Aku sedikit gugup berdansa dengan James karena dia adalah ayahnya Kevin. Aku takut melakukan kesalahan di depannya. Aku bergerak kiri-kanan menyeimbangi gerakan James.
"Kau cantik," puji James.
Pipiku merona merah. "Anda mempunyai bakat bernyanyi yang indah. Suara anda mengingatkan saya pada salah satu vokalis band dunia." Aku mendonggakan kepalaku. Tinggiku di bawah dagunya sehingga ketika bicara padanya kepalaku harus mendonggak.
"Aku bukan atasan atau bosmu. Jangan memakai saya dan anda. Kau anakku."
"Maaf," kataku kikuk.
James tersenyum menerima permintaan maafku. "Tadi kau bilang suaraku mengingatkanmu pada seorang vokalis. Siapa itu?"
"Vokalis dari band Michael Learns To Rock, aku tidak tahu namanya tapi aku menyukai suaranya. Suaramu juga."
"Dia temanku semasa kuliah. Kami sering tampil di acara pentas seni, seperti penyanyi duo."
Aku membuka mulutku lalu segera mengatupnya rapat-rapat. "Temanmu? Wow. Apakah kau masih sering bertemu dengannya?" hatiku berjingkrak tidak karuan.
"Tidak terlalu sering. Tapi setiap bulan kami pasti bertemu. Kau salah satu fansnya?"
"Aku tidak tahu aku ini fansnya atau bukan. Seorang fans pasti tahu nama idolanya sedangkan aku tidak." Aku menunjukkan ekspresi menyedihkan, "Yang jelas aku menyukainya dan semua lagu-lagunya. Bisakah kau menyampaikan salam untuknya dariku?"
"Tentu. Akan kusampaikan dan akan kupastikan kau bertemu dengannya, mengenal namanya secara langsung dari mulutnya."
Aku menyengir kesenangan seperti orang idiot. Dari SMP aku sangat ingin menonton konsernya tapi aku tidak memiliki cukup uang untuk membayar tiket konsernya dan kini James akan memastikan aku akan bertemu dengannya suatu saat nanti. Hatiku seperti bunga yang bermekaran.
Setelah berdansa dengan James, aku berdansa dengan Davin. Ia sama ramahnya seperti yang lain. Kami tidak mengobrol banyak karena anak kembarnya terus merengek pada Davin agar diajari cara berdansa seperti orang dewasa.
"Well, giliranku." Kevin meraih pinggulku. Wajah kami begitu dekat dan kami saling bertatapan. Aku sedikit mendonggak karena tinggiku hanya sedagunya.
"Apakah tadi sore kau mencoba menggodaku?" bisiknya pelan di bibirku.
Aku tidak mengerti apa maksudnya. Aku tidak pernah berpikiran untuk menggodanya meskipun ia menggoda untu digoda.
"Saat di dapur tadi kau sengaja membiarkan kancing bajumu terbuka sehingga terlihat belahan dadamu." Kedua tangan Kevin bergerak turun dari pinggulku. "Kau membuat milikku langsung menegang." tangannya meremas pantatku mendorong tubuhku menempel padanya.
"Kevin jauhkan tanganmu dari situ!" bentakku dalam bisikannya. Aku tidak ingin mereka melihat kelakuan mesum Kevin yang sedang ia lakukan padaku.
"Kenapa? Kau terangsang?" ia menyeringai nakal dan semakin berani meremas pantatku. Oh Tuhan, aku ingin menamparnya.
"Jangan bodoh! Mereka bisa melihat kita! Jangan mempermalukanku di depan keluargamu."
"Baiklah," ucapnya dingin dengan wajah datar. Tangannya kembali ke pinggulku.
Dia berubah jadi dingin. Tak ada satu kata pun yang keluar dari mulutnya setelah kata 'baiklah'. Apakah dia marah karena aku menolaknya? Jika ya, dia benar-benar seperti anak kecil yang cepat marah jika keinginannya tidak di penuhi. Tapi mengapa aku risih jika dia sedang marah padaku. Seharusnya aku tidak peduli.
