"Kau baik-baik saja?"
Haha. Aku ingin memasukan bom di mulutnya saat dia menanyakan 'kau baik-baik saja?' tidak, brengsek!
"Aku bertanya padamu Luna," ucapnya lagi melihat tidak ada jawaban dariku. Aku tertawa, entah menertawakan apa. Aku pikir aku sudah gila sekarang.
Dia melangkah mendekatiku lalu jarinya mendongakan daguku. Ia ingin aku menatapnya tapi kemudian kutepiskan tangannya dari wajahku. Jangan sentuh aku.
"Kau tahu Joe tidak bersalahkan? Mengapa kau malah membiarkannya?" tadi aku mendengarnya berbicara dengan seseorang, Dia memanggilnya Zak, kupikir orang itu adalah suruhan Kevin untuk menyelidiki kasus Joe. Zak berkata bahwa yang membunuh wanita yang di maksud polisi itu bukan Joe, Joe justru yang berusaha menolong, ia hanya dijebak.
Dia tampak tak terkejut. "Ada alasan tertentu mengapa aku membiarkannya."
Oh benarkah? "Biarkan saja dia terkurung di jeruji besi. Akan lebih baik untuknya sementara ini." aku sengaja meniru kalimat itu yang ia ucapkan pada Zak, "apakah dengan aku menyetujui pernikahan ini kau akan membebaskan Joe? Jika ya, maka....," sengaja kuberi jeda, aku ingin melihat reaksinya.
Dia hanya menatapku tajam dengan mulut terkatup rapat. "Caramu sangat kotor, Tuan Sanders. Sampai kapan pun aku tak akan mau menikah dengan pria berengsek sepertimu!"
Ucapan terakhirku membuat matanya berkilat marah. "Kau menguji kesabaranku kali ini." ia mencengkram tanganku kuat membawaku ke kamarku. Saat di kamar, tangannya menarik rambutku sehingga kepalaku mendongak, "malam ini akan kutunjukkan padamu seberapa brengseknya diriku," bisiknya tajam di bibirku.
Tubuhku menegang dan wajahku berubah pucat. Aku berusaha melepaskan cengkramannya, namun dia terlalu kuat. Tubuh Kevin menekanku membuatku mau tak mau melangkah mundur hingga menempel ke dinding. Kini tangan kiriku yang bebas sudah berada dalam cengkraman tangannya. Aku kembali berusaha meronta sekuat tenaga. Kepanikan dalam diriku semakin menjadi-jadi saat tatapan matanya memancarkan kemarahan.
Tubuhku semakin terperangkap. Kevin menahan kedua tanganku di atas kepala dengan satu tangannya. Dengan kasar bibirnya melumat bibirku tanpa ampun. Aku memalingkan wajahku ke kiri dan ke kanan, agar dia tidak berhasil mencium bibirku untuk yang ke dua kalinya. Dia tidak menyerah, mendapati penolakkanku, Kevin malah mencium leherku yang terekspos karena aku memalingkan wajah lalu bibirnya kembali lagi menempel di bibirku. Lidahnya memaksa masuk. Aku membungkam mulutku agar lidahnya tak masuk tapi tangan satunya menjambak rambutku sehingga aku teriak kesakitan dan membuat lidahnya dengan mudah memasukiku.
Ingin aku mendorong dan menampar wajahnya tapi aku sama sekali tak bisa bergerak. Dia mengunciku dengan tubuhnya.
Puas dengan memainkan lidahnya di rongga mulutku, bibirnya yang terasa panas melumat bibirku kasar kemudian ia menggigit bibir bawahku tanpa ampun membuat bibir bawahku berdarah dan mulai membengkak.
Aku hampir kehabisan nafas karena ciuman yang tak ada hentinya. Kevin menghentikan ciumannya, memberikan sedikit jarak. Deru nafasnya cepat.
"Lepaskan... ku mohon," ujarku sangat pelan karena ketakutan. Ini pertama kalinya aku diperlakukan kasar oleh seorang pria. Sebelumnya tidak ada yang mempermalukanku kasar seperti ini. Dia pria yang brengsek.
Ia tak mempedulikan permohonanku, ia malah tersenyum puas. Diciumnya lagi bibirku, kali ini bibir atasku yang dilumat dan dihisapnya tanpa ampun.
