Mata Harry sibuk mencari boneka. Sudah hampir satu jam aku berdiri menemaninya mencari boneka yang cocok untuk hadiah ulang tahun temannya. Aku sudah memberikan beberapa pilihan boneka yang kuyakin akan disukai oleh temannya tapi Harry menolak. Ia bilang ia ingin memilih sendiri. Aku heran dengan anak-anak masa kini, apa dia udah mengerti urusan perasaan? Mengapa sepertinya Harry sangat teliti dan berhati-hati memilih kadonya. Tadi juga sebelum berangkat, Harry sibuk memintaku memilih pakaian terbaiknya. Ya Tuhan, umurnya belum genap 5 tahun! Otak siapa yang ia turuni? Kevin? Uh apa aku harus mencuci otak anakku sendiri agar sifat buruk Kevin tidak menurun pada Harry.
Aku melirik jam tanganku. 30 menit lagi acaranya akan dimulai dan Harry masih belum memilih satu boneka pun. "Harry, kauingin datang terlambat atau tidak? Sebentar lagi acara ulang tahunnya di mulai. Belum lagi membungkus kadonya, butuh waktu tidak sebentar," kataku. "tidak kah Harry kasihan pada mommy berdiri dari tadi?" bibirku tersenyum lembut.
Harry mendongak. "Harry pilih ini saja," Harry mengambil boneka panda yang ukurannya lebih besar dari tubuhnya, kepalanya ia miringkan untuk menatapku. "Maaf mommy, Harry membuat mommy lelah. Nanti sampai di rumah Harry janji akan memijatkan kaki mommy 5 menit."
Aku mengelus dada saat Harry mengambil boneka panda itu. Boneka itu sudah dua kali kutawarkan pada Harry dan Harry menolaknya, sekarang ia malah memilih boneka itu. Kenapa tidak dari tadi Harry sayang? Batinku. Aku pun mengambil boneka itu dari Harry dan mengandeng Harry ke kasir untuk membayar.
"Tapi mommy, 5 menit itu berapa jam?" tanya Harry.
Perempuan yang menjadi kasir tertawa kecil mendengar Harry. Aku juga ikut tertawa. Bagaimana bisa ia mengatakan 5 menit sedangkan Harry tidak tahu artinya? Aku menggeleng. "5 menit hitungannya di bawah setengah jam," jawabku asal. Aku sendiri bingung bagaimana cara menjelaskan pada Harry. "Nanti akan mommy ajarkan."
"Jadi 5 menit itu tidak lama kan? Harry sering mendengar kata 5 menit di film-film," ujarnya dengan tampang polos.
"Harry berniat memijitkan mommy hanya sebentar hum?" bibirku tidak bisa berhenti tersenyum.
"Maaf Mrs, boneka ini ingin diselipkan kartu ucapan?" tawar perempuan itu dengan senyuman ramahnya.
Aku mengalihkan pandanganku padanya dan membalas senyumannya. "Ya. Tolong tulis 'selamat ulang tahun Jessie. Semoga Jessie menyukai boneka ini' pengirim Harry."
"Harrynya pakai tanda hati ya Tante!" seru Harry.
"Tau apa Harry soal tanda Hati? Harry masih kecil," sanggahku.
Harry tersipu malu dan pipinya memerah.
"Terima kasih," ujarku pada sang kasir. "Ayo Harry sayang." aku menggenggam Harry lalu menuju tempat pestanya yang berada di lantai tiga.
Pesta untuk ukuran anak berumur 5 tahun sangat tidak bisa kuduga. Dekorasinya sangat mewah dan aku yakin tidak sedikit uang yang di keluarkan untuk pesta ulang tahun macam ini. Aku tahu orang tua rela melakukan apa pun untuk anaknya, tapi untuk mengadakan pesta semewah ini bukankah akan membuat anaknya manja? Harry langsung bergabung dengan gerombolan teman-teman sebayanya, sedangkan aku bergabung dengan para ibu dari anak-anak yang hadir.
Wajahku memerah saat aku melihat Harry mencium pipi Jesie dan teman-temannya bersorak-mendukung mereka. Beruntung hanya pipi, beruntung. Jika di bibir... aku akan langsung menarik Harry dan membawanya pulang. Sekali lagi, umurnya belum genap 5 tahun! Aku tidak ingin anakku mempunyai pergaulan yang tidak sesuai dengan umurnya.
Aku mengambil sirup merah yang di bawa oleh pelayan. Dalam satu tegukan berhasil kuhabiskan. Tenggorakanku rasanya begitu kering melihat kejadian tadi.
