Raissa pagi ini bertugas di poli jantung. "Pagi dr. Alex, tumben praktek pagi? dr. Faisal kemana?" tanya Raissa menyapa Alex. "Pagi Sa, iya nih, dr. Faisal tiba-tiba ada kedukaan di keluarganya, Ayah mertuanya meninggal, jadi minta tolong padaku untuk menggantikannya hari ini atau mungkin 2-3 hari ke depan. Untungnya aku belum full time di rumah sakit. Jadi masih bisa bantu-bantu lah disini." kata Alex. "Oh ya ampun, sudah beritahu HRD dok? supaya diberitakan ke seluruh karyawan, pasti ada beberapa orang yang bisa ikut melayat, walaupun yang lain mungkin hanya bisa mengucapkan turut berbelasungkawa karena harus jaga pos." kata Raissa. "Ya, sudah kulakukan. Asya dan Satya yang akan mewakili kesana. Aku tak tahu apakah Aditya akan ikut melayat atau tidak, anak itu padat sekali jadwalnya. Ngomong-ngomong, selamat ya yang baru jadian, hahahaha.. kayak anak SMA ya pakai acara jadian. Kayak aku dong, langsung pada intinya!" kata Alex. "Hahaha, makasih dok, pelan-pelan ah dok! Ngapain juga buru-buru!"kata Raissa tersipu. "Kelamaan mikir ujung-ujungnya mundur Sa! udah langsung ikat aja!! Bungkusssss!!!" kata Alex mengompori Raissa. "Pedas pakai dua karet ya dok?!?!.. ih udah ah dokter ini, yuukk mulai yuukk pasien pertama, kasian udah sepuh tapi masih disuruh treadmill test sama perusahaannya." kata Raissa menyudahi obrolan Alex. "Sepuh? memangnya umur berapa?" tanya Alex. "56 tahun, kalau di perusahaan kan sudah waktunya pensiun tuh.. jadi udah sepuh hehehe" kata Raissa. "Ada-ada aja kamu, kirain udah umur 80 tahun?masih kuat tidak tuh treadmill..Panggil deh Sa!" kata Alex. Raissa pun memanggilkan pasien pertama, seorang Bapak 56 tahun dengan perawakan tinggi dan tubuh yang atletis, sepertinya rajin berolahraga. Sekali lihat saja Raissa sudah dapat menebak hasilnya pasti bagus. " Pagi dok, apa kabar? Sus, apa kabar suster? wah suster disini cantik-cantik semua ya dok, senang saya disini. Segar semua hahahah!" kata si Bapak ramah. "Terimakasih pak, saya pasang alat perekam jantungnya dulu ya pak. silahkan berbaring sebentar." kata Raissa yang memasang peralatan tersebut dalam waktu singkat. Lalu ia menjelaskan prosedur tes dan memastikan pasien mengerti. "Jangan takut, seperti berlari saja kok pak, tapi kita mulai dari kecepatan jalan kaki dulu ya pak, nanti makin lama makin meningkat." tambah Alex. "Oh tidak masalah dok, saya ini pelari, dari muda saya suka lari di Senayan, suka ikut lomba lari juga, bukan untuk menang tapi hanya cari kesenangan saja. Tes ini untuk pra pensiun saja dari perusahaan." sambung bapak itu. "Oh baiklah, kalau begitu seharusnya tes ini akan gampang untuk bapak." kata Alex. Si bapak hanya menjentikkan jari jempol dan telunjuknya saja seakan menganggap remeh. Raissa hanya tersenyum sambil melirik Alex. Keduanya sudah belajar dari pengalaman, jangan pernah meremehkan segala sesuatu. Alex memusatkan perhatian pada monitor EKG, sedangkan Raissa secara berkala memeriksa denyut nadi dan tekanan darah si bapak. Selama kecepatan awal semua berjalan lancar dan baik. Mulai tambah kecepatan tekanan darah mulai meningkat tajam, tetapi si bapak tampak tidak terpengaruh, lelah pun