Air mata menetes di pipiku saat tangan kirinya menekan payudaraku. Kau benar-benar brengsek, Kevin! kutukku. Ciumannya kini berubah lembut dan cengkramannya melepaskan tanganku. Dia berhenti menciumku, dipegangnya daguku, sambil menatapku. Aku menatapnya dengan air mata yang sedikit membasahi pipiku, ada penyesalan terpancar dari mata coklatnya.
"Aku bisa saja melakukan lebih dari ini, tapi aku masih berbaik hati padamu," katanya dingin.
Aku menelan salivaku.
"Dua hal yang perlu kau tahu, bebasnya Joe bukan tergantung padamu. Dia akan bebas setelah aku tahu siapa yang menjebaknya. Dan suka atau tidak kau harus mau menikah denganku, jika kau tetap tidak mau maka terpaksa aku mengurungmu di sini sampai kau mengatakan mau menikah denganku. Sudah cukup aku berbaik hati padamu," suaranya pelan dan dalam lalu ia pergi meninggalkanku, mengunci ruangan ini dari luar.
Aku meringkuk seperti bayi dalam kandungan, mengutuk diriku sendiri yang tak berdaya melawannya. Kebencian terhadapnya kini diiringi dengan rasa takut. Dia memang pria setengah iblis.
Aku tak mau menikah dengannya..
Aku tidak mau..
Tidakโฆ
Tidak akan, meskipun dia mengurungku seperti ini..
*****
AUTHOR'S POV
Air mata itu. Ia memukul cermin besar di kamarnya, menyesali perbuatan bodohnya. Seharusnya ia bisa mengendalikan emosinya dan menahan nafsu bejatnya terhadap gadisnya.. Bukan, bukan gadisnya lagi, tapi dia sudah berubah menjadi wanitanya. Jika Luna tidak menangis mungkin Kevin akan berbuat lebih jauh dan menyingkirkan hati nuraninya demi nafsu dan amarahnya. Dan ia akan lebih menyesalinya.
Tangan kanan Kevin berlumuran darah, serpihan-serpihan cermin itu melukai tangannya. Sakit memang, tapi rasa sakit di tangannya tidak sebanding dengan rasa sakit di hatinya. Hatinya sangat terluka melihat Luna menangis ketakutan dan membencinya. Ia telah membuat Luna benci dan takut padanya, tetapi di sisi lain Kevin menyimpan kemarahan yang amat dalam pada Luna. Kemarahan yang tak bisa ia katakan, ia juga tak bisa menyalahkan Luna karena ini sepenuhnya bukan salah Luna. Semua ini salah takdir dan salah dirinya.
Ah andai saja hal itu tidak terjadi. Kevin terus saja menyalahkan takdir yang telah terjadi itu, takdir yang hampir merenggut nyawa dua orang.
Diingatnya kembali saat Kevin bertemu dengan Luna di rumah Joe. Terkejut, dan detik itu juga ingin sekali dia memeluk dan mencium Luna, membawa Luna pulang dan tinggal bersamanya. Tetapi, Luna pasti mengira bahwa dirinya pria gila yang tak punya akal sehat. Kevin menatap dirinya sendiri di cermin yang retak, menatap penuh kebencian.
Tangannya melonggarkan dasi yang melingkari lehernya. Ia merasa sesak, sesak karena semua takdir yang menimpanya. Mengapa kau siksa ciptaan-Mu seperti ini, Tuhan. Pekiknya.
Kevin memutuskan untuk mandi setelah itu tidur. Sayangnya ia tidak bisa tidur meskipun sudah mencoba beberapa posisi. Ingatan Luna yang menangis saat ia memperlakukannya kasar, membuatnya tidak bisa tidur dengan tenang. Rasanya setelah melakukan itu, Kevin ingin tidur di sebelah Luna, memeluk dan mengusap punggung telanjang Luna sambil mengecup keningnya memohon maaf. Apa yang sedang ia lakukan? Apakah ia masih menangis? Gumam Kevin pada diri sendiri.
Karena tidak bisa tidur, Kevin pergi ke kamar Luna, ingin melihat keadaannya. Mudah-mudahan saja Luna sudah tidur, Kevin tak ingin melihat Luna menatapnya dengan pandangan penuh kebencian. Bukannya tak ingin, ia takut.
Dugaan Kevin benar, Luna sedang tidur.
Langkah kakinya pelan, tak mau membangunkan Luna. Diperhatikannya Luna inci demi inci. Oh Tuhan, dia tidak dapat menghentikan dirinya untuk tidak menyentuh Luna sedikitpun. Tidak, aku harus menahan diri.
