Akhirnya conference meeting Caspar selesai 2 jam kemudian. Finland sudah terkantuk-kantuk di sebelahnya menunggu pemuda itu selesai. Kalau tahu bakal lama begini, ia tadi tidak mengundang Caspar masuk untuk minum teh.
"Hei... terima kasih untuk jamuan tehnya. Kau tidur sekarang ya, aku pulang dulu." Caspar menutup laptopnya dan menepuk bahu Finland pelan.
Gadis itu tersentak bangun dan mengangguk. Dengan mata setengah terpejam ia bangkit menuju kamarnya. "Hati-hati di jalan. Tidak perlu diantar ke gerbang, kan?"
"Tidak usah, terima kasih." Caspar tersenyum dan mengacak rambut gadis itu pelan.
Cetrek.
Ia mengambil foto Finland yang sangat mengantuk dan menutup setengah wajahnya dengan telapak tangan kiri.
"Apa-apaan, sih, ambil foto kok pas orang mengantuk? Aku kan sedang tidak tersenyum?" protes Finland. Ia ingat Caspar pernah bilang selama enam bulan ini akan mengambil fotonya yang sedang tersenyum.
"Tidak senyum juga sudah cantik kok. Selamat malam." Caspar melambaikan kameranya lalu keluar dari paviliun Finland dan keluar mendapatkan Ben yang masih setia menunggunya di halaman.
"Tuan jadi pindah ke New York empat bulan lagi?" tanya Ben sambil membukakan pintu mobil, "Maaf, saya hanya penasaran."
"Hmm... Aku sudah terlalu lama menjadi Heinrich Schneider, Ben. Orang-orang akan curiga karena aku tidak bertambah tua."
"Tuan akan memberi tahu Nona Finland?"
"Aku tidak tahu."
Caspar duduk di mobil sambil memejamkan mata memikirkan sesuatu. Saat ia membuka matanya, foto polaroid Finland yang barusan diambilnya sudah membentuk gambar. Ia menatap wajah mengantuk gadis itu yang terlihat sangat menggemaskan, tanpa sadar ia tersenyum sendiri.
***
Finland hampir terlambat ke kantor karena tadi malam bergadang menemani Caspar di teras paviliunnya. Ia merasa perlu belajar dari Caspar tentang mengelola perusahaan, karena bulan depan ia mungkin akan menjadi pemilik sebuah perusahaan. Itu kalau Caspar kalah taruhan. Karenanya ia tahan-tahankan rasa mengantuknya dan memperhatikan bagaimana Caspar melakukan rapat dengan anggota direksinya di Amerika lewat conference call.
"Kita punya Direktur Marketing baru," kata Tran saat Finland tiba di kantor pagi itu. "Beliau anak CEO LTX yang sebelumnya memimpin cabang di Amerika."
"Oh..." kata Finland tidak tertarik. Ia suka dengan pekerjaannya, tetapi mengingat di situ ada Meilin yang jahat dan mempengaruhi teman-teman kantornya, ia jadi malas melanjutkan. Finland sudah bersiap-siap untuk mencari pekerjaan baru setelah masa percobaan tiga bulannya selesai. Berarti tinggal 1,5 bulan lagi.
Ms Fang memberi pengumuman begitu ia tiba di kantor.
"Seperti yang kalian tahu, kita sudah punya direktur marketing yang baru. Nanti siang kita semua harus rapat untuk membahas persiapan acara peluncuran jam terbaru Bartz. Direktur sendiri akan hadir. Kalian siapkan presentasi masing-masing. Cukup lima menit."
Finland sudah siap dengan profil kandidat distributor dari Indonesia dan Malaysia yang ia kerjakan, ia hanya perlu memoles slides-nya untuk presentasi nanti.
***
Setelah makan siang, karyawan LTX semua memadati aula meeting di lantai 3. Mereka akan mendengar sambutan dari direktur baru yang juga merupakan anak pemilik perusahaan. Banyak yang penasaran akan wajahnya karena gosip yang beredar menyebutkan bahwa direktur baru itu masih muda dan tampan.
Suasana segera menjadi tenang ketika beberapa petinggi perusahaan masuk ke aula, diikuti oleh seorang pemuda berusia 25 tahun yang mengenakan jas yang terlihat mahal sekali.
"Selamat siang semuanya. Nama saya Anthony Wu, saya adalah direktur marketing yang baru. Saya nantikan kerja sama dengan kalian semua."