"Mrs. Sanders?"
Dahiku mengerut saat suara berat itu berada di depanku. Aku tidak mengenalinya sama sekali.
"Oh kenalkan, saya Edgar. Pria yang memohon pada Anda dulu di kantor Pak Kevin. Mungkin Anda lupa." ia mengulurkan tangannya untuk berjabat tangan.
Kuterima jabatan itu lalu tersenyum. Aku baru ingat bahwa pria paruh baya ini pernah dihajar oleh Kevin dan pernah memohon padaku untuk menyalamatkan keluarganya. Aku jadi penasaran bagaimana keadaan keluarganya setelah kejadian itu. "Oh maaf, aku baru ingat. Anda di sini menemani anak Anda?"
Pria itu yang bernama Edgar mengangguk. "Terima kasih. Jika tidak ada Anda, saya tidak tahu bagaimana keadaan istri dan anak saya."
Sebenarnya aku tidak melakukan apa pun. Kalian ingat saat kejadian itu? Aku menasehati Kevin dan sepanjang itu Kevin mengatakan 'bukan urusanmu' dengan nada membentak. "Saya senang keluarga Anda baik-baik saja. Omong-omong sekarang di mana Anda bekerja jika saya boleh tahu?" tanyaku ramah.
"Saya masih bekerja di perusahaan Pak Kevin. Dia memberi kesempatan pada saya," bibirnya tersenyum lebar.
Hatiku sangat lega mendengarnya. Aku pikir Kevin akan menendang jauh-jauh pria ini.
"Kalau begitu saya pergi dulu," pamitnya.
DUAR!!
Suara tembakan menggema di ruangan ini. Orang-orang berteriak dan berlari kesana kemari. Pikiranku langsung melayang pada Harry.
"Harry!" teriakku sambil berlari, tidak peduli dengan orang-orang yang kutabrak. Suasana pesta yang tadi menyenangkan berubah menjadi mengerikan. Aku terus berlari mencari keberadaan Harry. "Harry!"
Ya Tuhan, di mana Harry-ku? Aku tidak ingin ia kenapa-kenapa. Ah. Aku memegangi perutku yang terasa sakit. Tidak, tidak. Aku harus mencari Harry terlebih dulu. Sabar Nak, kita cari kakakmu, ujarku dalam hati pada bayiku. Aku terus melangkah mencari Harry di berbagai sudut.
DUAR!!
Suara tembakan kedua kembali kudengar. Aku tidak melihat siapa yang menembak dan ditembak. Yang kudengar hanya teriakan orang-orang dan suara kaca pecah. Perutku semakin sakit saat aku memaksakan untuk berlari.
"Nyonya keluar lah dari sini." tiba-tiba Pria berpostur tubuh besar menghampiriku. Aku tidak tahu siapa dia.
"Aku harus cari anakku dulu!" teriakku panik.
"Mommy!"
Aku langsung mencari keberadaan suara itu. Harry sedang mengumpat di bawah meja. Aku bersyukur Harry tidak apa-apa. Kupeluk tubuh Harry kuat-kuat. "Harry tidak terluka kan sayang?" tanyaku kepanikan.
DUAR!!
Hanya ada suara tembakan. Tidak ada lagi suara teriakan orang-orang karena tempat ini sudah kosong.
"Nyonya, ayo. Kita harus segera pergi." pria itu langsung menggendong Harry dan menghalauku untuk keluar dari tempat ini. Kini ada dua pria yang posturnya tegap membantuku.
Saat aku keluar dari gedung-mall, aku menemukan banyak mobil polisi dan jajaran-jajarannya. Aku berdiri di depan mobilku. Pikiranku masih melekat pada kejadian tadi. Sebenarnya apa yang terjadi?
"Nyonya baik-baik saja?" tanya pria yang tadi melindingiku dan Harry.
Aku mengangguk.
Harry memeluk kakiku. Ia juga sepertinya masih takut dengan kejadian tadi. Aku berjongkok, memeluk Harry agar ia tidak terlalu takut. "Harry, tidak apa sayang."
Harry melepas pelukanku. "Tadi itu suara apa sih mommy? Kok seperti tembak-tembakan di game Harry?"
Dalam keadaan seperti ini, Harry masih saja sempat bertanya.
"Oh ya mommy, tadi kaki Harry diinjak-injak sama orang. Sakit mommy, huahhhhh," Harry mulai manangis.