tidak. Tetapi Raissa mulai melihat irama yang lain di monitor, walaupun keluar baru sekali, Alex juga melihatnya, ia menekan tombol print ketika irama itu terulang kedua dan ketiga kalinya lalu memberhentikan mesin treadmill tes tersebut. "Loh, kok sudah dok, saya masih kuat dok, biasanya saya lari satu jam!" protes si bapak. Raissa mengambil tekanan darah dan denyut nadi terakhir, sedangkan Alex menjelaskan, "Ya, maaf saya hentikan ya pak, saya mendapati ada irama jantung bapak yang abnormal, lihat ini.. ada tiga kali irama VT atau ventricular tachycardi yang keluar, walaupun untungnya tetap kembali ke irama jantung normal tetapi irama abnormal itu muncul, dan saya tidak mau irama itu berubah jadi VF atau ventricular vibrilation, yang artinya saat itu kemungkinan bapak sudah jatuh dan saya harus mengembalikan irama bapak dengan menggunakan defibrilator seperti yang di sinetron itu pak. yang dikejutkan itu loh..pakai listrik. Nah sekarang ayo istirahat dulu.. berbaring.. monitornya tetap dipasang dulu ya. saya mau lihat irama jantung bapak selama istirahat. Tekanan darah Sa?" tanya Alex. "160/90 mmHg dok, denyut nadi 110x/menit." jawab Raissa sambil membantu si bapak berbaring. Raissa memberikan segelas air dingin. "Wah tidak mungkin, saya sehat loh! saya rutin lari. Maksudnya saya sakit jantung dok?" tanya si bapak mulai gusar. "Ya ini buktinya pak, makanya bapak dianjurkan treadmill tes supaya tahu dan bisa mencegah kejadian yang tidak diinginkan. Sedangkan untuk mengetahui penyakit bapak, saya sarankan untuk kateterisasi jantung agar melihat langsung apakah ada sumbatan atau tidak di pembuluh darah bapak." kata Alex. "Apa??? saya harus pasang cincin nanti?" nada si bapak mulai naik. "Belum tentu, tapi kalau memang ada indikasi memang bisa langsung dipasang." kata Alex menenangkan. "Wah saya tidak terima, mungkin alatnya yg rusak! susah di cek kah alatnya? saya ini pelari, rutin tidak pernah bermasalah! Saya tidak pernah ada keluhan jantung!! pokoknya bukan saya yang bermasalah!!!" kata si bapak merajuk. "Alatnya selalu dikalibrasi pak setiap tahun. Dan ada kalibrasi hariannya pula memastikan alat selalu siap pakai." jelas Raissa lembut. "Sekarang, bapak istirahat dulu ya di UGD sambil terus dimonitor jantungnya. Bapak sendirian tidak kesini?" tanya Alex. "Bersama istri saya! Seharusnya dia juga di treadmill setelah saya. Tapi saya rasa alatnya salah. Baiklah kita lihat hasil istri saya, istri saya agak gemuk seharusnya dia lebih bermasalah dari saya!" kata si bapak masih emosi. "Ya belum tentu juga begitu pak, sekarang bapak tenang dulu, lalu istirahat dulu di UGD sambil kita monitor, nanti kita bicara lagi ya." kata Alex. Lalu Raissa mengantar ke UGD dan menitipkan si bapak pada kak Mira dan Peni. Raissa lalu langsung kembali ke ruang treadmill dimana si ibu saat ini terlihat cemas akan kondisi suaminya. "Tenang Bu, kita lihat kondisi bapak setengah jam lagi, apa bisa pulang atau harus langsung ke RS untuk kateterisasi." kata Alex. "Waduh pasti dia marah-marah. Soalnya kamu sedang mengajukan asuransi dok, kalau ada yang salah dengan kami maka premi yang harus kami bayar semakin mahal