webnovel

Hati Tersembunyi

Aku sedang berada di kampus menyerahkan tugas terakhirku dan tinggal menunggu jadwal sidang. Sudah lama aku tidak bertemu dengan teman-teman kampusku tapi sepertinya saat aku datang mereka telah menghilang. Jelas saja mereka semua hilang. Maksudku mereka sudah menyelesaikan kuliah mereka. Hanya aku yang tertinggal paling belakang. Aku bisa saja lulus lebih cepat, tapi aku lebih memikirkan mengurus keluargaku. Mereka nomor satu di hidupku, setelah itu baru tentang kuliahku. Setelah aku selesai menyerahkan tugasnya, aku memutuskan pergi ke kafe dekat sekolah Harry untuk sedikit bersantai sambil menunggu Harry pulang. Masih terlalu pagi memang. Jadwal Harry pulang sekitar 2 jam lagi.

Aku memesan segelas teh hijau kesukaanku untuk menemaniku. Kurasakan ada tangan yang menepuk bahuku. Kepalaku refleks menoleh pada pemilik tangan itu. Senyumku sedikit memudar saat mataku bertemu dengan pria yang tidak asing lagi di kehidupanku. Tidak kusangka kami bertemu di sini. Apa ini sebuah kebetulan? Jujur saja, aku tidak mempercayai yang namanya kebetulan di dunia ini.

"Boleh aku duduk?"

Aku mengangguk sambil tersenyum ragu. Yang kukhawatirkan adalah Kevin. Aku takut Kevin berpikiran yang tidak-tidak, padahal ini adalah pertemuan yang tidak sengaja dan tidak pernah kuduga.

Adam duduk menghadapku. Aku heran, sedang apa ia di sini? Bukan kah ini jam kerja? Adam tanpa ragu mengambil teh milikku dan menyeruputnya. Aku mengernyit. Tidak biasanya dia seperti ini. Lalu ia meminta pada pelayan untuk membawakan segelas susu.

"Susu hamil lebih baik untuk kandunganmu. Gula dalam teh ini mengandung kolestrol," ujarnya.

"Terima kasih infonya," kataku singkat, menyunggingkan senyuman. "Kau tidak bekerja?" kedua tanganku menggenggam segelas susu putih hangat. Aku tidak tahu jika kafe ini menyediakan susu hamil. Aneh.

"Aku bekerja di sini. Pemilik kafe ini," ungkapnya dengan ekspresi penuh dengan kebanggan.

Aku menganga. Adam beralih jadi pemilik kafe? Mengurus kafe? Keahliannya sangat berbeda jauh jika ia menjadi seorang pemilik kafe. Maksudku dia ahli dalam bidang properti dan juga nilai saham...lalu kafe ini? Ok Luna berhenti berpikir yang tidak penting. Itu bukan urusanmu.

"Wow," hanya komentar itu yang keluar dari mulutku. Aku tidak tahu harus berkata apa. Sebenarnya aku ingin sekali banyak bicara padanya tapi aku harus menahan diri. Aku tidak ingin luka lama terbuka lagi. Dulu itu sudah sangat menyakitkan untuk kami semua.

Adam menyenderkan punggungnya pada punggung kursi. Tangannya ia lipat ke leher belakangnya. Ia sedang menatapku intens dan sesekali ia mendesah. Apa yang sedang ia pikirkan tentang diriku? Andai aku bisa membaca pikirannya.

"Wajar saja banyak pria yang menyukaimu dan rela melakukan apa pun untukmu. Karena kau memang layak," gumamnya tak jelas.

Aku membalas tatapannya dengan heran. Apa maksudnya? Banyak pria? Di hidupku hanya ada dua pria. Kevin dan Harry. Bisa jadi tiga. Dia. Dia sang pria di hadapanku. Aku tidak bisa menampik bahwa masih ada perasaan tertinggal. Cinta tidak mudah berhenti secepat saat kau jatuh hati kan? Jadi tolong jangan salahkan aku. Perasaan sulit untuk mengontrol pada siapa kita jatuh cinta. Tapi tentu saja aku lebih mencintai Kevin. Dia adalah ayah dari anakku, pendamping hidupku.