Keringat dingin bercucuran dari tubuhku. Aku merasakan kepalaku sedang dihantam keras dan perutku kembali sakit. Tubuhku melemas dan gontai. Aku tidak bisa menahan berat tubuhku lagi.
"Mommy, mommy!"
"Nyonya...nyonya...."
Perlahan suara itu menjadi pelan dan hilang. Pandanganku menjadi kabur dan gelap. Tubuhku jatuh.
*****
"Daddy, mengapa mommy belum bangun-bangun?" terdengar suara isakkan yang cukup kuat.
"Sabar Harry. Mommy masih perlu istirahat. Harry jangan berisik."
"Daddy, mommy tidak akan meninggalkan Harry lagi kan daddy? huahh."
Aku bisa mendengarnya namun aku tidak bisa membuka mataku. Rasanya tubuhku terlalu lemah hanya untuk membuka mata saja. Perlahan kubuka mataku meskipun sulit. Penglihatan pertama masih kabur, tidak terlalu jelas tapi lama kelamaan pandanganku menjadi normal. Aku memiringkan kepalaku, kulihat Harry sedang menangis di gendongan Kevin dan Kevin sibuk menenangkan Harry.
"Mommy!" pekik Harry.
Aku tersenyum lemah. Mereka menghampiriku dan duduk di sisi ranjang sebelahku. Harry langsung memelukku dan menghentikkan tangisannya. Wajahnya lengket karena habis menangis.
Aku teringat kejadian sebelum pingsan. Perutku saat itu merasakan kesakitan. "Kandunganku?" tanyaku lemah.
"Dia baik-baik saja Luna. Kau hanya perlu istirahat," katanya lembut sambil mengelus punggung tanganku.
Aku menghela panjang karena merasa lega. Kevin beranjak dari duduknya meninggalkan kamar dan kembali dalam keadaan membawa nampan berisi makanan.
"Mommy masakan daddy tidak enak. Tadi Harry menjadi korban masakan daddy," cela Harry. Harry bergelayut manja di sampingku sementara Kevin duduk di sisi ranjang berlawanan dengan Harry, membantuku untuk duduk.
"Ini masakan kita berdua jagoan. Harry lupa tadi memaksa untuk membantu daddy? Jika Harry tidak mengacaukan daddy, masakan ini rasanya tidak akan terlalu buruk," bela Kevin.
"Harry hanya membantu doa daddy! Tidak mungkin doa Harry membuat masakan daddy tidak enak," Harry tidak mau kalah dengan daddynya.
Kurasa mereka akan melupakan aku di sini dan mereka akan mulai bertengkar. Ya ampun, aku ingin sekali tertawa dan memarahi Kevin. Mengapa Kevin tidak mau mengalah dengan anaknya sendiri? Akui saja jika masakannya tidak enak. Melihat mereka aku merasa tubuhku seperti diberi energi.
"Lalu apa yang tadi Harry masukan hingga masakan daddy jadi asin?" Kevin memandang Harry dengan geram.
"Harry tidak tahu daddy. Mengapa daddy malah menyalahkan Harry? Harry masih kecil dan polos," tuturnya dengan wajah lugu yang membuatku ingin tertawa.
Kevin mengacak rambutnya kasar. Ia terlihat geram dengan Harry.
Aku berdeham menghentikan pertengkaran mereka. "Aku baru saja bangun dan kalian mengabaikanku?"
"Daddy yang mulai, mommy," tuduh Harry.
Kevin hendak membuka mulut untuk protes, namun aku segara melototinya memberi aba-aba untuk mengalah. Wajahnya kecewa saat aku memperingatinya berbanding terbalik dengan Harry yang sedang tersenyum puas.
Kevin mulai menyuapiku.
"Kau yakin ingin memberiku makanan itu?"
Kevin melotot, ia mendesah frustrasi. "Sekarang kau yang mulai mencela masakanku. Jadi kauingin makan apa? Biar aku belikan."
"Durian," jawabku cepat.
"Luna!" bentaknya.
Aku terkesiap. "Bercanda Kevin. Aku ingin mencicipi masakanmu saja." Kevin pun menyuapiku. Rasanya tidak terlalu buruk, hanya saja sedikit asin dan pedas. Mungkin Kevin terlalu banyak memasukan lada. Well, wajar saja. Aku tidak pernah melihat Kevin memasak, ini yang pertama kalinya. Oh betapa beruntungnya aku memiliki Kevin, sosok yang selalu melimpahkan kasih sayangnya.
"Lumayan," pujiku.
