Aku langsung memilih tidur sesampai di rumah. Selama perjalanan pulangku tadi, aku hanya mendiamkan Kevin. Aku benar-benar tidak menyangka Kevin akan tega mengungkit ingatanku yang benar-benar tidak bisa kuingat sama sekali. Diam adalah hal terbaik daripada aku harus bertengkar dengan Kevin.
Kumatikan lampu tidur kamar lalu kutarik selimutku sampai ke dada. Air mata mengalir begitu saja.
"Luna maafkan aku. Aku tidak bermaksud bicara seperti itu," sesalnya.
Aku tidak mengubrisnya.
Kurasakan Kevin duduk di tepi ranjang tepat di sebelahku. Tangannya mengambil tanganku lalu diremasnya lembut. "Luna aku menyesal," lirihnya.
Kutarik tanganku darinya. Kubuka mataku dan menatapnya dalam gelap. Menyesal? Apa saat ia mengatakannya ia tidak langsung merasa menyesal?
"Ucapanmu memang benar Kevin. Seharusnya aku bisa mengingat masa lalu kita di bandingkan masa laluku dengan Aldrich," suaraku nyaris seperti isakkan.
"Tidak. Bukan itu maksudku. Tadi aku cemburu melihat kau bersama mantanmu itu. Aku tidak bisa menahan diri. Maafkan aku sayang."
Aku mengerti Kevin cemburu. Hanya saja aku masih jengkel dengan perkataannya itu.
"Kevin, lebih baik kau tidak bicara padaku saat ini. Aku lelah. Jangan ganggu aku," kataku sambil menyeka air mataku.
"Baiklah. Selamat tidur." sebuah kecupan mendarat di keningku. Kecupan selamat malam seperti biasanya.
Aku menghela berat. Mataku berusaha terpejam agar cepat bisa tidur. Aku tidak ingin malam ini menjadi malam yang panjang. Cepatlah berlalu, cepatlah berlalu, gumamku. Aku merasakan Kevin bergerak di sampingku. Tangannya seperti biasanya mendekapku dan menyapa bayi dalam kandunganku.
"Maafkan aku," gumamnya pelan, mengendus-endus aroma leherku.
Permintaan maafnya itu menjadi kata terakhir yang kudengar sebelum aku benar-benar terlelap.
Pagi harinya aku bangun lebih awal dari biasanya. Tangan Kevin masih mendekapku, dan ia masih terlelap. Mau tidur dengan model apa pun, tidak bisa kupungkiri Kevin tetap tampan.
Hari ini adalah jadwal check up-ku dengan dokter kandunganku. Aku menyingkirkan tangan Kevin dari perutku. Segera kubersihkan diriku setelah itu membuat sarapan. Saat sarapan tak ada sepatah kata pun yang keluar dari mulutku. Aku malas berbicara terutama bicara pada Kevin. Harry seperti biasa, bicara dengan penuh semangat. Ia menceritakan kejadian semalam berulang-ulang kali.
"Hari ini dokter Chyntia sedang ada di L.A jadi periksanya menunggu dia pulang saja ya?" tawar Kevin dengan nada yang begitu lembut.
Aku menatap piringku tanpa memandanginya. "Ada dokter Cameron. Aku akan diperiksa olehnya saja," kataku dingin.
"Tidak bisa. Harus dokter Chyntia yang memeriksa kandunganmu. Besok dia akan kembali."
"Tidak mau. Aku ingin periksa kandunganku hari ini," suaraku nyaris terdengar membentak.
Kevin meletakkan garpu dan sendoknya. Ia menghembus pelan. "Luna jangan balas dendam padaku dengan cara seperti ini. Aku bilang besok, ok?"
"Aku bilang tidak mau Kevin. Aku ingin hari ini," kataku menekan setiap katanya. Aku sadar aku sedang keras kepala. Entah kenapa aku memaksa untuk periksa hari ini.
Kevin menghela berat. Dengan terpaksa ia menuruti kemauanku meskipun aku tahu dalam lubuk hatinya ia tidak rela aku diperiksa oleh dokter kandungan laki-laki. Kevin pun mengantarku ke Rumah Sakit bersama Harry.