dok. Suami saya sebenarnya sudah menyediakan dana tambahan buat saya, soalnya suami saya yakin kalau saya banyak masalahnya. Tapi..." si ibu terkikik yang membuat Alex dan Raissa bingung apa yang lucu. " Tapi dari tadi yang bermasalah bapak terus hihihihi.. gula darah lah, mata lah .. sekarang jantung pula.. saya malah dari tadi lancar jaya dok!" lanjut si ibu bangga. Alex dan Raissa hanya tersenyum. "Bagus kalau begitu, Ibu dipasangkan dulu alatnya ya, saya mau memeriksa kondisi suami ibu dulu." kata Alex lalu keluar ruangan. "ayo saya pasangkan alatnya dulu. Ibu juga suka lari seperti bapak?" tanya Raissa. "Wah mana sempat!! saya sibuk di rumah! Saya tidak punya asisten rumah tangga, harus mengurus anak-anak sendiri , walaupun sudah pada kuliah tapi ada saja yang masih harus diurus oleh saya, lalu saya mengurus kebun, mengurus peliharaan saya, saya punya 3 kucing dan 5 ikan koi, kolamnya juga saya yang bersihkan. Tapi heran kok saya tidak kurus-kurus yaa hahaha.." kata si ibu sambil tersipu. "Wah hebat sekali Bu!" puji Raissa. Selesai memasangkan alat, Raissa menuntun si ibu menaiki alat treadmill. Alex kembali masuk ke dalam ruangan dan memulai test. Selama test mereka ngobrol ngalor ngidul tentang hewan peliharaan, hobi , anak-anak dan tanpa terasa test selesai dan si ibu berhasil dengan gemilang. Semua tanda-tanda vital si ibu baik-baik saja, gambaran rekaman jantungnya pun normal semua. Hanya si Ibu aja yang tampak tersengal-sengal kecapean setelah berlari. "Haduh saya olahraganya cuma bersihin kebun dan kolam ikan saja dok, saya tidak biasa lari!!!" seru si ibu. "Hahaha, selamat jantung ibu sehat, ibu minum dulu habis ini ya. Setelah itu temui saya dan suami ibu di UGD ya? Raissa nanti panggil pasien selanjutnya dan persiapkan dulu ya, aku menyusul setelah selesai dengan suami ibu ini." kata Alex. "Siap dok!" kata Raissa sambil membersihkan peralatan dan menyiapkan yang baru untuk pasien selanjutnya. Raissa pergi ke bagian medical check up untuk bertanya siapa pasien selanjutnya. "Sa, siap-siap pasien selanjutnya Pak Aditya ya!" kata Bang Ucok. "Hah? memangnya terjadwal?" tanya Raissa heran sekaligus khawatir, kenapa juga tiba-tiba Aditya minta treadmill. "Ada apa, ada keluhan kah? pasien yang lain bagaimana?" tanya Raissa cemas. "Jangan cemas, hanya pemeriksaan rutin, setiap tahun Pak Aditya selalu treadmill, tapi ya itu jadwalnya selalu tiba-tiba, kalau dia sempat langsung dilakukan, kalau tidak sempat ya sampai akhir tahun tidak dilakukan. Jadi kau terus yang kena ya Sa, hehehe.. dulu kau yang EKG, sekarang kau yang treadmill. Sabar ya!" kata Bang Ucok. Raissa hanya tersenyum lega. "Gampaangg.. kupikir sakit atau apa..mana orangnya?" kata Raissa. "Sedang kemari dari kantornya. Kau tunggu saja di ruangan. Rapihkan ruangannya, kak Mira mau saja dampingi, tapi sedang ada pasien juga di UGD, pasien yang tadi kau treadmill ya?" tanya Bang Ucok. " Ya, pasien yang tadi harus di observasi. Baiklah aku siapkan ruangannya dulu."kata Raissa sambil berbalik dan tersenyum senang, untung ia tidak berpapasan dengan orang lain. Raissa hanya merapikan dirinya, karena ruangan sudah dirapikan