webnovel

Tawaran Bram

Seminggu berlalu setelah pengumuman dibuat, aktivitas si topi biru kembali tidak terdeteksi, polisi kembali dibuat bingung karena benar-benar kehilangan petunjuk. Si topi biru seakan menghilang ditelan bumi. Namun Briptu Agus beserta timnya tidak putus asa, mereka malah merasa bahwa si topi biru sedang merencanakan sesuatu. Krena itu mereka harus lebih waspada. Membuka mata dan telinga mereka lebar-lebar. Sementara itu di Klinik Bhagaskara Medika, semua berjalan seperti biasa, hampir semua karyawan sudah sibuk dengan pekerjaan masing-masing, kejadian yang menimpa Liza seolah tidak pernah terjadi menjenguk Liza sudah jauh berkurang. Mungkin memang sudah menjadi sifat mendasar manusia cepat melupakan kejadian tertentu. Hanya Bram, Peni dan Asya yang masih reguler mengunjungi Liza. Bahkan orangtua dan adik adik Liza pun tidak tiap hari datang menjenguk, Liza memaklumi kondisi keluarganya yang sibuk dan orangtuanya yang harus bekerja keras untuk membiayai semua anaknya, Liza juga berperan penting dalam menyokong kelangsungan hidup keluarga mereka. Saat ini Liza sudah dapat berjalan pelan ke kamar mandi sendiri. Liza bertekad untuk cepat sembuh. Walaupun tempatnya bekerja meyakinkannya agar ia beristirahat dan benar-benar memulihkan diri sebelum kembali bekerja. Pak Sugih bahkan meyakinkan Liza bahwa perusahaan tidak akan memotong cutinya ataupun memotong gaji, tetap saja ia merasa tidak enak memakan gaji buta dan merasa posisinya dapat tergantikan kapanpun saja. Ada banyak perawat yang membutuhkan pekerjaan di luar sana. Pintu terbuka dan seorang polwan melangkah masuk, "Hai Liza, aku menggantikan Nina, sampai pukul 9 malam ini, lalu nanti akan ada polwan lain yang akan bertugas malam." kata Polwan itu. "Hai Maya, terimakasih ya!" jawab Liza yang kini sudah mengenal semua polwan yang menjaganya dan mereka sudah seperti teman sehingga saling menyapa dengan nama depan. Maya kembali menutup pintu dan berjaga di depan pintu. Awalnya mereka berjaga di dalam, apalagi ketika di ICCU tetapi sekarang mereka berjaga di luar, selain kurangnya aktivitas si topi biru, Liza tidak beristirahat bila polwan itu ada di dalam, karena mereka akan terus mengobrol hingga larut malam. Walaupun ada para polwan itu yang kadang mau menemaninya mengobrol kalau tidak ketahuan dokter, atau Peni, Asya dan Bram yang selalu setia mengunjunginya, Liza merindukan Raissa. Tengilnya anak itu, keberaniannya, ceplas-ceplosnya, dan Liza merasa dapat mencurahkan semua isi hatinya pada Raissa karena Raissa juga seorang pendengar yang baik. Kenapa harus Raissa yang dipilih Pak Aditya? Kenapa tidak Marisa saja? Sudah lama Liza curiga kalau Marisa juga menyukai pak Aditya. Ia membayangkan kalau Pak Aditya dengan Marisa, saat ini mungkin hatinya sedih tetapi terhibur karena ada Raissa yang akan dengan senang hati bergunjing dengannya mengenai Marisa di belakang Marisa. Berempat bersama-sama bergosip ria menertawakan Marisa sehingga melupakan kesedihannya. Sejak Asya bertunangan dengan Alex, memang mereka berempat bersatu melawan Marisa yang selalu menjelekkan Asya. "Tapi aku tak rela Pak Aditya jadian dengan Marisa, dilihat darimanapun memang bagusan Pak Aditya