Kevin hanya duduk di sisi ranjang memperhatikan wanitanya yang sedang tertidur pulas. Memandangnya seperti ini membuat hati Kevin menjadi tenang.
~END AUTHOR'S POV****
***
Aku bangun dengan hati cemas. Aku merasa setiap malam saat aku tertidur ada yang memperhatikanku tapi ketika aku terbangun, tak ada siapa pun. Ruangan ini hanya ada aku, sepi, sunyi dan senyap.
Sudah satu minggu aku di kurung di sini dan setelah hari itu Kevin tak pernah datang menemuiku. Apa dia menyesal? Orang seperti dia tak mungkin meyesali perbuatannya! Tapi kenapa dia tidak datang menemuiku? Oh Luna seharusnya kau senang tidak melihat pria brengsek itu!
Kepala maid datang membawa makanan seperti biasanya. Ya, selama seminggu ini dia rutin mengantar makanan lalu mengunciku kembali. Tapi aku merasa heran dengan kepala maid, dia sangat baik dan seperti sudah mengenalku sangat lama. Dia tahu segala makanan kesukaanku dan apa yang kubenci, terkadang aku merasa dia tahu perasaanku.
Ally, kepala maid umurnya 49 tahun. Di umurnya yang hampir menginjak kepala 5, wajahnya masih terlihat muda. Aku iri dengan para maid atau orang-orang yang bekerja pada Kevin. Mereka semua cantik dan tampan. Kevin tampaknya tak sembarangan memilih orang yang bekerja dengannya.
"Selamat pagi, Nyonya," sapa Ally dengan senyuman khasnya yang ramah.
Aku membalas senyumannya. "Sampai kapan aku di kurung di sini?" tanyaku tanpa basa-basi. Aku sudah muak dikurung seperti hewan buas, aku ingin bebas melanjutkan hidupku. Kamar ini seperti penjara karena tak ada celah untuk bisa kabur dari tempat ini.
"Sampai anda mau menikah dengan Tuan Kevin."
Di letakkannya nampan berisi makanan dan minuman di nakas sebelah ranjang.
"Aku tidak ingin menikah dengannya, aku sudah punya kekasih! Lagipula mengapa ia ngotot sekali ingin menikah denganku? di luar sana pasti banyak wanita yang menginginkannya. Mengapa harus aku?!"
Aku hampir saja menangis, menangis karena kesal bukan sedih. Aku tak tahan di kurung seperti ini terus menerus. Semua ini tidak masuk akal.
Ally setengah terkejut. "Sssttt.....," lalu ia melirik ke pintu memastikan tak ada yang mendengarnya, "Nyonya mempunyai kekasih?" suaranya pelan.
Aku mengangguk.
"Jangan sampai Tuan tahu Nyonya mempunyai kekasih, karena dia pasti akan sangat marah dan kekasih Nyonya bisa jadi dalam bahaya. Sebaiknya Nyonya tinggalkan kekasih Nyonya dan menikahlah dengan Tuan Kevin."
Telingaku panas terus menerus mendengar menikah dengan Kevin atau semacamnya.
"Dia tidak punya hak untuk marah padaku dan sampai kapanpun aku tidak mau menikah dengan Tuanmu. Astaga, harus berapa kali aku katakan ini padamu, Ally," ucapku gusar.
"Tuan Kevin punya hak akan itu," Ally menghela nafas, "saya mohon jangan seperti ini. Ini sudah takdir anda menikah dengan Tuan Kevin, Nyonya tidak bisa mengelak itu."
Alisku terangkat sebelah. Oh sudah takdirku? mengapa Ally berkata seperti itu? Yang mengetahui takdirku adalah Tuhan, bukan dia.
"Suatu saat nanti saya yakin pasti Nyonya akan mengerti mengapa dan kenapa. Jika boleh saya sarankan, lebih cepat lebih baik. Tuan Kevin bukanlah orang yang suka menunggu. Saya khawatir jika nantinya Tuan akan marah dan saya tak ingin melihat anda terluka," lanjut Ally.
"Jika kau tak ingin melihatku terluka, biarkan aku pergi dari sini tanpa sepengetahuan Tuanmu."
"Tidak. Anda tidak boleh pergi. Itu akan semakin berbahaya. Percayalah, menikah dengan Tuan Kevin adalah pilihan terbaik untuk anda."