sebelumnya dan masih dalam kondisi yang baik siap menerima pasien selanjutnya. Pintu ruangan diketuk, Raisa membukakannya dan terlihat Aditya ditemani oleh Bang Ucok dan Bu Ade. "Selamat Pagi pak, silahkan. Dr. Alex masih ada satu pasien tapi akan segera bergabung setelah pasiennya selesai." kata Raissa mempersilahkan Aditya masuk. "Saya tunggu di ruang tunggu eksekutif pak." kata Bu Ade. Aditya hanya mengangguk lalu masuk bersama Bang Ucok. "Ya jadi pak, karena dr. Alex masih ada pasien, Raissa akan bantu mempersiapkan pemasangan alat-alat treadmill ke tubuh bapak. Nanti kalau sudah selesai Raissa akan memanggil dr. Alex." kata Bang Ucok. Lagi-lagi Aditya hanya mengangguk tanpa berkata-kata sehingga Bang Ucok jadi agak salah tingkah. "Ya.. baiklah, kalau begitu saya permisi dulu. Raissa tolong Pak Aditya di bantu ya?" kata Bang Ucok. "Siap Bang! Tenang, sudah biasaa.." kata Raissa sambil mengangkat jempolnya. "Oiyaa.. bagus.. bagus..ehmm baiklah.. saya pergi dulu!" kata Bang Ucok berbalik dan langsung kabur keluar pintu. Raissa menutup pintu. "Ini pakaian untuk treadmill dan sepatunya, silahkan Bapak berganti baju dulu di ruangan itu, atasannya jangan dikacingkan dulu supaya saya bisa memasang alat treadmill ya?" kata Raissa masih dengan nada perawat profesionalnya. "Formal banget, kan sekarang cuma berdua, kok masih panggil Bapak." kata Aditya dengan agak merengut. "Mas galak amat sih!! kasihan tuh Bang Ucok sampai salah tingkah!" kata Raisa sambil mencubit pelan lengan Aditya. "Aduh dicubit!" kata Aditya meringis. "Cuma pelan kok!" kata Raissa lalu mengusap lengan Aditya. Aditya hanya tersenyum. "Sa, Kangen!" kata Aditya pendek. "Sama, tapi mas ganti baju dulu deh biar aku pasangin alatnya. Nanti kalau dr. Alex kesini bisa habis diledekin kita kalau mas belum siap sama sekali." kata Raissa. "Bantuin dong.." kata Aditya manja. "Iyaa, aku bantu dalam doa dari sini.. ayo ganti bajunya!" kata Raissa sambil menunjuk ke arah ruang ganti. "Sadiisss pacarkuu!" kata Aditya sambil mencubit hidung Raissa gemas. Akhirnya Raissa membawakan baju Aditya ke ruang ganti dan mendorong Aditya masuk dan menutup pintunya dari luar. Tak lama kemudian Aditya keluar dengan bertelanjang dada. Aditya membusungkan dada, mengambil sepatu lari dan memakainya dengan sedemikian rupa sehingga otot-ototnya terlihat jelas. Raissa memperhatikan Aditya. Aditya menoleh dan melihat Raissa memperhatikannya, ia pun tersenyum. "Menikmati pemandangan?" tanya Aditya. " Sekalian, tapi sebenarnya aku sedang memperhatikan pembuluh darah venamu." kata Raissa lalu maju dan mengusap vena di tangan Aditya. "Vena? kenapa memangnya?" tanya Aditya heran. "Iya kalau ada apa-apa saat treadmill nanti aku harus bisa memasukan obat dengan cepat, obatnya bekerja melalui pembuluh darah, dan masuknya dari pembuluh darah vena.. makanya aku memperhatikan venamu mas." jelas Raissa. "Baiklah, ini lihatlah sepuasmu, kalau kamu ternyata tertariknya hanya dengan pembuluh darah, buat apa aku dari tadi berusaha menonjolkan otot-ototku seperti binaragawan." kata Aditya sambil menurunkan kedua tangannya. Raissa hanya tertawa, "Jangan marah dong, aku kan