"Kau mempunyai keluarga yang sempurna. Apakah acara berkumpul seperti ini dilakukan tiap bulan?" tanyaku berusaha mengalihkannya. Aku tidak tahan melihat sikap dinginnya di depanku.
"Tiap tahun," jawabnya singkat masih dengan wajah datarnya.
"Mengapa mereka tidak datang di pesta pernikahan kita?" aku sedikit risih ketika mengatakan 'pernikahan kita' jika ada kalimat sinonimnya pasti aku tidak akan mengucapkan 'pernikahan kita'.
"Mereka sangat sibuk."
Sudah cukup. Aku jengkel dengan jawaban singkatnya itu. "Kau marah padaku?" tanyaku kesal.
"Kau berpikir seperti itu?"
"Itu bukan jawaban yang ingin kudengar."
Perlahan kami mulai berhenti berdansa. Aku tidak ingin berdansa saat situasi diantara kami tidak mengenakan.
"Kau mengataiku jangan bodoh. Aku tidak ingin mempermalukanmu," balasnya tajam.
Rupanya ia tersinggung dengan ucapanku. Itu bukanlah ucapan yang tajam, mengapa ia cepat tersinggung? Wajar saja aku berkata seperti itu di saat dia meremas pantatku di depan keluarganya. Rahangnya mengeras.
"Kau memang bodoh. Ini bukan di kamar, mereka bisa melihat tanganmu yang sedang meremas pantatku." Aku menghela nafas panjang, "maaf." kukecup bibirnya dengan lembut.
Kata maaf dari mulutku terlontar begitu saja dan ciuman itu refleks datang dalam diriku. Apa yang terjadi padaku? Aku tidak boleh seperti ini.
Tiba-tiba aku merasakan sesuatu menusuk otakku. Bayangan hitam dan bisikan-bisikan halus datang menerpaku. Tubuhku bergemetar hebat saat bisikan halus semakin melekat di otak dan telingaku. Keringat mengucur dari pelipisku begitu saja. "Kevin, aku mengantuk," kataku bohong.
Aku hanya ingin istirahat untuk menghilangkan bayangan aneh ini dan aku tidak ingin mereka melihat wajahku yang kupastikan akan memucat.
*****
Aku terbangun dengan Kevin sedang tidur di sebelahku. 3 jam yang lalu aku merasa di hantui oleh bayangan hitam dan bayangan itu tidak bisa membuatku tidur nyenyak bahkan bayangan itu masuk ke dalam mimpiku. Aku putuskan untuk mencari udara segar.
Aku mengikuti kemana langkah kakiku pergi. Kakiku berhenti melangkah, aku berada di halaman belakang rumah. Terdapat air terjun buatan di halaman dan di depan air terjun ada ayunan keluarga berjarak 300 meter dari air terjun. Aku duduk di ayunan itu sambil melihat air terjun buatan. Aku tidak tahu kenapa kakiku sepertinya hafal dengan letak rumah ini.
Bisikan dan bayangan hitam itu muncul lagi. Bayangan dua orang yang sedang bercinta di rumah ini di setiap sudut ruangan. Bayangan beberapa orang dengan tawanya. Bayangan sepasang kekasih yang sedang bercinta lebih sering muncul di kepalaku. Wajah sepasang kekasih itu samar-samar hitam, aku tidak tahu siapa mereka. Dan suara-suara yang menghantui telingaku,
'Aku mencintaimu'
'Aku juga'
'Tidak akan ada yang berubah'
'Aku menginginkanmu'
'Layani aku sayang'
'Jangan mencoba lari dariku'
'Ini rumahmu juga'
'Kau perlu di borgol'
'Kau memabukkan..... aku ingin lagi... beri aku satu ciuman'
'Ini milikku...dan ini juga... tubuhmu milikku. Tidak ada yang boleh menyentuhmu kecuali aku... Kau milikku sayang...'
'Aku mencintaimu'
'Aku mencintaimu'
Bulu-bulu halusku merinding. Bayangan dan suara itu mengerikan di otakku. Aku merasa bahwa rumah ini ada penghuni tak terlihat karena sejak pertama aku menginjakkan kaki di sini ada aura aneh.
