Cleo terlonjak. Tergopoh-gopoh dia berbalik lantas menatap keberadaan Lucio yang kini berdiri menatapnya dengan garang. Bahkan ketika gadis itu belum sepenuhnya kembali ke dalam kesadarannya mengingat bagaimana terkejutnya dia, tahu-tahu dengan kasar Lucio telah merampas selembar foto yang tengah dia genggam. Kedua manik gadis itu hanya berkedip tidak keruan, begitu menyaksikan Lucio bergerak cepat memunguti satu persatu barang yang berhambur keluar dari dalam kotak putih yang sebelumnya Cleo jatuhkan ke lantai.
Tanpa menatap Cleo yang masih diselimuti kebingungan, Lucio telah mengeluarkan perintah dalam balutan suaranya yang sedingin es, memaksa Cleo mau tidak mau harus bergetar saking takutnya. "Keluar!" bentaknya.
Tidak memikirkan apapun salain mematuhi satu kata perintah yang penuh intimidasi itu, Cleo seolah didorong tangan tak kasat mata yang memaksanya keluar dari dalam sana.
Cleo bahkan belum bisa mencerna apa yang terjadi sehingga dirinya hanya bisa berdiri di depan pintu sembari memegangi dadanya yang terasa sesak. Ya, Cleo pikir Lucio terlalu mengejutkannya saat bertindak implusif membentaknya.
Selama ini Lucio memang dingin dan terkadang menyebalkan, bahkan tidak jarang pula pria itu meninggikan suara di hadapan Cleo bila gadis itu terlampau membuatnya kesal. Tetapi, entah mengapa hari ini bentakan itu terasa berbeda seolah-olah Lucio telah membatasi diri dari Cleo meski kenyataannya mereka memang tidak seakrab itu. Namun tetap saja, Cleo tidak bisa membohongi dirinya bahwa apa yang Lucio lakukan beberapa saat lalu benar-benar membuatnya sakit hati. Jantungnya mendentum menggila seakan drum-drum besar baru saja di mainkan di dekatnya.
Sembari melangkah sempoyongan sementara tangan meremas dada yang ngilu, Cleo memasuki kamarnya dengan tatapan kosong. Oh sungguh, gadis itu tidak tahu apa yang sedang terjadi terhadap dirinya. Seharusnya, hal seperti itu sudah biasa terjadi di antara mereka. Tetapi sekali lagi, Cleo tidak mengerti mengapa kini dia merasa bahwa Lucio baru saja mengkhianatinya dengan cara paling menyakitkan.
Itu konyol, tetapi itulah kenyataannya!
Siapa yang tahu, detik di mana Cleo berhasil menutup pintu dan membatasi dirinya dengan akses luar, mendadak tubuhnya jatuh terduduk dengan tangis tertahan yang menyedihkan.
Oh Tuhan, apa yang sedang terjadi dengan dirinya?
Seharusnya, dia tidak perlu membawa perasaan sensitif seperti ini hanya untuk Lucio.
Tetapi sayangnya, pada akhirnya Cleo tetap menumpahkan air mata.
***
Sudah tiga hari berlalu sejak kejadian itu. Cleo yang sudah menjadi incaran orang-orang terutama Menteri Aran, harus puas ketika Mr. Rolleen mengeluarkan kebijakannya bahwa mulai detik itu juga, Cleo tidak akan meninggalkan pondok dan hanya akan berada di pegunungan Reen. Bila berpikir gadis itu akan menerima dengan mudah, maka itu pemikiran sembrono mengingat bagaimana pemberontakan yang dilakukan gadis itu untuk mendapatkan kembali hak bebasnya. Nihil, Mr. Rolleen tetap pada pendiriannya.
Sementara urusan pengantaran obat sepenuhnya diserahkan kepada Lucio. Selama Menteri Louis telah menjamin keselamatan pria muda itu di ibu kota, maka Menteri Aran tidak akan bisa menyentuh Lucio lagi, kecuali bila sang menteri melakukan kelicikin lain; menculik Lucio misalnya.
Namun untuk sekarang, tampaknya hal itu tidak akan terjadi. Lucio pikir menteri Aran akan belajar dari kesalahan awalnya yang terlalu gegabah serta terburu untuk menjebaknya. Ada kemungkinan pihak mereka tidak akan bergeming selama beberapa waktu ke depan. Toh, sang menteri sedang disibukkan untuk mendapatkan kembali kepercayaan Menteri Louis yang telah memergokinya melanggar aturan kerajaan. Lucio pikir itu adalah tindakan tepat bila dia berada dalam posisi itu.
Di sisi lain, Cleo tampaknya sudah cukup mengerti bahwa dirinya sedang dalam bahaya meski dia tidak tidak tahu pasti alasan yang membuatnya menjadi incaran. Mungkin gadis itu sedikit tahu bahwa rambut anehnya lah yang telah membawa masalah ini, sayangnya Cleo tidak pernah tahu tujuan apa yang dapat menguntungkan para kriminal itu hingga ingin menangkapnya.
Mungkinkah mereka pikir bahwa rambut Cleo adalah ramuan magic yang Mr. Rolleen ciptakan, lantas mereka berbondong-bondong menginginkannya. Membayangkan pemikiran bodoh itu rasa-rasanya Cleo jadi ingin muntah. Oh, itu terlalu menggelikan.