hanya menjalankan pekerjaan saja. Sini aku pasang alatnya." kata Raissa lalu memasangkan alat perekam jantung di tubuh Aditya. Lalu Raissa membantu Aditya memakai baju. "Aku kabari dr. Alex dulu ya?" kata Raissa. Aditya mengangguk. Raissa memutar nomor telepon UGD, kebetulan Peni yang mengangkat. "Hai Sa, cari dr. Alex ya? sebentar ya, masih menangani pasien." kata Peni. "Baik, terimakasih Pen. Kami tunggu disini." kata Raissa lalu menutup teleponnya. "Jadi kita tunggu Alex.. semoga masih lama, jadi aku bisa mengobrol dulu denganmu." kata Aditya senang. "Hahaha, maunya Mas memang begitu kan? untung hari ini aku yang jadi asisten dr. Alex. Harusnya dengan dr. Faisal juga, tapi beliau sedang ada kedukaan. Mas Tidak melayat?" tanya Raissa. "Tidak sempat, Satya sudah menjadi perwakilan kami. Untuk bertemu denganmu saja aku harus curi waktu, tadi Alex kirim pesan kalau hari ini ia menggantikan dr. Faisal dan kamu jadi asistennya. Aku langsung bilang Bu Ade untuk merombak jadwalku agar aku sempat treadmill pagi ini untuk pemeriksaan medis tahunanku." kata Aditya. Raissa hanya meringis. "Habis mau bagaimana lagi, namanya juga hubungan rahasia." jawab Raissa. "Sabar ya, bertahan dulu sementara ya?" kata Aditya. "Iya, aku ngerti kok mas, Oya.. mas sibuk banget ya? jarang kirim pesan soalnya. Katanya kangen.." kata Raissa agak merajuk. "Maaf ya, nanti kuusahakan lebih sering. Atau dalam sehari kuusahakan meneleponku. Bagaimana?" kata Aditya. Raissa tersenyum senang. Tiba-tiba Alex masuk. "Heeiii.. sedang apa kalian?? ingat ini klinik yaa.." kata Alex. " Cepat amat Lex, kamu juga kalau sama Asya disini bisa berjam-jam!" kata Aditya. "Lah aku kan terima pasien. Ayo Sa sambil dijalankan mesinnya, kau sambil lari Dit, aku harus ke RS. Bapak yang tadi akhirnya mau di kateterisasi setelah membuat drama rumah tangga di UGD dengan istrinya. Heran, bapak itu yakin banget istrinya yang punya banyak penyakit hanya karena istrinya gemuk, padahal orang kurus juga bisa saja punya banyak penyakit. Kayak kamu gitu Dit!" kata Alex. "Aku? memangnya aku kenapa? aku sehat kok!" kata Aditya dengan muka tidak bersalah. "Ah Mas kalau sakit bikin panik satu klinik." kata Raissa. "Tapi aku pengennya sakit Sa." kata Aditya. "Supaya bisa istirahat?" tebak Raissa. "Bukan, supaya bisa dirawat kamu." kata Aditya. "Woaah.. pintar merayu rupanya sepupuku ini." kata Alex. "Lex, kamu menganggu tahu tidak!" kata Aditya. "Ya bagaiman Dit, peraturan kalau sedang tes treadmill, harus didampingi oleh seorang dokter dan perawat. Ya aku terperangkap disini.. dan aku menolak jadi nyamuk atau lalat bagi kalian.. jadi ajak aku mengobrol juga!" kata Alex. Aditya hanya menghela nafas melihat sepupu tersayangnya. "Awas kamu Lex!" kata Aditya. Alex hanya nyengir. Raissa tertawa. Tak lama kemudian tes selesai dengan hasil gemilang. "Malu kamu sama Raissa kalau hasilnya jelek. untung hasilnya bagus. Sudah kembali ke kantormu, aku mau ke rumah sakit! Sa aku langsung cabut ya, sampai ketemu lagi!!" kata Alex langsung pergi. Aditya kembali berganti pakaian. Raissa masih menungguinya setelah setelah. "Aku telepon nanti malam ya? Tapi mungkin agak malam