"Wow. Kau tidak tidur?"
Suara itu menghentakku. Aku menoleh dari mana suara itu berasal. Rupanya Revan. Ia berjalan menghampiriku dengan gitar di pelukkannya. Tanpa basa-basi Reval langsung duduk di ayunan hadapanku. Aku pikir hanya aku yang terbangun di jam 2 pagi.
"Mengapa kau di sini? Seharusnya kau tidur."
"Aku tidak bisa tidur," ucapku sambil melirik gitarnya. "untuk apa kaubawa gitar?"
"Aku bosan," ia mengangkat bahunya dan jari-jarinya dengan lihai memetik senar gitar.
Kebetulan Revan ada di sini. Aku ingin memperkuat dugaanku tentang rumah ini apakah dia pernah di hantui bayangan yang sama ketika berada di sini ataukah rumah ini dulu pernah di huni oleh sepasang kekasih yang terbunuh dengan kejam lalu sepasang kekasih itu menghantui para penghuninya. Aku tahu pemikiranku ini bodoh dan konyol.
"Boleh aku bertanya sesuatu?" aku menunggu reaksi Revan, ia mengangguk lalu kulanjutkan sesuatu yang ingin kutanyakan, "siapa penghuni rumah ini sebelum kalian?"
Jari-jarinya masih sibuk bermain. "Tidak ada. Kami yang pertama. Ayah yang membangun rumah ini jadi kamilah penghuni pertamanya."
"Jadi sebelumnya tanah ini tanah kosong tanpa bangunan?"
"Ya. Ada apa? Mengapa kau bertanya seperti itu?"
Dia mulai mengalihkan perhatiannya padaku sehingga ia berhenti memainkan gitarnya lalu memandangiku.
"Apakah sebelumnya ini adalah tanah kuburan?" Jangan konyol Luna.
"Ayahku tidak mungkin membeli tanah kuburan dan membangun rumah keluarga di atas tanah kuburan. Mengapa kau menjadi aneh? oh atau kau merasakan sesuatu yang aneh di rumah ini? Ceritakan padaku."
Haruskah aku mengatakannya bahwa ada bayangan yang menghantuiku? "Aku merasa dihantui oleh sesuatu di sini," ucapku ragu.
Dahi Revan mengerut. "Contohnya?"
"Um... Seperti ada yang berbisik padaku dan ada bayangan hitam. Aku merasa rumah ini ada-"
"Ada hantunya?" potong Revan cepat. Wajahnya serius. Aku mengangguk tapi setelah anggukanku ekspresi Revan berubah. Muncul tawa dari mulutnya. Ia menertawaiku.
"Di jaman modern ini kau masih percaya hantu?" tawanya pecah sampai telingaku. "Tidak ada hantu di sini. Itu perasaanmu saja."
"Seharusnya aku tidak menceritakan ini padamu," dengusku kesal.
"Oh maaf." Ia menghentikan tawanya tapi dari bibirnya masih terlihat seringaian lebar. "kau lucu."
"Aku sedang tidak melucu." Bibirku merengut.
"Aku tahu." Revan memberikanku seringaian yang menjengkelkan. "omong-omong kau kuliah di University of Seattle ya?"
"Ya. Kenapa? Kau ingin kuliah di sana?" tanyaku denga ketus.
"Aku sudah menamatkan gelar doktor, untuk apa aku kuliah lagi," jelasnya menyombongkan diri. "aku dengar di kampusmu banyak wanita cantik dan seksi. Kenalkan aku dengan wanita di kampusmu."
"Aku tidak mau. Kau bilang banyak wanita yang mengantri untukmu."
"Mengantri untuk ditiduri."
Aku menganga. Revan terlalu frontal.
"Kau harus serius dengan satu wanita. Wanita di ciptakan bukan untuk ditiduri," kataku mulai serius.
"Kau masih sama. Tidak berubah." Revan menghadiahiku dengan cubitan di hidungku.
"Ucapanmu seolah-olah kau telah mengenalku sangat lama." Aku terkekeh dan kami tertawa, larut dalam pembicaraan kami yang tidak berujung.