"Ya lumayan, belum mendekati enak," terangnya secara jujur.
Aku tertawa kecil. Sesuai janji Harry di siang tadi, Harry memijat kakiku. Belum sempat satu menit, Harry sudah mengeluh kelelahan. Lalu Kevin menawarkan dirinya untuk memijat kakiku yang sebenarnya tidak terasa sakit. Sekarang kedua kakiku dipijat oleh dua pria tampan. Pijatan Harry memang tidak ada rasanya, ia hanya memijat asal. Maklumi saja bagaimana anak kecil jika sedang memijat.
"Daddy tadi kakiku diinjak-injak sama orang-orang," ungkap Harry memasang wajah sedih, kakinya ia rentangkan ke arah Kevin dan menunjukkan bagian yang sakit. "Pijatkan, daddy."
"Anak kecil tidak boleh memerintah orang tua," imbuh Kevin. Tangannya masih memijat kakiku yang sedang berada dipangkuannya. Ia memberi tatapan tegas pada Harry dan langsung membuat Harry tidak bisa berkutik. Berada di dekat mereka rasanya tidak bisa untuk tidak tersenyum atau tertawa.
Kesal dengan sikap Kevin, Harry memandangku dan mengabaikan Kevin. Ia berbaring di sebelahku. Tangan kecilnya mengelus perutku. "Mommy, adik Harry tidak apa kan?"
"Kenapa Harry baru bertanya sekarang?" gerutu Kevin.
Harry mengerucutkan bibirnya, ia mulai kesal dengan sikap Kevin. "Mommy, daddy terus saja mengganggu Harry," adunya dengan nada yang sedikit membentak.
Aku menggeleng kepala. "Berhentilah bertengkar. Mommy sedikit pusing mendengar kalian tidak bisa berhenti dari tadi," tuturku sambil memijat-mijat pelipisku yang terasa pusing.
Harry pun bungkam, kalau aku sudah begini ia mengerti bahwa ia benar-benar harus diam. Anak pintar, batinku. Suasana menjadi hening. Kami seperti larut dalam pikiran masing-masing. Kejadian sore tadi membuatku heran, tentang penembakan di pesta ulang tahun anak kecil. Bukankah pengawasan di mall itu cukup ketat? Bagaimana bisa para penjaga membiarkan seseorang membawa pistol ke dalam mall? Ah kupikirkan nanti. Mungkin Kevin tahu. Dia kan pria yang tahu segalanya.
"Mommy, Harry tidur di sini ya? Boleh ya? Please mommy," mohonnya sambil mengedip-ngedipkan matanya. Tangannya yang mungil masih memelukku.
Aku mencium kening Harry. "Yasudah. Tidur sekarang kalau begitu."
"Luna." nada Kevin memprotesku yang mengijinkan Harry tidur di kamar kami.
"Daddy jangan pelit!" bentak Harry. Ia semakin mempererat pelukannya padaku dengan manja.
Kevin hanya bisa pasrah. Kevin setiap hari selalu menolak permintaan Harry yang ingin tidur bersama. Kevin takut Harry akan terbiasa jika dituruti. Aku mengerti itu. Tapi hanya sesekali menurutku tidak apa kan?
"Selamat tidur mommy. Harry sayang mommy," ujarnya kemudian mencium pipiku. Harry tidur membelakangi Kevin.
"Jadi Harry tidak sayang daddy?" goda Kevin.
Harry mendesah. "Ya Harry juga sayang daddy. Selamat tidur daddy," tuturnya dengan nada terpaksa.
Kepalaku masih terasa pusing dan jujur saja telingaku masih me-reka ulang suara tembakan di mall itu.
*****
Aku terbangun mendapatkan mimpi buruk di tengah malam. Tidak biasanya aku sampai segelisah ini jika mendapatkan mimpi buruk. Mimpi itu terasa nyata bagiku. Mimpi tentang Harry dan Kevin yang meninggalkanku sendirian. Aku memutuskan untuk duduk di teras belakang, mencari angin segar untuk menenangkan pikiranku. Mimpi itu seperti sebuah firasat buruk. Ya Tuhan semoga tidak terjadi apa pun pada keluargaku. Semoga itu hanya mimpi dan bukan pertanda buruk, kataku menyemangati diriku sendiri.
Angin malam berhembus kencang diikuti datangnya rintik-rintik hujan membuat malam semakin dingin. Pori-pori kulitku terbuka lebar merasakan dingin yang teramat dalam. Angin seolah-olah sedang memberi peringatan padaku dengan hembusannya, peringatan yang tidak dapat kumengerti. Sebenarnya apa yang ada di benakku? Mengapa aku merasa begitu kalut seperti ini? Dan kenapa dadaku terasa nyeri?
