Setelah dari kantor polisi, Kevin membawaku berjalan-jalan ke mall yang di dalamnya terdapat taman di roof top. Kami mengelilingi taman itu. Sebenarnya suasana hatiku tidak dalam keadaan baik mengingat kejadian yang menimpa Joe. Aku mengkhawatirkannya. Namun Kevin tetap memaksa untuk membawaku kemari. Aku sangat kebingungan dengan pria yang baru aku temui ini. Sebenarnya apa yang terjadi?
"Malam ini aku akan tinggal bersama temanku. Terima kasih sudah menolongku semalam dan maaf telah merepotkanmu," kataku memecahkan keheningan di antara kami. Aku meliriknya, ekspresinya sedikit tak suka mendengar kata-kataku.
"Kau bisa tinggal di apartemenku selama mungkin. Itu bukan hal yang merepotkan, justru aku senang," jelasnya.
Kami masih berjalan berdampingan melewati pekarangan bunga yang sangat indah. Kicauan burung di sekitar membuat taman ini menjadi lengkap.
"Tidak, kita tidak mempunyai hubungan apapun. Kurang tepat rasanya jika seorang pria dan wanita asing tinggal bersama di atap yang sama."
"Kau tidak punya uang untuk bertahan hidup di luar, temanmu itu pasti juga tidak akan membiayai hidupmu," katanya setelah diam sesaat. Saat dia terdiam, aku bisa merasakan sedikit kemarahannya yang tertahan.
Mendengarnya, aku menghela kasar. "Kau pikir aku bodoh? Tentu saja aku akan bekerja. Aku bukan orang yang tak tahu diri jika tinggal di tempat seseorang."
Tiba-tiba Kevin menggenggam tanganku dengan lembut lalu ia berkata dengan sedikit nada yang posesif, "Tinggal bersamaku. Lagi pula kita akan menikah." Lama wajahnya dingin, kini berubah lembut dan bibirnya tersenyum tipis kepadaku.
Sejenak aku membeku, ada perasaan aneh yang menyelimutiku seperti de javu tapi perasaan itu tersingkirkan dengan cepat mengingat pria ini adalah pria asing yang baru ia temui dan bisa saja dia orang jahat yang menjebak pamanku. Aku pun menjauhkan tangannya dariku, aku tidak suka disentuh oleh orang asing.
"Kenapa kau ingin sekali menikah denganku? Bukankah ini aneh? Kita baru bertemu, tidak saling mengenal sama sekali."
Aku akui dia sangat tampan, ketampanannya adalah idaman semua wanita. Selain tampan, dia terlihat sangat kaya dan berkelas. Kenapa ingin menikahi wanita yang biasa saja sepertimu? Ya, kalian bisa mengatakan aku wanita bodoh yang tak mau menikah dengannya. Tapi tampan dan kaya saja tidak akan membuat hidupku bahagia. Pernikahan harus didasari dengan kepercayaan dan perasaan tulus karena pernikahan itu seumur hidup, bukan sesuatu hal yang bisa dipermainkan.
Lagi, wajahnya terlihat tak suka, menahan amarah. "Karena memang seharusnya begitu," nadanya begitu acuh.
Aku tidak mengerti, sama sekali tidak mengerti apa maksudnya itu. Tidak bisakah dia jelaskan saja? jelaskan jawaban dengan jelas, bukan malah semakin membuat orang bingung!
"Pokoknya aku tidak ingin tinggal bersamamu." Aku mempertegas nada bicaraku, tubuhku kutegapkan.
Tangan Kevin berada di saku celananya. Sesaat ia menatapku, lalu ia memalingkan wajahnya yang acuh dan ia berjalan dengan langkah lebar, membuatku tertinggal beberapa langkah. Aku tak menyusul langkahnya, aku memilih diam di posisiku. Berharap dia mengerti keinginanku.
"Terserah kau. Aku tidak menjamin bisa menyelamatkanmu lagi jika ada yang menculikmu, aku tak akan peduli. Sekarang ini musim penculikan dan perdagangan wanita." Kevin bicara tanpa menoleh kebelakang sambil melangkah lebih jauh. Suaranya masih bisa terdengar jelas di telingaku.