Revan baik. Aku pikir sifat Revan tidak jauh berbeda dengan Kevin karena mereka bersaudara. Kenyataannya, sifat mereka 160 derajat berbeda. Revan bukan pria yang dingin berwajah datar, ia ramah dan humoris, sikapnya mampu membuat siapa saja merasa nyaman.
***
"Aku tidak suka kau terlalu dekat dengan Revan."
Aku tergelonjak. Baru saja selangkah memasuki kamar.
Kevin meyandarkan tubuhnya di dinding kamar samping pintu. Dia sudah bangun? Apakah tadi dia melihatku sedang mengobrol dengan Revan?
"Tadi aku tidak bisa tidur dan kakakmu datang. Dia juga tidak bisa tidur," ujarku seperti orang yang tertangkap basah habis berselingkuh.
"Jangan terlalu dekat dengannya," pintanya mengintimidasi.
"Tapi dia kakakmu."
"Aku tidak peduli. Jangan membantah. Sebaiknya kau tidur sekarang." nadanya tegas memerintah.
Bossy. Dia selalu seperti itu. Anehnya lagi aku tidak boleh dekat dengan kakaknya, seharusnya dia senang aku dekat dengan salah satu keluarganya dalam satu hari, bukannya memperingatiku seperti itu. Andai saja aku menikah dengan Revan, mungkin akan lebih baik daripada harus menikah dengan Kevin. Jika Kevin tahu apa yang baru saja aku pikirkan, ia pasti akan sangat marah.
Aku berbaring membelakangi Kevin, berusaha memejamkan mata tapi tetap saja aku masih tidak bisa tidur. Aku bangkit dari ranjang, kesal pada diriku yang tidak bisa tidur.
"Mau kemana?"
Aku menoleh ke suara itu. Kevin terjaga? Kevin bangun dari ranjangnya memandangiku.
"Kembali ke ranjang dan berusahalah untuk tidur!" bentaknya.
Aku terkesiap lalu langsung kembali ke tempat tidur. Duduk di ujung ranjang. Bentakkannya seperti sedang membentak anak kecil yang membangkang. Semenjak dansa tadi, Kevin bersikap dingin dan sekarang ia membentakku. Apa ia masih marah gara-gara perkataanku yang menyinggungnya?
Aku mendekati Kevin duduk di tengah ranjang di sebelahnya. "Kau sedang menstruasi? Dari tadi moodmu menjengkelkan," kataku pelan, mencoba meredakan sifat galaknya dengan humor bodohku yang membuatku jijik.
"Tidurlah Luna," katanya menekan, menahan kesalnya, mengabaikanku. Dia benar-benar sedang kesal.
Aku semakin mendekatinya dengan berani, mendekati wajahnya menatap bibirnya yang kaku. Telunjukku bergerak menelusuri bibirnya yang terasa dingin, mengikuti bentuk bibir Kevin sambil mengatakan, "Kau harus lebih sering tersenyum," lalu aku memberikannya ciuman kecil.
Aku tidak bisa menahan diriku saat jariku menyentuh bibirnya. Bibirku juga ingin menyentuhnya bahkan aku sedikit ingin merasakan bibirnya, menyesapinya tapi aku berusaha untuk tidak melakukan hal yang lebih jauh. Cukup ciuman kecil saja sudah mampu membuat sarafku menegang. Aku sedang dalam keadaan sadar, sadar bahwa sifat setan sedang menguasai keinginanku.
Tangan Kevin dengan sigap menahan jariku di bibirnya kemudian ia memberikan beberapa ciuman di buku-buku jariku. "Aku sudah memberimu kesempatan untuk tidur tapi sepertinya kau lebih memilih bermain." Seringaian kecil muncul dari bibirnya.
Wajahnya yang tadi dingin dan datar berubah menjadi sensual penuh gairah.
Kevin dengan lembut menciumku tanpa menuntut, pelan namun sangat menyiksa. Tubuhnya mendorongku sehingga punggungku menyentuh ranjang. Jari-jarinya mengunci jari-jariku di atas sisi kepalaku, membuat tanganku tidak punya akses bebas untuk menyentuh bibirnya. Bibirnya bergerak ke daun telingaku lalu giginya menggigit daun telingaku, menariknya lembut. Aku menutup mata sambil mengerang nikmat.
