Lucio tidak begitu terkejut saat mendapati Cleo sudah berdiri di depan kamarnya, ketika dia baru saja kembali dari gudang. Niatnya ingin segera membersihkan diri lalu tidur, siapa sangka Cleo justru tidak mengizinkannya melakukan apa yang dia mau. Lucio hanya berdiri di depan gadis itu, menunggu hingga Cleo lelah dan berhenti menatapnya dengan tatapan curiga, baru kemudian mulai memberinya alasan mengapa dia berdiri di depan kamarnya. Belum lagi, wajah gadis itu sangat serius sehingga Lucio benar-benar terkesan. Terkesan dalam hal buruk.
Lucio melipat tangan di depan dada sedang tatapannya mengunci kedua manik Cleo. Di sisi lain, gadis itupun tidak mau kalah bila menyangkut urusan saling tatap-menatap. Menurut Cleo, siapa yang berpaling lebih dulu maka dialah yang kalah. Jelas saja, Cleo dengan tabiatnya yang selalu semaunya itu, tentu tidak akan menyerah hanya untuk mendapati kekalahan dari Lucio.
Karenanya, Lucio pun tidak punya pilihan selain angkat suara lebih dulu, "Kalau tidak ada yang ingin kamu katakan, lebih baik kamu menyingkir." Lucio menggerakkan kepalanya ke arah samping, seolah meminta Cleo berpindah melalui gerakan tersebut. "Aku ingin mandi lalu tidur." Pria itu mengejek, "ini tidak seperti dirimu yang hanya bermain dan tidak melakukan apapun."
Benar saja, seperti yang Lucio duga, Cleo akhirnya terpancing. Gadis itu mulai melotot. Tangannya terkepal, sedang wajahnya benar-benar memerah mengingat bagaimana kuatnya gadis itu menahan diri dari luapan amarah.
"Aku akan mengabaikan ejekanmu barusan," kata Cleo mencoba tetap tenang. Sementara itu, Lucio menaikkan sebelah alisnya, terkesan tidak mengerti perkataan tersebut. Memilih mengabaikan, Lucio hanya mendengkus lalu kembali menatap Cleo. Gadis itu sudah memasang raut serius. "Ada beberapa hal yang ingin aku tanyakan kepadamu. Ah, jangan salah paham, ini bukan seperti aku sengaja mencarimu, sebenarnya aku baru saja mencoba mencari jawaban dari Mr. Rolleen namun dia sama sekali tidak ingin buka suara. Karena itulah aku tidak punya pilihan sehingga datang kepadamu."
"Kalau begitu aku juga tidak akan menjawab apapun," balas Lucio cepat. Raut wajahnya benar-benar datar, amat sangat tidak peduli.
Cleo berdecak, "Cih! Aku bahkan belum mengatakan apapun, tetapi kamu sudah lebih dulu menyatakan penolakan." Cleo kembali melipat tangan di depan dada, lalu sedetik kemudian dia mengunci kedua manik Lucio. "Dengarkan dan jawablah dengan jujur, sebenarnya apa yang kamu sembunyikan dariku? Kamu dan Mr. Rolleen tampak aneh sejak malam itu, ada apa?"
"Tidak ada."
Cepat sekali, pikir Cleo sembari mendengkus.
Kesannya, Lucio sama sekali tidak mendengarkan apa yang Cleo katakan lantas langsung memberi jawaban tidak memuaskan.
"Aku tidak percaya!" Sepasang manik cokelat milik Cleo mulai berkaca-kaca. Bukan karena hendak menangis, bukan! Tetapi gadis itu lebih kepada merasa kecewa mengingat dia seolah sedang dipermainkan. Siapa sangka, Cleo menutup wajah dengan kedua telapak tangan lalu mengulang pertanyaan serupa.
Sayangnya, alih-alih menjawab seperti yang diinginkan Cleo, Lucio justru mengejek dengan suara menyebalkan, "Tidak ada yang perlu kamu ketahui karena kenyataannya memang seperti itu. Kami sama sekali tidak menyembunyikan apapun darimu. Kalau kamu merasa ada yang salah, itu berarti dirimu lah yang sedang bermasalah, bukan kami berdua." Lucio memiringkan wajah ke arah samping, meminta Cleo untuk segera pergi. "Sekarang pindah!" Bahkan tanpa menunggu lagi pria itu sudah mendorong tubuh Cleo agar menyingkir dari hadapannya.
"Hei! Aku belum selesai!"
Brak!!
Lucio membanting pintu kamarnya dengan keras sementara Cleo mengerjap beberapa kali. Gadis itu sungguh terkejut karena pergerakan Lucio yang tiba-tiba. Pada akhirnya, pria itu selalu saja menyebalkan! keluhnya.
Sembari menendang pintu kayu yang tidak lain milik kamar Lucio, Cleo menggerutu seraya memaki dari arah luar, "Lucio sialan! Pria dingin tidak punya otak!"
"Dan pria dingin tidak punya otak ini yang akan menikahimu," balas Lucio tanpa diduga. Cleo kontan melebarkan mata mengingat dia tidak menyangka pria itu akan menanggapinya. Belum lagi, tanggapannya sangat-sangat menyebalkan.
"Aku tidak akan membiarkanmu menikahiku. Suatu saat nanti, aku pasti akan menemukan cara untuk membuatmu mundur dengan paksa."
"Coba saja." Cleo bisa mendengar suara Lucio di balik pintu, terasa dekat dan jelas.