"Mommy bayinya mau keluar ya?" tanya Harry sepanjang jalan. Di antara kami, Harry lah yang paling antusias menunggu kelahiran adiknya.
"Belum sayang. Nanti sekitar 5 bulan lagi," terangku.
"Memangnya bayinya tidak bisa keluar sekarang?" wajahnya penuh kekecewaan.
"Belum bisa. Bentuk bayinya bahkan belum sempurna di perut mommy. Kau sabar saja Harry," aku menarik hidungnya kemudian kembali berjalan lagi.
Dokter Cameron sudah berada di ruangannya. Ia tersenyum padaku kemudian ia langsung memeriksaku tanpa membuang banyak waktu.
"Dokter dokter! Apa bayi mommy perempuan atau laki-laki?" tanya Harry setelah dokter Cam mengukur diameter perutku. Harry terus memperhatikan apa yang dokter Cam lakukan padaku. Wajah Harry begitu berseri-seri sedangkan Kevin sedari tadi hanya diam memperhatikanku. Tatapannya membunuh. Aku khawatir ia akan memarahiku setelah sampai rumah nanti.
"Sebentar lagi kita akan tahu adik Harry perempuan atau laki-laki," jawab dokter Cam dengan santai.
Setelah semua selesai, terakhir yang kulakukan adalah menimbang berat badanku sesuai intruksi dokter Cam. Wajahku memucat saat melihat angka berat bedanku naik 2 kg. Aku bertambah gemuk. Ya ampun!
"Nyonya Sanders, apa Anda sering melakukan aktifitas berlebihan? Atau selama kehamilan Anda kurang makan?" tanya dokter Cam.
Aku duduk di kursi pasien yang di batasi meja dokter Cam, Kevin di sebelahku memangku Harry. "Tidak."
"Begitu? Coba kurangi kegiatan Anda dan jaga asupan makanan Anda. Berat badan anda seharusnya naik 4 kg," tuturnya.
Naik 2 kg sudah melebihi berat seharusnya. Dan 4 kg? Aku tidak ingin badanku terlihat seperti daging gelondongan!
"Aku akan lebih memperhatikannya lagi. Istriku memang belakangan ini melakukan aktifitas berlebih," sambung Kevin datar.
Dokter Cam hanya membalas dengan senyuman, lalu Dokter Cam memberi hasil USG yang baru saja keluar. Ia mengatakan anak yang ada di rahimku adalah perempuan.
Aku memiringkan wajahku pada satu sisi. Kenapa Kevin memasang wajah tanpa ekspresi seperti itu? Gerutuku. Tampangnya membuat dokter Cam tidak nyaman.
Setelah selesai dengan aktifitas check up-ku, Kevin mengantarku dan Harry pulang. Sesampai di rumah Harry langsung menuju kamar mandi karena ia dari tadi sudah ingin buang air kecil. Aku yang hendak masuk ke dalam rumah di tahan oleh tangan kekar Kevin.
"Luna kau masih marah perihal kemarin?"
"Menurutmu?" tanyaku sarkastik.
Kevin mendesah. "Sayang, aku menyesal," ujarnya lemah sambil memasang ekspresi sedih. Aku tidak tega jika Kevin sudah memohon seperti itu. Toh yang terpenting Kevin menyesal kan?
"Kevin aku sebenarnya sedih saat kau bicara seperti itu. Aku juga tidak mau melupakan tentang masa lalu kita tapi aku bisa apa? Aku juga sedih mengenai Harry, empat tahun aku melewati masa-masa pentingnya, bahkan saat aku melahirkan Harry saja aku tidak ingat!" air mata tanpa disadari mengalir membasahi pipiku.
Kevin menarikku mendekat dalam pelukannya, membenamkan wajahku pada dada bidangnya. Ia mengusap puncak kepalaku. "Maafkan aku," lirihnya.
Aku mengusap wajahku untuk menghapus air mataku di kemeja kerjanya yang sudah mulai basah karenaku. Aku mengangguk lalu mendongak padanya, menatap matanya dalam-dalam. Lalu aku sedikit menjijit untuk meraih bibirnya dalam jangkauan bibirku. Kurasakan bibirnya sedang tersenyum saat kukecup dia. "Bajumu basah karenaku," kataku menyengir tanpa merasa bersalah.