tidak apa-apa?" tanya Aditya. "Tidak masalah. Selamat bekerja! Jangan lupa makan ya mas!" kata Raissa sambil membantu merapikan dasi Aditya. "Ya sayang." kata Aditya. Raissa tersipu, pertama kali dipanggil sayang. Merekapun keluar bersama, Bu Ade langsung berdiri begitu Aditya keluar. "Kita ke kantor Bu!" kata Aditya singkat. "Baik Pak, terimakasih Raissa." kata Bu Ade. "Senang dapat membantu." kata Raissa ramah lalu mengantar keduanya sampai ke depan lift dan setelah hilang dari pandangan baru Raissa kembali membantu di bagian medical check up.
"Sa, tadi pak Aditya treadmill ya? aduh maaf dadakan ya? tapi lancar kan tadi? ada drama di UGD jadi aku tertahan disana. " kata kak Mira sambil menghampiri Raissa. "Lancar kak..tenaaang, aman kok!" kata Raissa. " Mantap Mir, Jinak Pak Aditya kalau ada Raissa. Kau jadi pawangnya pak Aditya aja Sa!" kata Bang Ucok. "Eh apa sih Abang ini! Mungkin pak Aditya lagi baik aja moodnya." kata Raissa. "Syukurlah kalau aman! kaget aku tadi waktu tahu pak Aditya mau treadmill. Sukanya dadakan melulu sih bapak satu itu! Tapi memang ya, susah dua kali ditangani Raissa sehabis itu anteng dia, biasanya sudah kesana kemari menyebutkan apa-apa saja yang salah. Makanya kita selalu sport jantung kalau beliau kemari!" kata Kak Mira. "Ah masa sih kak? secerewet itu?" tanya Raissa. "Belum tau dia Mir! Eh tapi memang akhir-akhir ini agak jinak beliau ya? seperti sedang senang terus." kata Bang Ucok bingung. "Oh ya? kenapa ya?" kata Raissa pura-pura ikutan bingung. "Raissa, ada telepon nih dari mas Bram!" kata Kak Rosa memanggil Raissa. "Oh makasih kak!" kata Raissa menghampiri Rosa yang mengulurkan gagang telepon. "Halo mas, ada apa?" tanya Raissa. "Halo Sa, aku boleh bicara denganmu tidak siang ini? bawa makan siang tidak? makan gado-gado yuk?" tanya Bram. "Kebetulan tidak bawa, oke boleh. ketemu jam makan siang ya? eh tapi boleh sama Peni juga ya? biasanya kami bersama soalnya." kata Raissa. "Boleh, tapi hanya Peni atau Asya ya, lingkaran dalam kalian lah!" kata Bram. Raissa mengerutkan kening, "Eh ada apa ini?" tanya Raissa penasaran. "Rahasia! Sampai makan siang nanti ketemu langsung di warung gado-gado ya! Daah!" kata Bram. Raissa menutup telepon dan mengerutkan kening. Apa yang ingin dibicarakan Bram. Raissa melihat jam, masih pukul 11. Masih sejam lagi. Ia pun kembali melanjutkan pekerjaannya.
Pukul 11.55, Raissa pergi ke UGD mencari Peni. "Sa, aku titip makanan dong, biasaaa.. UGD lagi sibuk!" kata Peni. "Oh baiklah, aku mau ke warung gado-gado, mau? sama Es podeng?" tanya Raissa. "Mau, makasih Sa!" kata Peni lalu kembali sibuk dengan pasiennya. Akhirnya Raissa pergi sendirian ke warung gado-gado. Ketika datang ternyata Bram sudah menunggu. "Sendirian Sa? Peni sibuk?" tebak Bram. "Iya Mas, biasalah UGD, nitip dibeliin aja katanya. Sudah pesan?" tanya Raissa. "Sudah, kamu pesan dulu deh, habis itu kita bicara."kata Bram. Raissa pun pergi memesan gado-gado tak lupa minta dibungkus satu untuk Peni. "Jadi mau bicara apa Mas? tumben pakai harus bicara hanya lingkaran dalam yang tahu." tanya Raissa penasaran. "Soal Liza Sa. Sebelumnya selamat ya, sudah jadian kan