Ucapannya memang benar. Semalam ada yang berusaha menculikku, jika Kevin tidak datang waktu itu tepat waktu, mungkin aku sudah diperjual belikan atau bisa lebih parah dari apa yang kupikirkan. Tapi tidak kah itu aneh? Kevin datang dan menyelamatkanku? Ah lupakan. Bisa saja sebuah kebetulan. Jika aku pergi dari rumahnya bisa saja penculik itu kembali mengincarku. Tidak ada yang akan peduli, tidak ada keluarganya disini, aku hidup di negara orang asing. Ngomong-ngomong ucapanku tentang tinggal di rumah teman adalah bohong, aku berencana untuk mengontrak rumah kecil tapi aku tidak punya uang sepeser pun. Jadi… apa yang yang dikatakan Kevin ada benarnya. Sebaiknya aku tinggal di tempatnya untuk sementara waktu. Sepertinya dia tidak memiliki niat jahat terhadapku. Niatnya hanya satu, niat gilanya yang ingin menikahiku.
Aku pun segera menyusul langkah Kevin yang hampir menghilang dari pandanganku. Kusejajarkan langkahku dengannya dan berbicara dengan nada pasrah dan sedikit terpaksa, "Kau benar. Banyak penculikan. Orang-orang itu bisa saja masih mengincarku. Jadi aku akan tinggal di tempatmu sampai aman."
Bibir Kevin menyunggingkan sebuah senyuman ketika aku selesai bicara dan pancaran matanya seperti menunjukkan kemenangan, ia terlihat begitu puas.
"Bagus, sekarang mari kita beli beberapa pakaian untukmu. Kamu tak bisa terus menerus memakai kemejaku, itu sangat mengganggu."
Aku mengangguk.
Masuk ke dalam toko pakaian bermerek, hatiku menganga tak percaya. Merk semua pakaian di toko ini merk untuk orang kalangan atas, harganya berjuta-juta bahkan puluhan juta jika di rupiahkan. Aku tidak ingin memakai pakaian yang mahalnya tidak masuk akal. Biasanya aku membeli pakaian yang harganya ratusan ribu, bahkan jika di Indonesia bisa hanya dengan uang puluhan ribu saja.
"Sial! Kenapa kau mengambil semua baju-baju itu? Kau membuatku berhutang terlalu banyak!" Aku melotot tak percaya ketika Kevin menyuruh para pelayan toko untuk mengambil semua pakaian yang tergantung di rak dan membungkusnya.
"Apa?" Kevin mengerutkan keningnya kemudian suara tawa terdengar, menertawakanku. "Kau tidak perlu membayarnya kembali. Yang perlu kau lakukan adalah setuju menikah denganku."
Mataku tak berhenti-hentinya melebar karena terkejut akan setiap sikap atau ucapan yang Kevin lontarkan. Apakah harga dirinya sudah tidak ada? Aku sudah menolaknya berkali-kali, kenapa dia tetap bersikeras?
Para pelayan saling memandang dan berbisik.
"Oh Kevin, kau disini." Tiba-tiba seorang wanita cantik dengan gaun hijau lumut selutut menghampiriku dan Kevin. Wanita itu melirikku kemudian fokus pada Kevin. Memberikannya pelukan singkat dan ciuman di pipi Kevin. "Siapa dia?" tanyanya, perhatiannya kini kembali memandangiku dengan tatapan sinis.
"Luna. Luna kenalkan, ini temanku Angel dan Angel, kenalkan Luna calonku." Lengan Kevin menarikku menempel padanya dan merangkulku.
Aku tersenyum. Ingin menolak pernyataan Kevin tapi tidak tega, itu akan membuatnya malu. Akhirnya aku mengulurkan tanganku pada wanita bernama Angel. Dia sungguh wanita yang sangat cantik seperti artis.
"Wow, katakan padaku bagaimana menaklukan pria dingin ini sayang? Aku sudah mencoba menggodanya tapi dia dingin seperti es. Aku mengira dia gay. Kau beruntung, ditambah lagi orang super sibuk ini mau menemanimu berbelanja!" serunya. Dia membalas jabatan tanganku. Bibirnya tersenyum lebar.
"Eh?" Aku tak tahu harus berkata apa.
Kevin semakin memperkuat rangkulannya. "Kau tahu aku pria super sibuk, jadi jangan ganggu kesempatanku berkencan dengannya. Ok? Sebaiknya kau pergi." Kevin mengulum senyumnya.
Wajah Angel yang tadinya ceria berubah sedikit murung. "Huh, mulutmu itu tidak bisa sedikit berkata manis," keluhnya lalu Angel berkata padaku, "Aku penasaran. Apakah dia menembakmu dengan romantis? atau dia hanya mengucapkan kata-kata biasa yang seperti orang tidak berniat?"
Aku mengangkat kedua bahuku. "Hmm, tidak romantis sama sekali bahkan itu terdengar seperti pemaksaan bukan permintaan," jawabku begitu saja, tanpa berpikir. Sudut mataku melirik Kevin, ia mengerutkan keningnya.