"Aku tidak suka ketika terbangun tidak melihatmu di sampingku. Jika kau melakukannya lagi..." Kevin kembali menggigit daun telingaku lalu ia menyesapnya, "kau perlu di borgol," bisiknya parau.
Sesaat aku mengernyit, aku merasakan seperti deja vu. Tapi perasaan itu lenyap dengan cepat karena sentuhan sensual Kevin.
Dan kami pun larut dalam gairah kami. Tidur tanpa busana. Nafas terengah-engah dan keringat yang membasahi seluruh tubuh kami karena gerakan yang menguras tenaga.
***
"Kauingin naik lagi?"
Aku menggelengkan kepalaku cepat. Jika aku naik lagi maka uangnya akan terbuang sia-sia. Satu kali sudah lebih dari cukup.
"Kau sepertinya sangat mengenal tempat-tempat indah di dunia ini. Terima kasih untuk balon udara 1 jamnya."
"Itu hanya balon udara biasa."
Aku menganga. Hanya balon udara biasa? Itu luar biasa! Menghabiskan waktu pagi hari melihat matahari terbit di padang rumput yang sangat indah dengan balon udara. Dia bilang biasa? Kepalaku menggeleng-geleng, Kevin Sanders terlalu rendah diri.
"Kau selalu mengatakan ini itu biasa. Lalu apa yang menurutmu luar biasa?"
"Bercinta denganmu."
Aku tidak sengaja menyemburkan minumanku di wajahnya. Jawabannya membuatku ingin menyumpal mulutnya dengan popok bayi.
"Apakah di otakmu hanya ada itu?!"
Kevin mengusap wajahnya yang basah dengan sapu tangannya. Ia menggeram kesal.
"Apa kau kira wajahku ini tempat sampah?!" geramnya kesal.
"Suruh siapa menjawabnya seperti itu!"
"Kau yang bertanya dan aku menjawabnya dengan jujur."
Aku melempar kaleng minumanku ke wajahnya lalu berbalik menjauhinya agar ia tidak melihat wajahku yang kemerahan karena malu.
Bercinta denganku hal yang luar biasa?
Wajahku lama-lama seperti kepiting rebus.
.
.
.
Kami kembali ke rumah. Sampai rumah kami diserbu Mia dengan berbagai pertanyaan.
"Kau lebih baik banyak bertanya pada gurumu," cibir Kevin kesal meladeni pertanyaan Mia yang tidak berujung.
"Aku tidak akan banyak bertanya jika kau tadi mengajakku!" bibir Mia mengerucut.
"Kau akan menganggu momenku dengan istriku."
Aku hanya tersenyum melihat pertengkaran mereka yang konyol. Melihat mereka bertengkar aku merasa tidak aneh lagi, seperti pernah terjadi sebelumnya.
Gelenyar aneh menerpaku. Tiba-tiba kepalaku seperti ada yang menusukku berulang kali, rasanya sangat sakit sehingga membuatku menjerit tidak tahan. Kevin yang melihat reaksiku langsung menghampiriku dan menahan berat badanku yang hampir tersungkur ke lantai.
Suara-suara itu kembali terngiang di telingaku. Memenuhi isi kepalaku. Dan kini aku menyadari semua yang pernah terjadi di rumah ini seperti pernah ku alami sebelumnya. Begitu nyata.
"Kak Luna!!!"
"Luna, kau kenapa?"
"Luna sadarlah!"
Aku tidak bisa mendengar Kevin dengan jelas, suara-suara itu lebih keras di telingaku dari pada suara Kevin maupun Mia. Kepalaku sekarang seperti sedang di gerogoti. Rasa sakitnya sampai tak bisa kurasakan lagi. Semuanya menjadi gelap dan sunyi. Aku hanya bisa melihat kegelapan dan mendengar kesunyian. Semuanya menjadi kosong. Membawa jiwaku lepas dari ragaku.