dengan Raissa. Tapi kok aku seperti merasa dikhianati ya?" pikir Liza sambil cemberut. "Aku harus bergunjing sama siapa lagi Sa kalau tidak sama kamu, Peni terlalu ekstrim, Asya terlalu baik. Paling pas kamu Sa, kamu bikin aku sakit perut tertawa. Lah sekarang kok kamu yang jadi bahan pergunjingan Sa. Gimana ini?" tanya Liza dalam hati tak terasa air mata menetes. Liza sedang menghapus air matanya ketika Bram masuk. "Liz, kenapa? ada yang sakit?" tanya Bram mendekati Liza yang sedang duduk menatap keluar jendela dari tempat tidurnya. "Ada Mas, hatiku sakit." ucapnya asal. "Hati? nyerinya gimana? sudah lapar dokter? sudah di tes darah belum? SGOT, SGPTmu berapa?" tanya Bram cemas. "Ya ampun mas Bram, maksudku bukan hepar!! ini urusan hatiii.." kata Liza sambil setengah tertawa melihat Bram panik. "Oohh hati yang ini?" tanya Bram sambil menunjuk dadanya bukan perut kanan bawahnya tempat hati yang sebenarnya berada. "Iyaa, hati yang ituuu.. bukan yang iniiii!!" kata Liza menunjuk dada dan perut Bram. "Ohhh.. sini-sini.. curhat sama Mas Bram..Bahu Mas tersedia untukmu kalau mau menyandar atau menangis..mau yang lain juga boleh loh!" kata Bram dengan muka serius. "Apaan sih Mas Bram ini! Aku ini lagi patah hati! Bukannya dihibur malah di gombalin!" kata Liza sambil tertawa. "Eh tapi serius Liz, memangnya siapa yang menyakiti hatimu, ayo bilang sama aku, biar ku hajar orangnya! siapa? siapa yang berani menyakiti hatimu!" kata Bram sambil berdiri dan berkacak pinggang, lalu keningnya berkerut."Eh tapi sebentar.. kamu bukannya suka sama Pak Aditya ya Liz? trus kalau kamu sampai patah hati, berarti yang bikin kamu patah hati pak Aditya dong ya? Oalaahh.. aku.. kalah.. aku kalah kalau diadu sama dia Liz?" kata Bram dengan tertunduk malu. Liza langsung tertawa terbahak-bahak. Bram juga akhirnya ikut tertawa dengan Liza. "Maaf Liz, kalau lawan bos aku tidak berani, aku dengerin keluh kesah mu saja ya?" kata Bram lagi. "Makasih Mas Bram, baru kali ini aku tertawa lepas sejak patah hati. Ngomong-ngomong, kok Mas tahu sih aku suka sama Pak Aditya?"tanya Liza penasaran. "Hah? oh sudah jadi rahasia umum kan? hampir semua orang tau, eh bukan rahasia kan ya? atau rahasia kah?" kata Bram takut Liza tersinggung. "Hehehehe, aku juga tidak menyembunyikannya sih. Aku tuh kayak nge- Fans aja kok sama Pak Aditya. Kalau Fans kan ketahuan sama semua orang. Malah kupikir pak Aditya juga tahu. Tapi dia tidak berbuat apa-apa, tetap bersikap seperti biasa seperti ke karyawan lain. Dari dulunya pun aku sudah tahu tidak ada harapan dengannya." kata Liza. "Lalu kalau kau sudah tahu kenapa harus patah hati Liz?" tanya Bram heran. Liza menimbang-nimbang apakah Bram bisa dipercaya. Instingnya mengatakan kalau Bram menyukainya dan sedang berusaha mendekatinya. Liza ragu, apalagi saat ini kondisi psikisnya agak terganggu, bila ada laki-laki asing masuk ke kamarnya ia akan langsung histeris. Liza sedang berusaha untuk tidak histeris dan mempraktekan seluruh saran-saran dari psikolog yang sedang menanganinya sekarang. Tapi sejauh ini, hanya Lelaki dalam keluarganya, Aditya, Alex, dan Bram yang berhasil ditemuinya tanpa histeris. Liza juga tidak yakin kenapa Bram masuk ke lingkaran