"Aku tidak mengerti dengan ucapanmu," jawabku.

Adam menggidikan bahunya. "Lupakan saja. Aku sendiri tidak tahu apa yang kukatakan." ia mengusap rambutnya kasar.

"Adam...," aku sedikit ragu. "boleh aku tahu apa yang kau bicarakan dengan Kevin malam itu?" aku harap rasa penasaranku terungkap hari ini, karena aku merasa Kevin sedang menyembunyikan sesuatu.

Adam mencondongkan wajahnya. "Ada beberapa hal yang tidak perlu kau ketahui di dunia ini. Well, itu sebenarnya rahasia di antara pria."

Aku memutar bola mataku. Kalimat terakhirnya menyerupai Kevin. Apa mereka sekongkol? Jika mereka bersekongkol, kuanggap mereka sudah berteman. "Pria selalu saja gemar membuat para wanita penasaran," gumamku.

"Itulah daya tarik pria. Jika wanita penasaran, pasti akan mendekat."

"Dasar," cibirku sambil terkekeh. Aku menyeruput susuku.

"Kau kemari sendiri?"

"Tidak. Ada semacam bodyguard yang menguntitku. Kevin terlalu protektif."

"Dia ingin menjagamu. Wajar saja. Jika aku menjadi dirinya, aku akan melakukan hal yang sama. Malah akan kuutus tentara dunia untuk menjagamu," guraunya.

Mulutku terkatup rapat membuat garis lurus. Perkataannya membuatku tidak nyaman. Ia seolah sedang membahas 'kita'. Gurauannya hanya sebuah sampul untuk menutupi isi di dalamnya.

"Tapi Luna...," kini mimiknya berubah serius dan waswas, "aku ingin mendengar dari mulutmu secara langsung. Apa kau bahagia dengan pernikahanmu? mengingat aku pernah melihat suamimu berprilaku kasar di depan umum. Contohnya di bandara."

"Aku bahagia. Dia segalanya untukku. Perihal itu...kurasa wajar, Kevin mengira aku kabur bersamamu. Makanya ia bersikap seperti itu. Tapi semuanya sudah berlalu dan kami sudah memulai semuanya dari awal."

"Aku senang mendengarnya. Kau bahagia dengan pernikahanmu ditambah lagi dengan kehadiran anakmu yang menggemaskan itu. Siapa namanya?"

"Harry. Dia memang lucu. Setiap hari selalu membuat kejutan," jawabku, terkekeh.

"Jika nanti aku mempunyai anak perempuan, akan kujodohkan dia dengan anakmu dan kita bisa menjadi besan."

Aku tergelak. "Kedengarannya menarik."

Kami larut dalam pembicaraan kami tentang Harry dan calon anak masa depan Adam. Rasanya lucu jika membayangkan kami menjadi besan. Tapi aku ragu jika Kevin menyetujui hal seperti ini. Aku menggeleng. Perutku terasa ngilu karena tawa yang tidak bisa kubendung.

*****

Melihat suami pulang membawa seorang wanita dan Kevin bilang wanita itu akan tinggal bersama di rumah ini, membuat hatiku mendidih. Kevin pulang bersama wanita yang tidak aku kenal lalu ia menjelaskan padaku bahwa wanita itu akan tinggal bersamanya, bersama kita. Siapa wanita itu? Mengapa Kevin ngotot ingin dia tinggal bersamanya? Kevin tidak mungkin mempunyai hubungan khusus dengan wanita itu kan? Aku sebagai seorang wanita dan juga istri tentu tidak mau ada wanita lain yang tinggal satu atap.

Wanita itu menatapku dengan mimik terkejut. Apa yang ia kagetkan? Seharusnya aku yang terkejut karena tiba-tiba ia sudah mulai tinggal di sini karena kemauan Kevin. Wanita itu mengulurkan tangannya padaku. "Aku Jane. Senang bertemu dengamu. Kuharap kau bisa menerimaku tinggal di sini."