Pemuda itu memang tampan, dan segera bisik-bisik terdengar di antara karyawan perempuan yang bersemangat. Saat mendengar suaranya, Finland mengangkat wajah, karena ia merasa familiar dengan suara tersebut.
"Tony?" tanyanya heran. Suaranya terdengar cukup keras sehingga banyak orang menoleh ke arahnya. "Kau kembali ke Singapura?"
Anthony Wu menoleh ke arah Finland, dan begitu melihatnya, tampak segaris senyum di wajahnya.
"Ada adik kelas saya di NTU rupanya. Finland kau bekerja di sini?"
Finland mengangguk ragu-ragu. Tony dulu adalah kakak kelasnya di kampus. Orangnya baik dan selama beberapa tahun Finland sempat naksir pemuda ini, tetapi karena Tony sangat populer dan Finland selalu sibuk bekerja sambilan untuk membiayai hidup, ia hanya bisa mengagumi dari jauh dan menyimpan perasaannya dalam hati.
Tony melanjutkan S2 ke Amerika beberapa tahun lalu dan Finland tidak menyangka ternyata sekarang mereka kembali bertemu justru di perusahaan milik ayahnya. Tiba-tiba Finland merasa perutnya mulas. Apa alasannya nanti berhenti kerja kalau Tony menanyakan?
"Nanti kita ketemu di rapat departemen Marketing ya, untuk membahas acara penting bulan depan."
Meilin tampak memandang Finland dengan tajam. Setelah Tony turun dari panggung, ia menghampiri pemuda itu dan berbisik-bisik. Seketika perasaan Finland menjadi tidak enak.
Dugaannya terbukti ketika mengikuti rapat departemen setelah makan siang. Meilin datang bersama Tony dan mereka memperkenalkan diri sebagai sepupu. Bagaimanapun LTX adalah perusahaan keluarga dan Meilin mendapatkan pekerjaan di situ karena hubungan keluarga.
"Bagus sekali persiapannya" kata Tony saat mendengarkan presentasi dari para staf. "Terima kasih juga atas koneksi Finland kita bisa mendapatkan venue terbaik."
Ugh... hal itu lagi!
Finland diam-diam merutuk Meilin yang pasti sudah menyebarkan gosip itu kepada Tony.
"Aku dijanjikan bonus 800 dolar oleh Ms Fang, maka aku berusaha mendekati pemilik Hotel Continental supaya mengizinkan kita menggunakan venue-nya. Tujuanku hanya bonus kok," jawab Finland jujur. "Tapi aku senang kalau bisa membantu perusahaan."
"Baiklah, apa pun itu, aku sangat menghargai upaya kerja keras kalian semua," kata Tony kemudian. "Sesudah acara ini selesai, sudah ada 3 merek lagi yang ingin bekerja sama dengan kita. Aku ingin kalian mulai memikirkan bagaimana kita bisa mendapatkan hak distribusinya di Asia."
Semua mengangguk mengiyakan, dan rapat pun selesai.
"Finland, aku ingin kau ikut aku ketemu klien besok siang." kata Tony sebelum keluar dari ruang rapat. Semua tampak memandang Finland penuh pertanyaan. "Ini proyek kecil tapi penting buatku. Aku ingin orang yang punya latar belakang desainer untuk mengurusi proyek satu ini."
Finland mengangguk. Ia tidak dapat menebak apa kira-kira tujuan Tony mengajaknya bertemu klien besok. Apakah memang untuk urusan pekerjaan, atau ada motif lain.
[Ternyata Anthony Wu adalah anak CEO perusahaanku, dan dia baru pindah ke sini sebagai direktur marketing baru. Kau percaya tidak?]
Setelah pulang kerja, Finland segera laporan pada Jean.
[Anthony Wu yang jago basket itu? Yang pernah kau taksir bertahun-tahun, kan?]
[IYA. Sekarang dia jadi bosku.]
[Dia masih tampan atau sudah mengalami kebotakan dini seperti perkiraanku dulu?] tanya Jean usil.
[Hush... dia tambah tampan. Mukanya lebih dewasa dan tampak berwibawa.]
[Kau sekarang masih naksir?]
[Uhmm... sedikit.]
Finland tertawa sendiri. Dulu ia pernah mendengar selentingan dari kakak kelasnya bahwa Tony Wu menyukainya sejak mereka pertama bertemu. Beberapa kali pula ia melihat sikap Tony yang agak berbeda kepadanya. Itulah sebabnya Finland jadi memperhatikan pemuda itu dan kemudian menyukainya diam-diam.