orang-orang yang nyaman ditemuinya, mungkin karena Bram juga menolongnya saat kejadian si topi biru menyerangnya. Yang jelas saat ini Liza merasa aman dan percaya dengan Bram. "Mas, bisa jaga rahasia tidak?" tanya Liza setengah berbisik. "Bisa dong! semua paramedis yang baik pasti bisa jaga rahasia! sampai dibawa mati!"kata Bram sedikit dramatis. "Ya tidak harus sampai mati juga sih mas, sampai sudah saatnya terkuak saja rahasia ini. Tapi, untuk saat ini masih rahasia! kalau Mas membocorkannya, aku selamanya tidak akan mau bertemu denganmu lagi! mengerti?" ancam Liza galak. "Hah, segitunya? jangan dong Liz.. aku bisa jaga rahasia kok." kata Bram meyakinkan Liza. "Heheheh, iya aku percaya padamu mas." kata Liza, lalu gadis itu menarik nafas. Memikirkan lagi keputusannya, tapi dia harus bicara dengan seseorang selain pada Peni dan Asya yang jelas akan terbagi perasaannya kalau harus mendengarkan keluh kesah Liza saat ini tentang Raissa, karena Peni dan Asya walaupun mereka sahabat dekatnya, tetapi mereka juga sahabat Raissa, tidak adil menyuruh mereka memilih. Liza menarik nafas kembali dan menghembuskannya. "Sakit banget ya Za sampai pakai teknik pernafasan untuk meredakan sakit seperti itu?" tanya Bram. "hhfffttt.. Mas ini mau diceritain apa tidak sih! ganggu konsentrasi orang saja!" omel Liza. "Hahaha okeee, lagi konsentrasi toh.. kirain lagi latihan pernapasan." kata Bram sambil tertawa. "Jadi begini mas,.. janji ya, jangan bilang siapa-siapa! Janji?" tanya Liza sekali lagi. "Ya ampun, sumpah!" kata Bram sambil menaikan tangan kanan setinggi dada. "Baiklah, hhh.. jadii.. Pak Aditya sedang mendekati seseorang, sebenarnya dari awal aku sudah curiga, karena aku selalu memperhatikan gerak-gerik pak Aditya. Tapi aku mengacuhkannya, karena gadis yang diincarnya sepertinya tidak membalas perhatian pak Aditya. Dalam hati aku tertawa karena biasanya pak Aditya selalu dikejar-kejar , tapi sekarang seperti mengejar-ngejar. Tapi ternyata kegigihan pak Aditya berbuah, si gadis akhirnya memperhatikannya. Yang lebih menyakitkan gadis itu juga mengetahui aku menyukai pak Aditya. Bagusnya gadis ini dia tidak diam saja dan melanjutkan hubungan mereka dibelakangmu. Ia datang padaku dan berterus terang. Aku bilang aku tidak mau lagi berteman dengannya. Aku marah, aku merasa dikhianati oleh gadis ini. Walaupun kalau dipikir-pikir, Pak Aditya kan bukan milikku. Kalau pak Aditya memilihnya memangnya apa hakku melarang mereka? Tapi aku tetap merasa sakit. Aku malah merindukan gadis ini sekarang! Kau tahu, kalau bukan dia yang dipilih pak Aditya, seandainya pak Aditya memilih orang lain, saat ini kami sudah menginap di kontrakannya, makan cemilan yang tidak menyehatkan, menghibur diri sambil mengata-ngatai pak Aditya dan siapapun yang dipilihnya!" kata Liza sambil memegang dadanya. Air matanya kembali menggenang. Bram mengerutkan kening, "Raissa ya Za?" tebak Bram. "Iya Mas.. hiks.. hiks.."kata Liza sambil tersedu. "Hmmm kamu siap tidak mendengar pendapatku?" tanya Bram. "Pendapat apa Mas?" tanya Liza. "Kupikir, kamu bukan patah hati karena pak Aditya Liz." kata Bram. "Lalu karena siapa?" tanya Liza bingung. "Kamu lebih patah hati karena kehilangan seorang