Sudah dua hari Caspar tidak meninggalkan paviliun Finland. Ia bahkan meminta John dan Ms. Law membawakan sebagian pakaiannya ke sana. Ketika Finland bertanya mengapa ia tidak pindah kembali ke kamarnya Caspar tidak memberikan alasan yang jelas.
"Aku hanya ingin terus bersamamu. Hari Senin sampai Jumat kau sibuk dengan pekerjaan, cuma akhir pekan saja aku bisa melihatmu seharian," keluh Caspar. "Kau juga menolak berhenti bekerja, padahal aku mampu memenuhi segala kebutuhan dan keinginanmu..."
"Sayang, aku baru menikmati dunia kerja, bertemu dengan banyak orang, dan mengalami rasanya hidup sebagai orang dewasa." Finland memegang tangan Caspar dan membelai pipinya, "Aku mau menjalani kehidupan normal sebanyak mungkin, supaya aku bisa mempersiapkan diri jika suatu hari nanti aku ikut denganmu dan menjadi bagian dari kaum Alchemist. Aku tak mau melihat ke belakang dan menyesal karena ada banyak hal yang aku lewatkan."
"Jadi kau mempertimbangkannya?" tanya Caspar penuh harap.
"Benar. Berikan aku waktu setahun... Aku mau bekerja, menikmati hidup sebagai orang normal dan pelan-pelan mengucap selamat tinggal kepada Jean dan hidupku yang lama."
Caspar mengangguk tanda mengerti. Ia belum pernah bertemu orang yang menolak hidup abadi dan muda selamanya. Tetapi Finland memang bukan orang biasa. Baginya mengambil keabadian bukanlah keberuntungan melainkan pengorbanan yang harus dilakukan demi dapat bersama laki-laki yang dicintainya. Padahal Finland sendiri adalah yatim piatu yang tidak mempunyai banyak teman. Malah temannya hanya ada satu, Jean itulah.
Caspar sadar ia yang datang belakangan, dan ia harus menghormati hubungan batin antara Finland dan Jean yang sudah terjalin selama bertahun-tahun sebelum kehadirannya.
"Tapi apa kau tidak merasa sempit di paviliunku?" tanya Finland kemudian. Ia ingat bahwa di Hotel Continental Caspar tinggal di penthouse yang sangat luas, Hampir sekitar 600 m2.
"I don't need space when I am with you," jawab Caspar pendek.
"Oh... oke."
Sebenarnya Finland yang butuh space atau privasi. Selama dua hari ini Caspar selalu berada di dekatnya bagaikan anak anjing yang baru diadopsi oleh pemilik baru dan mengikuti kemana saja ia pergi. Finland merasa agak susah untuk melakukan pekerjaan lain ataupun ngobrol dengan Jean. Ia ingat Jean yang terdengar agak sedih saat kemarin baru sampai di Paris. Finland ingin tahu bagaimana keadaannya sekarang.
Akhirnya Finland memutuskan untuk masuk ke rumah utama, supaya mereka memiliki ruang lebih besar.
"Kau mau pindah ke rumah utama?" tanya Caspar dengan wajah senang.
"Iya, karena di sini terlalu sempit untuk berdua." jawab Finland. Dari banyak yang ia baca, orang kalau berada di ruang yang sempit cenderung akan menjadi lebih stress dan bisa memicu pertengkaran.
"Baiklah. Kalau begitu malam ini kita tidur di kamarku." kata Caspar senang.
Finland belum pernah masuk ke kamar Caspar. Selama ini ia hanya memasuki rumah utama sebatas di ruang tamu atau dapur yang sekaligus berfungsi sebagai ruang makan. Ia tahu di lantai dasar ada dua kamar staf, satu perpustakaan, satu kamar master besar dan beberapa kamar besar di lantai 2. Ia tidak tahu Caspar tinggal di kamar yang mana.
"Ayo kutunjukkan kamarku," ajak Caspar seolah membaca pikiran Finland. Ia menggenggam tangan Finland dan membawanya masuk ke rumah utama. Mereka naik ke lantai dua dan Finland melihat di atas ada ruang duduk besar dengan sofa victoria nyaman menghadap ke tembok kaca dan di kanan kirinya masing-masing ada kamar besar.
Caspar membawanya ke kamar di sebelah kiri.
"Ini kamarku, yang seberang itu kamar tamu, seandainya adik-adikku memutuskan untuk mampir." Caspar mengembangkan tangannya dan menunjukkan sebuah kamar yang sangat luas, mungkin 5x luas paviliun Finland dengan lantai parket kayu yang elegan, sebuah ranjang empat poster sangat besar, sofa, dan beberapa alat fitnes yang diposisikan menghadap ke jendela ke jendela besar di sepanjang tembok. Semua perabotannya memiliki warna maskulin yang elegan.
"Kamarmu bagus sekali..." kata Finland memuji. Ia kemudian bertanya, "Setelah menikah kau mau tinggal sekamar atau kita tetap punya privasi masing-masing?"