Berhentilah membujukku untuk mau menikah. Telingaku bisa terbakar jika terlalu sering mendengar hal konyol itu. Dan apa yang baru saja kudengar? Menikah dengannya ada pilihan terbaik? Aku heran mengapa Ally bisa berkata sangat meyakinkan seperti itu, seolah-olah ia tahu segalanya.
Tiba-tiba aku ingat perkataan Joe di kantor polisi. Perkataan yang sempat menghantuiku beberapa hari, 'Karena kau miliknya Luna'
"Ally..," panggilku, "seseorang pernah berkata padaku bahwa aku adalah milik Kevin padahal aku baru bertemu Kevin seminggu yang lalu, bisa kau jelaskan apa maksudnya? Aku tahu kau mengetahui sesuatu yang tak aku ketahui."
"Kau memang milikku," Suara bariton itu datang tiba-tiba. Kevin sudah berada di samping pintu entah sejak kapan.
Ally langsung pergi begitu Kevin memberi isyarat padanya. Setelah Ally pergi, Kevin menutup dan mengunci kamarnya.
"Kau memang milikku," ulangnya. Kevin tersenyum hangat.
Aku mulai takut dia akan melakukan sesuatu yang buruk padaku ketika ia mengunci pintunya. Aku tak ingin kejadian itu terulang lagi. Aku bukan wanita jalang!
"Aku ingin mendengar jawabanmu," katanya datar.
Aku tidak pernah mengerti ekspresinya bisa berubah secepat itu. Baru saja aku melihat senyum yang muncul dari bibirnya, tapi kemudian berubah dingin seketika.
Kevin di depanku sekarang. Aku tidak suka jika dia terlalu dekat denganku. Tapi jika aku melangkah menjauhinya dia akan semakin mendekatiku bahkan menempelkan tubuh kami secara paksa seperti yang pernah Kevin lakukan sebelumnya.
"Tidak akan ada pernikahan diantara kita," jawabku lantang.
Kevin diam sesaat memandangi ekspresiku. Ada sedikit kekecewaan dan kemarahan dari sorot mata cokelatnya. Ia memandangiku dingin dan dalam. Siapa saja yang dipandangi Kevin seperti itu pasti ketakutan.
Kevin menghela nafas panjang, sepertinya dia sedang berusaha menahan kesal. "Jangan membuatku memaksamu dengan cara yang tak kau inginkan sama sekali." Ia mencekal tanganku kuat.
"Jangan pernah menyentuhku lagi! Kau tak ada hak menyentuhku!!" Kutepis tangannya dengan kasar.
Kevin membelalak lalu ia kembali menjadi datar. Ia menatapku lekat. Sorot matanya begitu mengerikan. Apa kali ini dia marah lagi dan akan melakukan hal kasar padaku? Jika ia memperlakukanku kasar bagaimana nanti kalau aku menjadi istrinya, Kevin bisa saja berprilaku lebih kejam dari yang aku tahu. Aku sama sekali tak bisa membayangkan menjadi istrinya. Semua itu seperti mimpi buruk.
"AKU PUNYA HAK ATAS DIRIMU!" suaranya menggema di kamar ini hingga refleks aku mundur beberapa langkah. Aku mulai takut ketika mendengar intonasi bicaranya yang tinggi.
Melihat ketakutanku, Kevin mencoba berbicara pelan dan lembut, "Dengar Luna, Aku punya hak atas dirimu. Aku berhak melakukan apapun padamu bahkan menyentuhmu sekalipun aku punya hak atas semua itu."
Aku mengatup mulutku rapat-rapat, tak tahu apa yang harus aku katakan lagi. Kevin melangkah mendekatiku. Tangannya dengan cepat meraih daguku dan ia mencium bibirku sekilas.
Sesaat Kevin tampak terkejut karena tak ada penolakan saat ia menciumku tapi kemudian ia tersenyum lembut. Aku sengaja membiarkan Kevin menciumku. Aku tidak ingin ia bertambah marah. Marahnya dia bagaikan bencana bagiku dan itu akan merugikanku, juga membuatku takut.
"Jangan membuatku kesal lagi, itu akan berakibat buruk untukmu," katanya lalu melirik makanan yang ada di meja, "aku harus bekerja. Habiskan makananmu," Kevin melangkah pergi dan lagi ia mengunciku di kamar yang membosankan ini.