Aku membalas ulurannya dan cepat-cepat menarik tanganku berdalih membelai perutku. "Luna. Aku harap begitu," jawabku dengan senyum yang kupaksakan. Dari cara wanita itu bicara seakan-akan mengatakan 'kau harus menerimaku di sini karena suamimu menginginkannya'. "Istirahatlah. Kau terlihat lelah."

Aku cepat-cepat pergi ke kamarku, meminta penjelasan pada Kevin. Aku tentu tidak akan diam jika ada wanita lain yang Kevin bawa. Tidak kah dia lihat aku sedang mengandung anaknya? Uh panas rasanya di sekujur tubuhku.

"Aku mandi dulu. Nanti saja kujelaskannya," jawab Kevin dengan santai lalu masuk ke dalam kamar mandi.

Perasaanku semakin mendidih melihat sikapnya tanpa merasa bersalah membawa wanita itu. Aku duduk di sofa sebrang ranjangku. Menunggu Kevin. 10 menit berlalu, ia baru keluar dari kamar mandi dengan handuk yang melingkari pinggangnya. Mataku tidak lepas menatapnya dengan tatapan desakkan. Kevin pura-pura tidak menyadari tingkahku, ia memakai kaos hitam polos dengan celana training panjang kemudian ia duduk di ujung ranjang sebrangku.

"Kudengar kau bertemu Adam?" senyumnya muncul.

Jangan menghindari pertanyaan, batinku. Aku diam. Bukan itu yang ingin kudengar dari mulutnya, melainkan tentang wanita yang ia bawa ke rumah ini. "Apa kau berniat ingin mempunyai istri dua?!" sambarku begitu saja.

Kevin tergelak. Apa yang lucu dari ucapanku? Tidak ada.

"Kenapa tiba-tiba kau berkata seperti itu?"

"Jangan bertele-tele Kevin. Aku benar-benar kesal padamu! Siapa wanita itu? Kau menghamilinya?" aku tidak bisa menahan nadaku untuk tetap rendah. Hatiku berkobar panas.

Lagi, Kevin tergelak. Demi Tuhan, aku benar-benar emosi melihat tingkah Kevin seperti itu. Aku sedang tidak melucu. Aku merasakan wajahku memerah karena kesal.

Kevin perlahan menghentikan tawanya, lalu ia menepuk pahanya. "Kemarilah. Akan kujelaskan," ujarnya lembut.

Aku melipat kedua tanganku di dadaku. Menentang untuk duduk di pangkuannya.

"Baiklah. Kalau kau tidak mau, aku tidak akan menjelaskannya padamu." Kevin tersenyum jahil.

Aku terkesiap dan dengan terpaksa aku duduk di pangkuannya. "Jelaskan," paksaku.

"Sebelum aku menjelaskan siapa wanita itu, aku ingin kau tahu beberapa hal dulu," ujarnya. Bibirnya menyentuh leherku dan memberi kecupan kecil. Aku seperti terkena aliran listrik saat ia menyentuhku.

"Aku tidak pernah berpikiran untuk memiliki istri lain. Aku tidak berselera meniduri wanita lain. Apalagi sampai menghamili wanita lain. Hanya kau wanita yang ingin kuhamili. Aku tidak pernah melirik wanita selain dirimu. Kau segalanya bagiku. Aku mencintaimu. Jadi jangan tuduh aku seperti itu. Aku dulu memang pria brengsek. Tapi pria brengsek yang ada di hadapanmu ini sudah bertekuk lutut pada ibu dari anakku. Anak kita," jelasnya yang membuat hatiku mencair.

Aku terpana. Aku tersipu malu dan aku speechless.

"Sekarang aku akan menjelaskannya padamu tapi setelah ini kau tidak boleh bertanya apa pun. Deal?"

Aku mengangguk cepat.

"Wanita itu adalah Jane. Putri Joe yang selama ini kami kira telah meninggal. Aku juga tidak mengerti bagaimana itu bisa terjadi. Sebenarnya aku juga tidak mau ia tinggal di sini, hanya saja tidak ada yang mengurusnya. Joe sedang pergi mencari istrinya yang kemungkinan masih hidup. Jadi Jane adalah sepupumu. Aku harap kau berbaik hati mau menerimanya di sini. Setelah Joe kembali dan menemukan istrinya, Jane tentu saja akan tinggal bersama orang tuanya. Dia hanya sementara di sini."