Sampai kemudian, saat pintu tiba-tiba terbuka dan menampilkan sosok Lucio yang setengah telanjang, Cleo melebarkan pupil saking syoknya. Pria itu berdiri tepat di depannya dengan tatapan datar seperti biasa, sementara tubuh bagian bawahnya hanya ditutupi handuk sebatas pinggang dan lutut
"Kamu gila!" Cleo buru-buru menutup mata lalu berbalik memunggungi Lucio.
"Apanya yang gila?" Kening Lucio mengernyit menyaksikan tingkah Cleo yang terlalu berlebihan. "Aku hanya ingin keluar dan ke kamar mandi. Apakah kamu pikir pondok ini sangat besar sehingga setiap kamar punya kamar mandi sendiri? Jangan bodoh! Apa kamu lupa jika hanya ada satu kamar mandi untuk kita bertiga?" Manik Lucio menyipit jengkel. "Sebaiknya kamu yang segera menyingkir dan berhentilah menggangguku dengan pertanyaan-pertanyaan yang jelas tidak akan aku jawab."
"Kenapa?" Cleo menelan ludah susah payah. "Kenapa kamu tidak ingin menjawab pertanyaanku? Aku bahkan belum mengajukan pernyataannya."
"Mudah saja menebaknya." Lucio membuang napas. Nyaris merasa bosan terhadap kelakukan Cleo. Gadis itu sungguh keras kepala. "Kamu sudah pasti ingin menanyakan perihal kejadian di mana aku membawamu ke goa, kan? Ditambah dengan kejadian saat sosok misterius mengejar kita dengan hujaman anak panah."
"Nah, itu kamu tahu sendiri, lalu mengapa aku tidak bisa mendengar jawabannya? Pasti kamu tahu sesuatu, tidak, bukan hanya kamu, Mr. Rolleen juga."
Lucio memutar bola mata dengan sebal. "Karena tidak ada jawabannya."
"Hah?!"
Cleo sekali lagi memperlihatkan kebingungan besar dia wajahnya, itu tampak bercampur dengan ketidakpercayaan karena mendengar perkataan Lucio. Cleo pikir, apa yang Lucio katakan sama sekali tidak benar, yang ada, pria itu justru terlihat jelas sedang menyembunyikan sesuatu. Semakin pria itu mengelak dan menghindar, maka kecurigaan Cleo akan semakin menjadi-jadi.
Cleo mengernyitkan alis lalu membuang napas kesal pertamanya sejak tadi. "Lucio, aku tahu kamu sedang mempermainkanku. Walau begitu aku tidak akan menyerah untuk mencari tahu. Tunggu saja sampai aku membuatmu buka mulut!"
"Menyerah saja," sahut Lucio enteng.
Lucio sudah hendak melangkah pergi ketika tiba-tiba saja lengan kekarnya ditarik paksa, cukup keras, sehingga mau tidak mau tubuhnya berakhir terbanting ke arah dinding. Beberapa perabot yang dipajang di sana seketika bergetar cukup keras sesaat setelah punggung Lucio membentur dinding kamar.
Kedua manik Lucio kontan melebar. Dia terkejut sekaligus tidak habis pikir. Mengingat kesabarannya sudah habis, detik berikutnya Lucio langsung saja membalas dan mengendalikan jalannya perseteruan. Tubuh gadis itu ditariknya, lalu dengan mudah Lucio mengganti posisi. Alhasil, kini tubuh Cleo lah yang terkurung di antara dinding dan tubuh besar pria itu.
Lucio menyeringai. "Jangan bermain api. Kalau kamu minta diserang sekarang juga, aku tidak akan keberatan."
"Yang benar saja! Serang? Memang apa yang ingin kamu serang?" Kening Cleo berkerut sangat dalam. Tatapannya pun tak luput membalas tatapan Lucio yang dingin.
Lucio mendengkus. "Pura-pura lugu?"
Cleo memutar bola mata. Sama persis dengan apa yang Lucio lakukan sebelumnya. "Aku tidak mengerti apa maksudmu, tetapi yang jelas, aku tidak akan menyerah untuk mendapatkan keinginanku." Sorot mata yang Cleo pancarkan terlihat bersungguh-sungguh. Lucio dapat melihatnya dengan jelas dari jarak sedekat ini. Tetapi, semakin lama dia melihat gadis itu, perasaannya pun kian tidak terkendali. Pria itu sendiri tidak mengerti dengan apa yang dirasakannya. Ini merupakan kali pertama dia merasakan hal seperti itu.
Karena dirundung perasaan aneh saat menatap wajah Cleo, mendadak Lucio menyerah. Pria itu menjauh dan tanpa mengatakan apapun lagi, dia meninggalkan Cleo yang sedang mematung dengan wajah pucat pasi.
"Apa-apaan itu?" gumam Cleo pada dirinya sendiri.
Di sisi lain, di balik dinding lain yang menghubungkan lorong kamar dengan ruang tengah pondok, sosok Mr. Rolleen sedang bersandar sembari mencuri dengar. Begitu menyadari Lucio telah pergi, diam-diam pria tua itu tersenyum sendiri dengan raut puas.
Seraya mengetuk lantai kayu di bawahnya dengan tongkat miliknya, Mr. Rolleen melangkah menjauh. "Aku tidak menyangka akan secepat ini. Pelan-pelan, semuanya berjalan sesuai dengan rencana ku," kekehnya sambil berlalu.