Tetapi jika memang betul demikian, pertanyaannya, mengapa mereka baru mengincarnya sekarang alih-alih saat dirinya berusia kanak-kanak yang bahkan sering bermain sendiri di pinggiran desa.
Aneh, bukan?
Mengapa sekarang? Saat dirinya ingin menikmati masa remajanya sendiri.
Mendadak perkataan Mr. Rolleen tempo hari mengusik Cleo. Apakah betul bahwa dirinya baru saja menjadi incaran setelah dirinya berusia matang? Usia 17 tahun?
Cleo terkekeh, rasanya tidak mungkin, pikirnya.
"Cleo, bawa kemari daun obat yang telah kamu haluskan," suara Mr. Rolleen terdengar lantas membuyarkan tumpukan imaji milik Cleo yang sedang mengerus obat. Cleo mengedipkan mata sejenak, mencoba mencerna kalimat apa yang baru saja pria tua itu katakan kepadanya.
Sampai ketika Cleo mendapati wajah berang Mr. Rolleen sementara tangan keriput pria itu menunjuk ke arah alat penggerus, Cleo spontan menyengir lalu segera memindahkan hasil pekerjaannya ke dalam wadah kecil di sampingnya.
Begitu Cleo berdiri di sebelahnya sembari tangan mengulurkan permintaannya, Mr. Rolleen mencebik ke arah gadis itu dan dibalas kekehan samar milik Cloe. "Lain kali, aku akan melemparkan penggerus batu itu ke kepalamu bila mendapatimu melamun lagi," ancam Mr. Rolleen.
Cleo spontan meringis ngeri. "Kalau seperti itu aku bisa mati. Apa kamu pikir kepalaku terbuat dari besi hingga tahan banting." Cleo terkekeh canggung. "Tidak Mr. Rolleen, yang ada aku hanya akan berubah gepeng dalam seketika." Gadis itu mengibaskan rambut merahnya dengan gaya centil ketika menambahkan, "lihatlah betapa cantiknya aku ini. Bukankah itu sia-sia?"
Mr. Rolleen mencebik jengkel. Pria itu jadi terlihat berlebihan saat bertingkah bagai orang yang hendak muntah karena menyaksikan hal menjijikkan. "Payah!" ujarnya remeh.
"Aku pulang."
Atensi Mr. Rolleen seketika berpindah ke arah samping di mana sosok Lucio sedang berjalan menghampiri mereka berdua. "Oh, kamu sudah kembali? Bagaimana, apakah semua lancar?" tanya Mr. Rolleen begitu melihat Lucio duduk di bangku kayu yang sebelumnya digunakan Cleo.
Lucio mengangguk. "Ya, Menteri Aran beserta komplotannya tidak lagi mengganggu." Lucio terdiam berpikir lalu menambahkan, "mungkin nanti."
"Oh, baguslah." Mr. Rolleen melirik ke arah Cloe yang hanya berdiri mematung di sebelahnya sembari memunggungi Lucio. Ada kedut kesal di wajah pria tua itu saat berteriak, "apa yang kamu lakukan di situ? Jangan menghalangi pandanganku dan lakukan saja pekerjaanmu menggerus daun obat."
Bila biasanya Cleo yang selalu ingin menang dalam hal apapun termasuk berdebat, maka kali ini, gadis itu melawan hukum alamnya sendiri dengan hanya mengangguk dan mengambil bangku lain yang berjauhan dengan Lucio. Dia bahkan tidak merasa keberatan meraih penggerus baru dan melakukan pekerjaannya dengan tenang seolah-olah tidak ada yang pernah mengusiknya.
Menyaksikan itu, Mr. Rolleen segera melirik Lucio yang rupanya sedang balas melirik. Pria itu seketika mengangkat bahu tidak tahu terhadap perubahan sikap Cleo sesaat setelah menyadari arti tatapan Mr. Rolleen. Dengan helaan napas panjang, Mr. Rolleen mengakhiri bunca penasaran dalam benaknya dan membiarkan Cloe tetap berada dalam keanehannya.
Ya, Mr. Rolleen pikir ini jauh lebih baik dari pada melihat Cleo mengamuk seperti beberapa hari terakhir.
Namun sayangnya, Mr. Rolleen tidak pernah menyadari bahwa apa yang Cleo lakukan semata-mata hanya untuk menghindari keberadaan Lucio di sekitarnya. Dalam kurun waktu tiga hari terakhir, Cloe benar-benar gencar menghindari Lucio, baik ketika mereka sedang membuka pintu kamar di saat yang bersamaan ataupun melakukan hal lain yang mengharuskan mereka untuk melakukannya berdua. Nyatanya Cloe selalu berusaha untuk menghindar meski tidak pernah benar-benar berhasil mengingat mereka berada di bawah satu atap yang sama.
Meski demikian, tidak sekalipun Cleo mengajak Lucio berbicara, atau bahkan menatap mata pria itu secara langsung.
Siapa menyangka, sejak kali terakhir Lucio membentaknya dengan suara keras yang tidak biasa, Cleo mendadak merasa takut dengan Lucio. Cleo bahkan mulai berimajinasi aneh, bahwa Lucio yang terlalu muak kepadanya berniat menyingkirkannya suatu saat nanti.
Oh, tanpa gadis itu sadari ... tindakan Lucio telah membuatnya mengalami trauma ringan.