"Akan kubuat bagian bawahmu juga basah nanti malam," bisiknya sensual tepat di bibirku.
Wajahku merona saat Kevin mengatakan hal seperti itu. "Kukira pikiran mesummu sudah hilang dari otakmu."
"Sulit hilang jika bersamamu," bibirnya tersenyum di bibirku, "jadi kau mau memaafkanku?" tanyanya lembut.
Aku mengangguk.
"Wih daddy dan mommy sedang apa?" Harry datang dan langsung menyelip di antara kami. Menjadi pembatas antara pelukanku dengan Kevin.
Kevin memberi jarak antara kami. Ia berjongkok menghadap Harry. "Urusan orang dewasa." tangannya mengacak rambut Harry, "baiklah jagoan, daddy harus ke kantor."
"Baiklah daddy. Cepat pulang, habis itu kita main monopoli lagi!" sudut bibir Harry membuat garis lengkung ke atas.
"Oh ya Kevin. Aku dan Harry akan pergi ke mall untuk menghadiri acara ulang tahun temannya."
"Tidak masalah. Asalkan ponselmu selalu aktif."
*****
Kevin's POV
Kevin menghela lega saat selesai menandatangani berkas-berkas yang hampir terbengkalai. Beberapa hari ini jiwanya tidak ada di kantornya, hanya raganya. Apalagi semenjak kedatangan mantan kekasih Luna dua hari yang lalu, itu membuat pikirannya tidak karuan. Yang Kevin permasalahkan bukan tentang perasaan antara Adam dan istrinya, melainkan perkataannya mengenai hal yang Kevin takutkan belakangan ini. Ia khawatir apa yang ditakutkan akan benar-benar terjadi. Kevin memijat pelipisnya yang terasa sakit akibat beban pikirannya.
"Aku sangat terkejut Adam Roig berani menemuimu. Mengapa aku tidak melihat wajahmu memar? Padahal aku berharap saat menemuimu melihat wajah memarmu." Zak duduk di sofa yang berada di depan samping meja kerjaku. Punggungnya ia rebahkan pada sandaran sofa.
"Tadinya aku memang ingin menghajarnya. Tapi aku bukan anak remaja lagi. Sebagai pria harus memakai akal daripada otot," jelasnya. Jari-jari kirinya Kevin tautkan dengan jari-jari kanannya. Kevin menatap lurus pada Zak sambil menggerakkan kursi kerjanya ke kanan-kiri.
"Lalu apa tujuannya datang padamu? Meminta Luna?"
Detik itu mata Kevin langsung memberikan tatapan membunuh padanya. Zak lama-lama kurang ajar, suka sekali memancing emosi Kevin. "Kau akan terkejut jika tahu apa yang dia katakan padaku," kata Kevin datar. Kakinya memutar kursinya menghadap jendela raksasa yang memamerkan pemandangan gedung-gedung pencakar langit.
Zak mendesak Kevin untuk menceritakannya dan Kevin menjelaskan padanya dengan suka rela. Sudah Kevin duga, mulut Zak pasti menganga.
"Kau bercanda?" dia berusaha meyakinkan apa yang baru Kevin ceritakan. "Aku terkejut sekaligus merasa bodoh. Maksudku aku sudah mencari informasi tentangnya sangat detail tapi mengenai itu aku sama sekali tidak tahu."
"Kau tidak sebodoh itu. Kurasa dia memang sudah merencanakannya sejak awal. Orang itu sangat licik dariku. Kasus Joe, penculikkan Luna, dan kepindahan Adam kemari," kata Kevin, membayangkan kejadian lampau dan kemungkinan yang akan terjadi.
"Aku tidak tahu seberapa buruk dia. Tapi mendengar ceritamu tentang kematian istri dan anak Joe karenanya, itu sudah menjadi bukti kalau dia raja iblis dari iblis. Aku jadi khawatir dengan niat tersembunyinya. Apalagi dia membencimu."
Kevin pikir kejadian tempo dulu adalah akhir dari kebenciannya. Ternyata salah besar. Orang itu masih menginginkan semua yang berhubungan dengan Kevin. Seharusnya dulu saat Kevin mempunyai kesempatan untuk melenyapkannya, Kevin tidak menyia-nyiakan itu. Sekarang kejadian buruk yang tidak tahu kapan akan terjadi pasti terjadi. Kevin menghela frustrasi. "Dia tidak akan berhenti sampai mendapatkan apa yang diinginkannya," Kevin mengusap wajahnya kasar.
