webnovel

Prolog: Gladi Resik

Semenjak kejadian yang tak pernah diketahui khalayak umum detailnya seperti apa, seluruh umat di organisasi Eksekutif Mahasiswa Universitas Keguruan M menyadari satu hal: Haris Wijaya Antaresa jadi sering sekali mampir ke kantor mereka, dengan atau tanpa alasan yang jelas. Yang pasti, setiap hari dia bertandang, setiap hari juga dia membawakan sesuatu untuk anggota EM Universitas M itu dan mencari seseorang.

Siapa orang itu? Cakrawala Pangestu.

Seorang pemuda anggota Eksekutif Mahasiswa yang tak begitu menonjol kecuali di bidang ketekunan dan tenaganya yang bak kuda.

Orang yang demikian menarik minat Haris Wijaya? Putra Pengusaha tersohor dan bisa dikatakan paling kaya seantero Universitas B Raya? Tentu ketertarikan ini membuat gosip beredar. Ada juga yang sampai taruhan dengan kabar ini. Bukan hal yang baik tentu saja, apalagi mengingat pemuda blasteran Belanda-Indonesia ini … pemakan segala.

Hari berganti hari.

Bulan berlalu.

Sampai acara kerja sama kedua universitas selesai terselenggara pun ... Wijaya tetap sering menunjukkan batang hidungnya.

Hingga pada masanya … semua keadaan jungkir balik.

Siang itu cuaca super terik, tapi mahasiswa sudah pada ribut di lorong Gedung EM. Beberapa perempuan tampak merjerit dan kasak-kusuk terdengar lebih keras dari biasanya. Di tengah keributan itu, seorang pemuda berahang kokoh dengan hidung mancung tengah berjalan sambil melonggarkan dasi yang ia kenakan. Di sampingnya ada pemuda lain yang berbalutkan suit serupa, tapi perhatiannya fokus kepada buku kecil—light novel—daripada ke sekelilingnya.

"Eh lihat itu ..."

"Anjiiiir keren banget Wijaya hari iniii ..."

"Ada acara apa kok sampai pakai jas begitu? Ada rapat petinggi ya?"

Rekan di sisi Wijaya yang mendengar ini hanya tertawa. "Rapat petinggi bro. Ha ha. Padahal cuma sesi photo-shot buat bikin betina horny," bisiknya sarkas sambil tanpa mengalihkan perhatiannya dari buku. Wijaya tertawa hambar mendengar ledekan sahabatnya. Dia mau mengingatkan kalau dia cuma foto buat konten instasam doang, tapi nggak jadi. Terlalu malas membenarkan.

"Lu tunggu di sini," perintah pemilik rema coklat kemerahan itu pada pemuda berambut coklat gelap yang menemaninya.

"Kay. Jangan lupa habis ini traktir gua KFC," balas orang itu sambil menyandarkan punggungnya di pintu. Fokusnya terus melekat pada novel yang ia baca. Wijaya tertawa tipis melihat tingkah sahabatnya. Dia sengaja membawa lelaki ini untuk menghilangkan nervous yang dia miliki, karena sehabis ini dia akan ...

Menarik napas dalam-dalam, Wijaya memantapkan diri. Dengan senyuman miring terplester di wajah, Wijaya melangkah masuk ke pintu terbuka ruang khusus jajaran EM. Tanpa memperhatikan orang-orang yang ada di sana, tanpa menyapa atau sekedar senyum ramah, dia melenggang ke sebuah meja di pojok barat daya, tepatnya pada si tan yang sedang fokus menulis.

Wijaya tiba-tiba duduk di atas meja Cakra. Satu pahanya naik sedang yang satu tergantung. Tangannya bersedekap, tampak map bening di tangannya. Dia gulung map itu dan menjulurkannya ke dagu Cakra. “Halo Cak,” panggilnya dengan wajah tanpa dosa. Posisi duduknya sudah seperti ruangan ini miliknya pribadi. Dia dengan lancang telah membawa kepala Cakra mendongak ke arahnya dengan map bening yang dia bawa.

“... apa kamu tidak diajarkan tata krama, Wijaya?” adalah apa yang diucapkan Cakra dengan wajah tak suka setelah mendengus berat hati. Jengah terlukis jelas di mukanya. Dia menepis map Wijaya, membuat lelaki berambut piyak samping tersenyum lebar. Dia kemudian meletakkan map yang dari tadi dia bawa ke hadapan Cakra.

“Olimpiade ini kami yang menang, Cak,” kata Wijaya sembari menunjukkan score di masing-masing pertandingan yang diselenggarakan dua universitas besar ini. Cakra mengerutkan kening membacanya sebelum mengangkat satu alis, mendongak ke arah Wijaya dengan wajah, ‘ya terus?’

Pandangan yang membuat Wijaya menarik sebuah senyum miring. Dia kemudian menarik file di dalam keluar, melepas klip dan meletakkan benda itu kembali ke depan Cakra. Hati-hati, dia menggeser lembar pertama ke samping, menunjukkan sebuah lembar lain dengan judul: Surat Pernyataan Kesanggupan.

Lembar yang seketika membuat sang Cakrawala tercekat.

Di surat itu bertuliskan kesanggupan Cakrawala Pangestu untuk menjadi kekasih dari Haris Wijaya Antaresa jika Universitas M mengalami kekalahan dalam pertandingan olimpiade yang diselenggarakan pada 25 Juni 2018 hingga 20 Juli 2018. Lalu di bawah surat ini terdapat nama dilengkapi tanda tangannya melengkung di atas materai 6000.