Aku tercengang mendengar penjelasan Kevin. Jadi anaknya Joe masih hidup? Dan istrinya juga kemungkinan masih hidup? Aku memang masih kesal pada Joe atas apa yang pernah ia lakukan padaku. Tapi setelah mendengar ini aku merasa iba. Senang bercampur sedih pasti perasaannya. Di lain sisi, aku bersyukur jika Joe telah menemukan keluarganya kembali. Keluarga utuhnya. Bukankah itu kesenangan yang tidak terbayar oleh harta? Aku harap Joe bisa menemukan istrinya secepatnya.

"Kenapa kau tidak jelaskan dari tadi?" keluhku.

Kevin menggidikan bahunya. "Mungkin aku suka melihat wajah cemberutmu," balasnya. Bibirnya kini menjelajahi belahan dadaku.

Aku menangkup wajah Kevin. "Kautahu, aku hampir saja menyuruhmu tidur di luar," kataku terkekeh.

Tangan Kevin menelusup ke dalam pakaianku, ia membelai punggungku lalu bergerak ke bagian depan. Meremas bagian payudaraku yang di balut dengan bra, lalu ia membuka pengait depan bra-ku. Aku mengerang saat tangannya meremas lembut sebelah payudaraku. Lalu bibirnya mengecup bibirku. Awalnya hanya kecupan biasa namun kecupan itu menjadi ciuman yang penuh gairah menuntut untuk melakukan lebih. Aku membiarkan Kevin memimpin. Aku ingin merasakan kenikmatan setiap ciuman yang ia berikan padaku. Tanganku meremas kepalanya, menekan agar memperdalam ciumannya. Kubuka mulutku untuk memberikannya kebebasan, dan lidahnya kini mencecap serta bermain dalam rongga mulutku. Saat aku hampir kehabisan oksigen, Kevin menghentikan aktifitasnya kecuali tangannya. Hidung kami saling menyentuh, napas kami saling beradu.

"Apa kau berharap lebih?" godanya sensual.

Jantungku berdegup kencang. Bagian bawahku sudah berkedut sejak tadi. Dan ia malah berkata seperti itu? Padahal jelas-jelas aku sudah terangsang. Aku pun mengangguk malu-malu.

"Tapi sebelum itu...," Kevin menggantungkan kalimatnya sementara jarinya memilin putingku. Aku mendesah nikmat. Oh my, aku ingin lebih dari itu. Aku ingin bibirnya berada di situ. "katakan, kau tadi siang bertemu Adam?" tanyanya. Tangannya berhenti, sengaja menggodaku.

Aku mendesah frustrasi saat ia menghentikan aktifitas mesummnya itu. Di saat seperti ini, ia masih sempat bertanya hal semacam itu. "Ya. Kami tidak sengaja bertemu. Dia pemilik kafe dekat sekolah Harry. Kami hanya bicara tentang aktifitas dan tentang Harry. Tidak lebih dari itu. Jangan salah paham," jawabku cepat. Aku tidak sabar tangannya membelaiku lagi.

Kevin mengulum senyumnya. "Jangan tinggalkan aku apa pun yang terjadi," ujarnya, kemudian mencium bibirku lembut.

Aku tersentak. Kenapa ia tiba-tiba bicara seperti itu? Kujauhkan wajahku darinya lalu menatapnya lekat. Terpancar dari sorot matanya ia mencemaskan sesuatu. "Dulu aku telah melakukan kesalahan yang fatal, meninggalkanmu. Aku tidak ingin melakukan kesalahan untuk yang kedua kalinya. Apa pun yang terjadi, aku akan tetap bersamamu. Aku tidak ingin kehilanganmu. Aku mencintaimu Kev," kataku pelan. Kubelai wajahnya penuh sayang.

