya kental tunjukkan betapa apa yang diucapkan Wijaya itu … absurd. Nggak ngotak. Khayal!

Wijaya menjawab protes Cakra hanya dengan kekehan, tangannya berkibas bak berkata, ‘ih gitu aja kamu kok ribut’. Sedang perhatiannya sudah bergeser ke tempat lain. Lalu untuk kesekian kalinya, dia melintangkan tangan tanpa permisi di atas Cakra. Kali ini dia menarik tissue.

Kekesalan Cakra sudah memuncak. Emosi sudah sampai di ubun-ubun. Sebelum Wijaya bisa meraih tissue, kasar Cakra menepis tangan itu. PLAAK!

“Kamu benar-benar tidak tahu diri!” hardik Cakra keras. Dan di sini, detik ini, Cakra mendapatkan reaksi yang berbeda. Jika dari tadi Wijaya tampak tak mempedulikan ucapannya, netra jelaga pemuda hidung mancung ini memandang Cakra tajam. Awalnya biasa saja, tapi beberapa detik kemudian Cakra merasakan tekanan yang luar biasa.

Entah bagaimana Wijaya tiba-tiba membesar dan Cakra menjadi kecil. Namun tidak. Cakra bertekad untuk tidak kalah! Dia mengeratkan genggaman tangannya dan lurus membalas tatapan Wijaya. Sedetik, dua detik, lima, tujuh, delapan detik … Cakra bertahan.

Di detik ke sepuluh, Wijaya tertawa kecil.

Menarik.

"Hee ...," adalah apa yang Wijaya lempar sambil mencondongkan tubuhnya di atas meja. Satu tangannya menjadi tumpuan, satu yang bebas cepat meraih dagu Cakra, mengapitnya kuat, memaksa lelaki kalem di sana bertemu pandang dengannya.

"Kamu memang berbeda dengan yang lain, Cakrawala Pangestu," ujar pemuda terkaya Universitas B itu pelan, ibu jarinya menekan dagu Cakra sedangkan telunjuknya mengangkat kepala itu untuk lebih mendongak. "Kamu selalu melakukan sesuatu yang bikin aku tercengang. Wow! Luar biasa! Aku senang!" kata Jay lagi, kini dengan nada rendah, mata berkilat tajam, yang sangat kontras dengan apa yang dia katakan.

Seketika, kehangatan musim kemarau ini terjun drastis menjadi minus.

Dingin.

Dua orang petinggi di dua universitas agung kota M, tengah saling berusaha melumpuhkan satu sama lain.

Keduanya menekan dalam diam, berusaha mendesak lawan tuk berbicara duluan. Namun di sini Cakra akhirnya membuka mulut. Penuh tantangan, pemuda dengan rema bergelombang itu berdecak, “apa maumu Wijaya? Membuat onar?”

Tuduhan yang membuat Jay terkekeh. Ingin hati dia tekan dagu di tangannya, tapi tidak, alih-alih menekan dia seret dua tangannya ke pipi Cakra dan kuat dia menarik pipi di sana, gemas. "Iya, membuat onar hatimu~" katanya sebelum melepaskan tarikannya seperti ketapel dan turun dari tempatnya duduk, masih sambil tertawa. “Udah ah, jangan tegang begitu dooong~”

Cakra menghela napas. Dia memandang Wijaya lekat, mengikuti gerak-geriknya yang menuju meja tamu, tempat dimana cemilan ia suguhkan. Menghela napas, sang manik coklat itu memutuskan untuk menutup laptopnya. Beranjak dari tempat duduk, mengambil gelas air mineral di atas lemari.

’Yah, setidaknya Wijaya masih tamu,’ sekelebat pemikiran seperti itu terlintas di benak Cakra. Membawa tiga gelas air mineral. Kemudian, menaruh gelas-gelas plastik itu diatas meja. Disamping toples-toples camilan.

"Kamu hanya akan membuang-buang waktumu, Wijaya," Cakra kembali membuka bibirnya. Helaan napas ikut keluar, lelah. “Lebih baik kau angkat kaki saja dari sini.”

Wijaya, yang asyik makan kacang polong di dalam toples hanya menarik sebelah alisnya. "Haha. Lucu. Lihat apa yang sedang kamu lakukan sebelum bilang begitu dong ah," katanya sambil menjentikkan tangan, menggoda Cakra. Mental tentu saja, yang digoda hanya melengos dan memutar matanya. “Jujur aja deh. Kamu nggak pengen aku pergi, kan? Makanya dibuatin minum,” lanjut putra kedua keluarga Antaresa itu sambil mengunyah. Dia seperti bodo amat dengan tata krama, tak peduli dengan raut muka Cakra yang mengerut ketika mendapati seseorang berbicara dengan mulut penuh.

“Aku cuma sedang menghormati tamu,” masih dengan nada ketusnya, Cakra membalas. Dia buang muka dan tangannya bersendekap di dada. Ujung kakinya mengetuk-ketuk lantai.

Aish. Wijaya tahu gelagat ini. Sepertinya si Cakra sudah membulatkan tekad untuk mengusirnya pergi. Namun tentu, Haris Wijaya Antaresa tak akan bertekuk lutut semudah itu.

Dia menganggap Cakra ini macam Fairuz. Tsun tsun dere dere. Manusia yang malu malu meong untuk berkata mau.

"Tamu, hm? Serius hanya sebagai tamu?" Wijaya merekahkan senyum menyebalkan, mimiknya menggoda Cakra. Uh-oh, tangannya bahkan bentukkan tembak-tembakan kecil sok uwu.

“Ya kan kamu tamu. Tamu yang datang tanpa undangan,” Cakra berdecak, mukanya jutek tingkat dewa. “Cepat selesaikan makanmu dan pergi saja,” komentarnya ketus.

Di sini, raut Wijaya mengeras. Dia sudah berusaha apa ya … baik? Dia berusaha merendahkan dirinya untuk membuat Cakra luluh? Tapi noh lihat!

Wijaya mengacak rambutnya. Dia frustasi, bingung sendiri harus bagaimana. Namun akhirnya, karena kesal diperlakukan begini terus, dia berdiri. Dada ia busungkan, tangan dia masukkan dalam saku. Manik gelap menatap kelereng Cakra yang masih menunjukkan jelas ketidak sukaan.

"Cakrawala Pagestu. Perlukah aku ingatkan kamu siapa aku?” tanyanya dengan kepala terangkat. Dia memandang Cakra rendah. “Aku pacarmu,” lanjutnya sambil memulai langkah. “Kamu nggak tahu apa itu ngapel? Aku lagi ngapelin kamu sekarang.” dua tiga langkah ia buat. Lalu tiba-tiba aura predator mengoar. Mata Wijaya yang main-main tadi hilang. Kini dia memandangnya lurus dalam seringai mengerikan.

Seketika semua itu membuat bulu roma Cakra berdiri. Membuatnya refleks melangkah mundur, merasakan bahaya.

“Aku cuma mau ngapelin pacarku, astaga,” Wijaya melanjutkan langkah. “Dan kamu terus begini … menganggapku kayak tai,” lengosan terdengar, decakan meluncur dari bibir itu.

Cakra menelan ludah. Dia bungkam dan terus melangkah mundur.

Terus … terus ….

Sampai di satu titik, punggungnya bersentuhan dengan dinginnya tembok.

“Gua salah apa sama lu, sampai lu sebenci ini ke gua?” tanya Wijaya sambil menghantamkan tangannya ke tembok, memerangkap Cakra diantara dadanya dan permukan dingin dinding.

Kabe-don!

[]