“Kamu ...” tak kuasa berkata, lelaki bersurai hitam itu memandang Wijaya tak percaya.

Dia tak pernah ingat menandatangani surat semacam ini! Tapi kenapa bisa ...

Wijaya menyeringai. "Kau terlalu sibuk sebagai ketua pelaksana event lain sampai melupakan janjimu, sayang~" Dan seperti tersambar petir di siang bolong, Cakra menegang. Matanya membelalak.

Dia memang menjadi ketupel event lombang menulis ilmiah yang diselenggarakan kampusnya. Dan jika event ini dihubungkan dengan hint yang diucapkan Wijaya ...

Jantung Cakra berdebar kencang. Emosinya berkecamuk. Mukanya menggelap. Namun itu tak membuat Wijaya ketakutan, dia justru merentangkan tangan dan mengendikkan bahu, “Well, apapun ... Olimpiade kali ini universitasmu yang kalah,” Wijaya berkata, pelan dengan penuh penekanan. “Kamu tahu apa artinya itu, Cakrawala Pangestu?” lanjutnya seraya memandang lurus mata coklat pria di hadapannya. Dia kemudian menyondongkan tubuhnya, memperdalam pandangan, mengintimidasi telak lelaki di hadapannya.

“Tenang, aku akan tulus mencintaimu, sayang,” lanjutnya seraya menangkup wajah Cakra dan mendaratkan ciuman di bibir tipis yang membeku. “Kita resmi berpacaran kini.”

Sedetik ...

Dua detik ...

Tiga detik dan BAM!

Gempar? Gempar dong.

Apalagi seluruh orang yang ada di ruangan itu, terutama makhluk hitam manis yang rambutnya disibak ke belakang. Dia sudah ingin meninju Wijaya atas perbuatannya. Namun orang-orang di sekelilingnya segera berhamburan dan menahannya untuk berbuat lebih jauh. Wijaya hanya terkekeh geli melihat kekacauan di sini, ia sesekali mengetuk materai dan menunjukkannya ke seluruh ruangan. Sikapnya mampu membungkam semua makhluk hidup di sana.

Di Indonesia semua tahu jika hukum mudah dipermainkan. Wijaya dengan kekayaan yang menjadi backingnya … menunjukkan materai bertanda tangan yang mana sah di mata hukum secara bersih. Mau mempermasalahkan hal ini ke pengadilan? Ha. Tentu mereka tahu siapa yang akan kalah.

“CARA MAINMU KOTOR, HARIS WIJAYA!” orang itu berseru kencang. Wijaya hanya mengendikkan bahu dan memutar matanya. Ekspresinya tampak tak masalah dikatai begini. Bahkan dia menyeringai kecil dan menantang, “jangan menuduh mas. Lu punya bukti gua main kotor?” Nada yang dia lempar itu … seketika membuat bulu roma seisi ruangan meremang.

Sekilas terlihat Wijaya sedang bermain. Namun di bawah itu semua … mereka tahu ada penekanan dan ancaman.

"KAU MEMPERMAIKAN CAKRA!!"

Wijaya menaikkan dua alisnya mendengar teriakan ini. Dia melipat tangan. "Darimana gua mempermainkan dia? Lu nggak sadar, selama ini gua panggil dia 'kamu' yang mana artinya ... dia berharga buat gua. Bagaimana bisa gua mempermainkan orang yang berharga buat gua?" tanyanya congkak.

Oh. Tentu caranya bersikap ini membuat seluruh umat geram.

“TAK SEMUA BISA MENJADI MILIKMU, KEPARAT!” orang itu melepaskan diri dari senior-seniornya yang mengekang. Dia berlari, mengincar wajah tegas mahasiswa universitas depan. Bogem melayang.

Namun belum juga serangan itu mengenai hidung mancung sang Wijaya, tangan kuat Cakra menghentikan lajunya. Cepat, Cakra berpindah. Dia tadi masih dilanda keterkejutan di belakang meja, tapi dia kini berada di antara temannya dan Wijaya.

“Hentikan keributan ini, Imam,” kata Cakra tegas, memandang ke arah rekan satu organisasinya. Semua orang di sana terperangah melihat hal ini. Udara yang membalut tiba-tiba drop. Jelas sekali kentara, Cakra tak menyukai cara temannya itu yang berusaha menyelesaikan sesuatu dengan kekerasan.

“Aku tak menyangka aku luput melihat detail dari berkas yang aku tanda tangani sebagai ketua pelaksana …,” Cakra melepaskan cengkramannya. Dia menoleh ke arah Haris Wijaya yang masih tetap rileks duduk di atas meja. Tangannya mengepal kuat. Lalu mantap ia mendeklarasikan, “baik. Kita resmi berpacaran.”

Wijaya menyeringai penuh kemenangan mendengar hal ini.

Dan sejak saat itulah … Dua anggota Eksekutif Mahasiswa kampus yang sangat berpengaruh di kota M, menjalin hubungan.

Terpaksa? Tentu. Wijaya akan memaksa Cakra jatuh cinta padanya.

Entah berapa lama yang dibutuhkan. Wijaya akan memaksanya. Menghujani Cakra dengan afeksi dan kasih sayang, tanpa menyerah. Lagipula dia punya segalanya. Ia punya tampang, punya otak, harta. Segalanya. Wijaya optimis, dan percaya akan berhasil. Seperti menanam apel di gurun sahara. Tentu saja mungkin. Sama seperti cinta.

Karena cinta dapat dipaksakan.

[]