Kevin mengamit tanganku dari wajahnya, diciumnya telapak tanganku. "Terima kasih, Luna. Aku sangat menyayangimu," lalu ia kembali menciumku, memperdalam ciumannya. Kevin mengangkat pakaianku ke atas bermaksud menyingkirkannya dari tubuhku.

Tedengar suara pintu kamar dibuka berbarengan dengan suara Harry, "Mommy, Harry ingin...."

Kami terkesiap dan langsung menghentikan aktifas kami. Aku langsung membenarkan posisi pakaianku yang hanya menutupi setengah badanku yang hampir telanjang. Kupikir pintunya dikunci.

Harry melongo melihat kami. "Daddy dan mommy sedang apa?" tanyanya menatap kami kebingungan. Aku baru sadar bahwa aku masih duduk di pangkuan Kevin. Oh betapa malunya aku. Tidak sepantasnya anakku melihat adegan orang tuanya tadi. Dan Kevin hanya menampakkan wajah datar seperti tidak terjadi apa pun. Segera kuubah posisi dudukku yang memalukan.

"Ya Harry? Harry tadi bilang apa?" tanyaku, mengalihkan perhatiannya.

"Harry sayang, biasakan ketuk pintu sebelum masuk kamar daddy dan mommy," tegur Kevin dengan nada tegas.

Harry menunduk sedih saat mendengar teguran dari Kevin yang menurutku nadanya cukup keras. Aku menyenggol Kevin dengan sikutku, memperingatinya.

Aku menghampiri Harry dan berjongkok menyajarkan tinggiku dengannya. "Harry ingin apa?" tanyaku lembut sambil mengusap kepalanya.

"Harry ingin minum susu," pintanya.

Aku menepuk jidatku. Gara-gara Kevin membawa wanita yang katanya sepupuku itu, aku jadi lupa untuk membuatkan susu untuk Harry. Biasanya setiap malam sebelum Harry tidur, aku membuatkannya susu hangat.

Segera aku membuatkannya susu. Harry mengekoriku sambil memainkan rubik miliknya yang baru Kevin belikan. Aku tahu ia belum bisa memainkan rubiknya. Harry hanya memainkannya asal saja.

"Mommy, tante yang di kamar sebelah Harry itu siapa?" tanyanya seraya berjalan menuju kamar Harry.

"Tante Jane, saudara mommy," jawabku. Aku ingin mengatakan 'sepupu' tapi Harry pasti belum mengerti apa itu sepupu dan ia pasti akan bertanya berentet. Harry tidak akan bisa berhenti diam jika ia belum mendapatkan jawaban yang menurutnya memuaskan. "Harry habiskan susunya ya? Habis ini tidur."

Harry mengangguk.

Aku menutup kamarnya dan menemukan Jane sedang berdiri di kamar Harry, menatapku.

"Kau tidak tidur?"

Jane menggeleng dan tersenyum kecil. "Sejujurnya aku merasa tidak enak menumpang di sini. Aku takut mengganggu kalian."

Aku mendekatinya, memegang kedua bahunya. "Kau tidak perlu merasa tidak enak. Kita adalah sepupu," kataku, tersenyum lebar padanya.

Jane membalas senyumanku. "Aku tahu. Anehnya ini adalah pertemuan pertama kita."

"Pertemuan yang canggung?" kataku terkekeh, mencoba mencairkan suasana di antara kami.

Jane menggidikan bahunya. "Aku sangat tidak menyangka bahwa dunia ini sempit. Sepupuku menikah dengan Kevin Sanders."

Aku menggeliat tidak nyaman. Cara dia mengucapkan nama Kevin seperti ada maksud tertentu ah entahlah aku tidak mengerti. Mungkin perasaan saja.

"Luna, ayo lanjutkan yang ta-" tiba-tiba Kevin datang dan langkahnya terhenti saat ia melihat Jane bersamaku. "Yang tadi," lanjutnya. Suaranya lebih pelan dari sebelumnya.

Aku mengangguk malu sementara Kevin menatapku, sesekali juga ia menatap Jane dengan serius, membuat tanda tanya besar di kepalaku.