Aku membelai perutku. Bergumam tidak jelas pada bayiku. Semoga suara tembakan tadi tidak berpengaruh pada janinku. Kurasakan ada selimut yang menyelimuti tubuhku yang terasa dingin. Aku terkesiap, lamunanku berhamburan.
"Jika aku menyuruhmu masuk, kau pasti menolak," simpul Kevin lalu mengambil duduk di sebelahku.
Aku tersenyum kecil lalu kembali menatap lurus ke arah danau buatan. Aku sebenarnya tidak tahu apa yang kutatap. Aku merasa hanya ada hamparan kosong yang menyesakkan dada. Apa ini efek dari kejadian tadi sore selain tentang mimpi burukku?
"Kevin...kau tahu sesuatu tentang tembakan di mall tadi?" tanyaku pelan tanpa menoleh padanya.
Kevin tidak langsung menjawabnya. Aku tidak tahu ia sedang berpikir bagaimana cara menyampaikannya atau dia memang sama sekali tidak tahu mengenai tembakkan itu. Tapi kurasa ia tahu. Aku diam menunggu jawabannya yang tidak kunjung ia katakan. Apa sesulit itu untuk menjawabnya? Aku pun menoleh padanya, memaksanya untuk memberi tahu apa yang ia tahu.
"Tembakan itu tertuju pada orang tua pemilik pesta itu. Dengan dalih dendam," jawabnya pada akhirnya.
Aku mengerutkan dahi. Hanya menjawab sebatas itu mengapa butuh waktu yang lama menjawabnya? Kevin tidak sedang menyembunyikan sesuatu padaku kan? Jika ya, aku tidak menginginkan itu. Rahasia akan membuat kita menjadi salah paham, persis kesalah pahamanku pada Kevin dulu yang menyisakan banyak luka. Aku mempererat lilitan selimutku, menatapnya seolah mencari kebenaran di matanya.
"Aku tidak berbohong Luna. Jika kau tidak percaya, tanya saja pada polisi atau tonton acara berita," paparnya.
Baiklah. Aku percaya dan itu sedikit membuat rasa khawatirku hilang. Hanya saja aku harus membuang pikiranku jauh-jauh tentang mimpi burukku. Hanya mimpi Luna, hanya mimpi.
"Tapi Luna, dari kejadian itu, aku tidak akan membiarkanmu keluar tanpa pengawasan. Aku tidak mau terjadi apa-apa. Jika kau ingin pergi kemana pun itu, orangku harus bersamamu," lanjutnya.
Aku hanya bisa mengiyakan. Terkadang sifat over protective Kevin membuatku jengkel dan terkadang juga membuatku nyaman. Bukankah setiap aku pergi selalu ada yang menguntitku diam-diam? Termasuk kedua orang yang tadi sore membantuku. Aku tahu mereka adalah orang suruhan Kevin. Lalu untuk apa lagi Kevin bicara seperti tadi?
"Aku heran pada Harry. Mengapa ia tidak merasa takut tentang kejadian tadi sore?" tanyaku terheran-heran. Harry malah membicarakan vidio gamenya saat itu.
Kevin menggidikan bahunya seraya tersenyum lembut. "Mungkin itu bukan hal yang menakutkan baginya."
Aku menggeleng. "Lalu apa yang menakutkan bagi dirinya?"
Kevin diam. Pikirannya seperti sedang berkelana pada memori yang ingin ia ingat. "Kehilangan mommynya. Itu yang paling Harry takutkan. Kautahu Luna? Selama kau pingsan tadi, Harry tidak bisa berhenti menangis. Dia bilang tidak ingin jauh dari mommynya lagi...,"
Hatiku seperti disayat mendengarnya. Aku juga tidak ingin kehilangan anakku yang baru kutemui beberapa bulan yang lalu. Aku ingin menebus semuanya dengan terus berada di samping Harry.
"Tapi anehnya saat kau sadar, ia berprilaku seperti tidak ada yang terjadi," lanjutnya, tersenyum pada dirinya sendiri.
Aku tersenyum hangat. Siapa saja pasti akan gemas melihat tingkah Harry yang sifatnya masih terlalu polos dan juga suka bertanya seenak hatinya. Ah andai dulu aku tidak pernah melewati masa pertumbuhan saat ia balita.