sama bapak CEO." kata Bram sambil berbisik. Raissa terkejut. Sedikit kecewa pada Liza karena memberitahu Bram. "Jangan khawatir, aku akan merahasiakannya, demi Liza juga. Liza yang minta agar aku merahasiakannya. Kemarin aku jadian dengan Liza. "kata Bram malu-malu. "Hah? Oh ya? wah selamat ya mas!" kata Raissa ikut senang. "Yah sebenarnya aku agak memaksa juga sih. Sebenarnya aku ingin meminta satu hal padamu Sa." kata Bram. "Minta apa Mas? kalau mau minta modal nikah saya juga belum punya mas, lagian cepet amat udah mau nikah?" tanya Raissa. "Bukaan.. duuh kok kesimpulannya kesitu sih. Aku cuma mau minta kamu jangan pernah bilang pada Liza kalau kamu sudah tahu duluan aku menyukainya. Kalau Liza cerita nanti, pura-pura kaget ya Sa? anggap saja baru pertama kali tahu!" kata Bram. "Oohh siaaappp!!! Liza akhirnya luluh juga denganku ya Mas!" kata Raissa. "Ya sebenarnya aku agak memaksa, dia merindukanmu Sa, intinya dia Iri denganmu karena mendapatkan keinginanmu, sedangkan dia tidak. Lalu kubilang ada cara agar dapat membuatmu iri pada Liza, yaitu dengan menjadikanku pacarnya. Jangan sakit hati ya Sa, tapi kamu pasti merahasiakan hubungan dengan pak CEO kan? sedangkan kalau Liza denganku, tidak ada yang perlu disembunyikan. Bisa tidak nanti kalau Liza cerita padamu, kamu agak-agak iri begitu?" tanya Bram. Raissa tertawa. "Pintar kau mas!" kata Raissa. "Ya habis mau bagaimana lagi, aku pengemis cintanya Liza. Dia bilang baru setengah menyukaiku, aku harus berusaha supaya jadi seutuhnya menyukaiku kan? Jantungku masih separuh berdetak kalau dia hanya setengah menyukaiku seperti ini." kata Bram. Raissa tersenyum, tersentuh dengan usaha Bram memenangkan Liza. Gado-gado mereka datang dan sambil makan Bram menceritakan detail momen Bram dan Liza jadian. Cara Bram menceritakannya membuat Raissa tertawa terpingkal-pingkal. Seperti itulah yang dilihat si topi biru. Darahnya mendidih. "Siapa yang berani-beraninya mendekati Raissaku? siapa laki-laki itu? pegawai rendahan!! masih pulang pergi menggunakan motor saja sudah berani mendekati Raissaku? Eh mau kemana sekarang berdua?" gumam si topi biru dari kejauhan. Ia terus mengamati Bram dan Raissa bersenda gurau dan dalam pikirannya ia melihat Raissa dan Bram saling berpelukan, Bram melihat ke arahnya, sengaja menertawakan dirinya. Dimana pada kenyataannya Bram dan Raissa hanya berjalan berdampingan sambil tertawa, saling menyentuh saja tidak. Sementara si topi biru sudah marah bukan main. "Oh iya lupa, aku mau beli es podeng buat Peni. Mas Bram duluan saja, aku mau beli es podeng dulu! Daah!" si topi biru mendengar Raissa berkata. Lalu Raissa dan Bram berpisah, si topi biru menggelengkan kepala, sepertinya ia salah lihat, apa mereka tadi berpelukan atau tidak ya? tapi sekarang berjalan menjauh seakan-akan keduanya tidak memiliki hubungan apapun. "Hmm, harus dipantau lebih jauh lagi! Raissa, cepatlah kamu memperhatikanku. Kenapa kamu selalu meninggalkanku?" tanya si topi biru merana. Sementara Raissa yang tidak sadar sedang diikuti, sudah selesai membeli es podeng dan kembali masuk ke dalam gedung dimana si topi biru tak pernah dapat mengikuti kesana.