Tetapi selama dua tahun kuliah di NTU Tony tidak pernah menunjukkan secara terbuka apakah ia memang menyukai Finland atau tidak - hingga ia akhirnya lulus dan melanjutkan S2 ke Amerika. Sampai kini Finland hanya bisa menduga-duga apa yang terjadi sebenarnya.
Mungkin dulu perbedaan status mereka terlalu besar sehingga Tony bahkan tidak mau mendekati Finland untuk pacaran.
Keesokan harinya Tony menyambangi Finland di mejanya dan mengingatkannya akan janji makan siang mereka untuk mengurus suatu proyek desain yang dianggapnya khusus.
"Kita naik mobilku saja. Kau bawa company profile dan laptop," kata Tony saat keduanya keluar gedung bersama. Finland mengangguk dan mengikuti di belakangnya. Mobil Range Rover Tony melaju ke tempat yang familiar bagi Finland dan ia merasa berdebar-debar saat turun dari mobil dan masuk ke lobi.
Ternyata mereka akan makan siang di Restoran utama Hotel Continental. Keduanya dipersilakan masuk seorang pelayan yang membawa mereka ke meja paling ujung di dekat taman dan air terjun mini.
Di sana duduk seorang gadis paling cantik yang pernah dilihat Finland. Rambutnya yang panjang berwarna platinum hampir membuatnya terlihat seperti peri, dan wajahnya yang cantik hanya dibalut makeup sangat tipis membuat kecantikan dari wajahnya yang sempurna semakin terpancar.
Gadis itu berdiri menyambut mereka dengan senyuman tipis.
"Selamat siang. Terima kasih sudah datang," katanya ramah.
Untuk sesaat Finland tak dapat berkata apa-apa. Kecantikan perempuan di depannya ini sungguh membuat orang sesaat menahan nafas.
Silakan duduk," Gadis itu menjabat tangan Finland dengan hangat, "Namaku Katia. Kau pasti... Finland?"
"Eh, iya..."
Dalam hati Finland mencoba mengingat-ingat di mana ia pernah mendengar nama Katia sebelumnya.
Setelah mereka semua duduk. Tony membahas proyek yang dimaksudnya.
"Katia ini seorang seniman, pelukis dan perupa. Ia ingin kita mengelola galerinya yang akan dipusatkan di Singapura. Aku ingin kau bantu pikirkan rencana terbaik untuk mewujudkannya," kata Tony kemudian. Finland membuat banyak catatan dan mengajukan pertanyaan-pertanyaan kepada Katia agar ia dapat memiliki gambaran untuk proposal nanti.
Satu jam kemudian, Katia pamit pulang dan barulah Finland bisa memesan makan siang dan mengisi perutnya yang kelaparan. Tony memandangi Finland yang makan dengan lahap dengan pandangan geli.
"Kau ini tidak berubah ya dari zaman kuliah..." katanya kemudian.
"Apanya yang tidak berubah?"
"Kau selalu bersemangat kalau ada makanan gratis."
Mendengar itu Finland tersipu malu, ia memukul bahu Tony karena sudah mengungkap rahasianya. Mereka lalu makan sambil tertawa-tawa.
Tony tiba-tiba menghentikan tawanya, dan menunjuk ke arah pintu masuk restoran. Finland ikut menoleh, dan ia seketika terdiam juga.
Caspar baru masuk ke dalam restoran dengan menggunakan piyama dan sandal rumahan. Ia menatap Finland dan Tony yang tadi tertawa-tawa dengan pandangan sukar ditebak.
"Orang itu kok masuk hotel pakai piyama?" tanya Tony sambil geleng-geleng, "Norak banget. Dipikirnya ini di rumah sendiri?"
Finland hendak mengoreksi Tony tetapi ia mengurungkan niatnya ketika menyadari wajah Caspar tampak sama sekali tidak suka melihatnya. Wajah pemuda itu cemberut dan ia keluar dari restoran.
Uhh... apa-apaan sih ini??
Seandainya kau tahu, Tony...
Seandainya kau tahu.. hahahaha.
...
PS: Teman-teman sudah membaca sejauh ini. Jangan lupa komen dan reviewnya, biar saya tahu pendapat kalian. Kalau ada yang perlu saya perbaiki, mohon beri tahu saya. Biar saya bisa menulis dengan lebih baik ^^.
...
Kalau suka dengan novel ini, jangan lupa kirim dukungan dengan pilih batu kuasa (vote power stone) biar rankingnya naik yaa.
...
Sekalian share juga ke pembaca yang lain, biar mereka bisa menikmati novel ini.
...
Salam sayang,
Vina