"Hah benar saja! Kau sebaiknya-"
"Pergilah. Kenapa para wanita suka sekali banyak bicara," sela Kevin. Kevin melepas rangkulannya, lalu ia mendorong Angel keluar dari toko dengan cepat.
"Ok. Ok." Angel terlihat pasrah, kemudian dia melambaikan tanganku. "Sampai jumpa Luna!" Ia pun membalikkan badan dan pergi.
"Dia cantik. Kenapa tidak dia saja yang kau nikahi?" Aku masih terkagum dengan kecantikan Angel. Pasti banyak yang iri akan kecantikannya.
Kevin mendekatkan dirinya padaku. Aku mundur beberapa langkah sampai terpojok di sudut. Wajahnya terlalu dekat. Perlahan jari telunjuknya menyentuh daguku, mendongakkan wajahku.
"Kau cemburu, Luna?" Ia sedikit tersenyum.
Aku menggeleng dengan cepat. Dalam hatiku menertawakan pertanyaannya yang bodoh itu. Cemburu? Apakah dia harap aku menyukainya dan cemburu? Tidak akan. Hatiku masih tersimpan nama pria yang aku cintai. Adam.
"Kau akan menyesal suatu saat jika aku menikahi wanita lain."
Untuk apa aku menyesal? Justru aku akan menyesal jika menikahinya.
"Dan satu lagi," ia mendekatkan bibirnya padaku. "kau lebih cantik darinya. Kau harus menyadari hal ini. Kecantikanmu bahkan membuatku ingin menghabisimu di ranjang," lanjutnya dengan nada sensual. Lalu ia menjauhkan wajahnya dariku, menatap wajahku dengan senyum jahat.
Aku menelan ludahku. Bibirnya yang dingin, barusan kurasakan menempel di daun telingaku. Bulu-buluku terasa merinding.
***
Aku hendak masuk ke kamar Kevin untuk mengantarkan pakaiannya yang tidak sengaja terbawa ke kamarku. Pakaian yang ia beli di Mall bersamaku tadi. Namun, langkahku terhenti ketika mendengar Kevin yang sedang mengobrol lewat ponselnya.
"Ya aku yakin mobil van hitam. Kau masih belum menemukan orang-orang itu?" suara Kevin terdengar serius.
"..."
"Hm, pasti bukan penculik biasa. Orang itu pasti antara mengincar Joe atau Luna. Joe masih tidak mengatakan apa-apa padaku."
"..."
"Zak, berikan data panggilan nomor Joe dan Luna padaku. Aku akan mencoba cari tahu lewat data dari situ."
"..."
"Tidak. Biarkan saja. Meskipun aku bisa dan tahu Joe tak bersalah, aku menginginkannya tetap di penjara. Anggap saja itu hukuman karena telah mengkhianatiku. Aku tidak ingin dia lolos dengan mudah."
Wajahku memucat ketika mendengarnya.
"Tidak. Aku tidak yakin untuk memberi tahu Luna. Untuk sementara biarkan seperti ini saja."
"..."
"Ok. Pastikan semuanya aman." Kevin menutup teleponnya.
Aku menenangkan diriku untuk sesaat. Setelah merasa tenang, aku memberanikan diri untuk mengetuk pintu kamar Kevin.
"Ya Luna?"
"Ini baju-bajumu tadi."
"Letakkan saja di kasur."
"Oke."
"Luna, boleh aku bertanya sesuatu?"
Aku mengangguk.
"Apakah ada seseorang yang mendekatimu? Maksudku orang yang datang ke rumah atau semacamnya, yang gerakkannya sedikit aneh."
Kau.
"Aku tidak tahu pasti, tapi malam sehari sebelum Joe ditangkap, aku melihat Joe sedang bertengkar dengan pria yang mungkin seusiamu. Dia cukup aneh menurutku dan Joe memintaku jangan mendekatinya padahal aku belum pernah bertemu dengannya," kataku jujur.
"Kau tidak mengenalnya?"
"Tidak sama sekali. Kurasa itu pertemuan pertamaku. Kau dan pria itu sama-sama aneh dan mencurigakan menurutku."
"Ya sudah. Keluarlah," ujarnya dingin.
Bukankah seharusnya dia bersikap lembut padaku? Maksudku dia memintaku untuk menikah dengannya, seharusnya dia membujuk atau bersikap baik bukan malah bersikap dingin seperti ini.
Aku mematung. Menatap Kevin dengan tatapan tajam. Ingatannya terlintas tentang pembicaraannya di telepon. Jelas, dia bukan lah orang yang baik.