"Bagaimana kita bisa punya anak kalau kita tetap di kamar berbeda?" tanya Caspar dengan jahil. "Aku tidak mau berpisah. Kalau kau lebih menyukai paviliunmu, aku yang akan pindah ke situ..." Ia mengeluarkan sebuah koper kecil dan mulai memindahkan sebagian pakaiannya dari lemari ke koper, membuat Finland geleng-geleng kepala.
"Jadi kalau aku lebih menyukai kamarmu ini, aku yang pindah ke sini?" tanya Finland kemudian.
"Tepat sekali." Caspar berhenti packing, "Jadi bagaimana? Aku yang pindah atau kau?"
"Aku yang pindah..." kata Finland kemudian. "Tapi aku akan perlu sebagian besar walk in closet-nya. Pakaianku yang dikirim La Pearl banyak sekali."
Caspar tersenyum lebar dan bangkit untuk memeluk Finland.
"Tenang saja, walk in closetku memang untuk dua orang. Kau bisa pakai semuanya." Ia mencium bibir Finland dengan semangat, "Atau kita bisa tinggal di Penthouse juga, sama saja buatku. Tahun depan kalau kau sudah puas hidup sebagai orang normal, kita akan pindah dan membangun rumah baru untuk kita diami bersama. Atau kita bisa ke Jerman dan tinggal di kastil keluargaku. Di New York aku juga punya rumah tetap, dan tak terhitung properti lainnya di seluruh dunia. Banyak sekali pilihannya."
Finland tersenyum melihat tingkah Caspar. Pemuda ini benar-benar lucu kalo sedang dimabuk cinta begini. Ia mengikuti Finland kemana saja dan wajahnya selalu terlihat cerah, benar-benar seperti anak anjing yang baru diadopsi.
"Sementara ini aku bisa pindah ke atas, nanti kita bahas lagi tentang rumah dan lain-lain kalau kita sudah menikah atau pindah dari Singapura." jawab Finland akhirnya.
"Yesss!" Caspar tampak senang sekali, ia memeluk Finland dan bergegas turun ke bawah untuk meminta stafnya membereskan barang-barang gadis itu.
Hari minggu sore, Finland sudah mengucap selamat tinggal pada rumahnya selama 3,5 bulan terakhir, paviliun cantik di belakang Rose Mansion. Ia pindah ke lantai dua dan berbagi kamar dengan Caspar. Kamar itu luasnya hampir 100 meter persegi dengan sangat banyak tempat untuk duduk dan bersantai. Tempat favorit Finland adalah sofa cantik besar yang menghadap ke beranda atas dengan dudukan paling empuk yang pernah ditemuinya.
"Ini juga tempat favoritku untuk duduk merenung atau melakukan pekerjaan ringan," kata Caspar. "Selera kita sama."
"Ahahah... itu kebetulan." kata Finland.
"Bagaimana dengan pelajaran bersenang-senang yang diajarkan Jean? Kau sudah puas?" tanya Caspar sambil duduk di sebelah Finland dan menaruh kepalanya di pangkuan gadis itu, "Aku bisa melanjutkan kurikulumnya kalau Jean pergi sebelum pelajaran selesai."
"Hmm... kami sudah nonton banyak film, bar hopping, wakeboarding -dia yang main aku menonton- lalu ke Universal Studios." Finland mengingat-ingat, "Rasanya sudah banyak ya... Kau juga membawaku ke Singapore Flyer untuk makan. Mungkin yang berikutnya aku ke museum saja atau berlibur ke tempat lain..."
"Aku sudah berjanji mengajakmu liburan akhir bulan November ini. Minggu depan." kata Caspar mengingatkan, "Masih ingat aku minta waktumu tiga hari karena aku memberimu seluruh koleksi House of La Pearl waktu itu?"
"Ah ya.. betul. Aku mesti minta cuti besok untuk tanggal tersebut. Kita mau ke mana?"
"Itu rahasia." jawab Caspar kalem. "Yang perlu kau lakukan hanya minta cuti dan bawa serta senyuman paling manismu."
"Ahahaha... kau masih mengerjakan proyek senyum Finland?" tanya Finland. Ia memang sudah jarang melihat Caspar memfotonya.
"Masih. Nanti akan kuambil lagi foto-foto bagus yang lain." Caspar berdeham, "Tanggal 31 Desember nanti, saat kita menikah di Jerman akan tepat menjadi 6 bulan proyek Membuat Finland Tersenyum. Mission accomplished."
Mendengar ini Finland hanya tersenyum. Ia mengusap-usap kepala Caspar yang ada di pangkuannya.
Benar. Dibandingkan 4,5 bulan yang lalu, ia sekarang sudah jauh lebih banyak tersenyum. Sebagian besar senyumnya karena laki-laki yang kini menaruh kepalanya di pangkuan Finland untuk tidur dengan manja.