"Sebejat apa pun pasti ada titik kelemahannya. Sama sepertimu. Aku pikir kau orang yang paling bejat tapi ternyata dialah yang terbejat. Kau juga harus berhati-hati dengan Adam. Aku mencurigainya meskipun ia memberitahumu tentang niat jahat si bejat itu. Yang terlihat baik belum tentu baik. Aku akan mengawasi gerak-gerik mereka," ungkap Zak.
Kevin memandang ke luar jendela, memandang langit yang bergemuruh. Ia tidak hanya memandang langit, ia juga berdoa berharap semuanya akan baik-baik saja. Kevin ragu jika si bejat itu memiliki titik kelemahan. Kevin harus membunuhnya terlebih dulu sebelum si bejat sempat melakukan hal buruk, sumpahnya pada langit.
Suara pintu diketuk-ketuk. Kevin berteriak dari dalam mempersilakan si pengetuk pintu itu masuk.
"Maaf Pak, Joe Hall ingin bertemu," ucap Kate tanpa basa-basi. Tidak lama Joe masuk ke dalam ruangan Kevin.
Zak terbatuk-batuk melihat Joe. Bebasnya Joe lebih cepat beberapa hari sebelum waktunya karena Kevin yang memintanya. Kevin membutuhkannya meski pun jauh di lubuk hati Kevin, Kevin masih kesal dengan Joe. Tanpa membuang waktu, Joe duduk di hadapan Kevin yang di batasi meja.
"Kau melakukan dua kesalahan besar," papar Kevin tanpa ingin basa-basi. "Pertama, keberadaan Luna kau sembunyikan dariku tapi itu sudah kumaafkan. Kedua, kau tahu siapa yang menjebakmu tapi kau tidak memberitahuku dan parahnya lagi orang itu terobsesi pada Luna. Kau tahu apa yang akan terjadi jika sudah seperti ini?"
"Dia tidak akan berhenti," jawabnya. "tapi selama Luna bersamamu dia tidak akan berani."
Kevin menggertakkan giginya. "Kau salah. Dia akan semakin berani. Sama dengan apa yang dia lakukan pada Jane anakmu. Saat itu aku memiliki hubungan khusus dengan anakmu Pak tua. Makanya dia terobsesi dengan anakmu. Apa yang kumiliki, ia ingin merebutnya," dan membuatku hancur, lanjut Kevin dalam hati.
Mata Kevin memperhatikan bibir Joe yang sedikit terbuka mengartikan keterkejutannya. Kevin tidak peduli jika Pak tua ini marah dengannya. Dulu Kevin memang mempunyai hubungan khusus dengan anaknya tapi dua hari sebelum kematiannya, Kevin sudah mengakhiri hubungan khusus itu bermaksud mengalah pada si bejat. Namun yang terjadi sungguh di luar dugaan, Jane ditemukan tewas secara mengenaskan. Wajahnya hancur sampai tidak ada yang bisa mengenalinya lagi.
"Dia psikopat." hanya itu yang keluar dari mulut Joe.
Kevin tidak tahu seberapa sakit hati Pak tua yang duduk di depannya ini. Yang jelas sampai sekarang luka dulu masih tertanam, luka kematian istri dan anaknya.
Sebenarnya Joe adalah orang kepercayaan ayah Kevin, James. Tapi saat Kevin berusia 14 tahun, James menyuruh Joe untuk menjaga Kevin karena ayah kandung Kevin sangat menginginkan kematian Kevin untuk mendapatkan Andrea kembali. Syukurnya dia tidak dapat berbuat apa-apa, sebab James lah yang lebih berkuasa.
Joe merogoh saku jasnya. Ia mengeluarkan beberapa foto lalu menyodorkannya pada Kevin.
Kevin mengamati seseorang yang berada di dalam foto itu. Ia membelalak saat mengatahui siapa sosok di dalam foto itu.
"I-ini dia?" tanya Kevin tak percaya. Matanya masih memandang pada sosok di foto itu.