sahabat! Kamu kangen kan sama Raissa?" tanya Bram. "Iya kangen, tapi aku marah juga padanya." kata Liza. "Iya kamu cemburu, kamu iri, kamu merasa kalah karena dia yang dipilih pak Aditya. Dan kamu marah karena kamu jadi kehilangan sahabat? padahal coba kamu lihat, apa enaknya jadi Raissa. Pasti hubungan mereka harus dirahasiakan tidak boleh ada orang yang tahu kecuali sahabat dekat. Buktinya kamu saja menyuruh aku merahasiakannya. waktu Asya dan Alex bertunangan saja sudah heboh, bagaimana dengan kabar pak Aditya menjalin hubungan dengan Raissa? kalau terendus wartawan bisa gawat." kata Bram. Liza merenungi perkataan Bram. Benar juga ya, ia lebih merasa marah karena kehilangan Raissa daripada kehilangan pak Aditya. "Lalu aku harus bagaimana mas?" tanya Liza lirih. Bram mengubah posisi duduknya menjadi lebih tegap. "Aku punya obatnya Liz, obat patah hati. Dengarkan.. aku menyukaimu, dari dulu.. sudah hampir setahun ini kupendam sebenarnya hehehe.. jadi dengarkan penawaranku Liz. Jadilah pacarku." kata Bram. "Hah? Apa?" kata Liza bingung. "Dengar dulu Liz, jangan langsung menolak, pikirkanlah.. Kamu ingin tetap bersahabat dengan Raissa, tapi tidak ingin merasa kalah? jadilah pacarku, secara terbuka. Aku akan mengantar jemput kamu setiap hari. Aku akan mengajakmu pergi jalan-jalan kalau libur, aku akan mengandeng tanganmu. Secara terbuka. Taruhan!! Raissa akan iri setengah mati padamu. Karena aku yakin ia tidak dapat melakukan semua itu. Kamu tidak akan kalah lagi. Minimal kamu setara dengannya laah.. Lagipula kalau kamu keluar dari RS ini harus tetap ada yang menjagamu kan? Aku yang akan menjagamu! Bagaimana Liz?" tanya Bram serius. Liza hanya menatapnya bingung. "Aku.. aku.. aku tidak yakin perasaanku padamu saat ini mas, aku.." kata Liza terbata-bata. "Aku tahu Liz, Aku betul-betul menyukaimu. Aku tidak keberatan kalaupun kau hanya setengah menyukaiku. Maukah kau menjadi pacarku?" tanya Bram sekali lagi. "Aku.. aku.. aku merasa nyaman saat bersamamu, aku tahu aku takut dengan semua laki-laki asing saat ini, tapi tidak denganmu. Dan pendapat serta tawaranmu barusan benar-benar masuk akal bagiku. Tapi aku merasa ini tidak adil untukmu, aku merasa hanya memanfaatkan dirimu saja mas!" kata Liza. "Aku tidak keberatan!" kata Bram tegas. "Aku tidak keberatan, pikirkanlah Liza.." ulang Bram lebih pelan dan memelas. Liza pun luluh. "Baiklah akan kucoba. Aku.. aku.. setengah menyukaimu.. kamu harus tahu mas, kamu akan jadi pacarku yang pertama, aku belum pernah pacaran!" kata Liza. "Terimakasih, suatu kehormatan bagiku tuan Putri." kata Bram dengan gaya ala-ala pangeran. "Apaan sih mas!" kata Liza tersipu malu. Sedangkan Bram serasa terbang ke langit ketujuh. Biarpun Liza hanya setengah menyukainya, tidak masalah, ia akan berusaha agar Liza dapat menyukai dan mencintainya seutuhnya. "Eh, ayo coba tanya siapa namaku!" pinta Bram pada Liza. Liza bingung, tapi bertanya juga. "Perkenalkan, aku Bram, pacarnya Liza... ahaaaayyyy!!!" kata Bram. Liza menepuk jidatnya, tetapi tersenyum dan mukanya memerah. "Mas Bram, jangan norak deh!!"kata Liza. "Siapa yang norak, aku punya gelar baru nih. Aku adalah Bram Santoso S.Kep, pacarnya Liza..uhuuuyyy" kata Bram sambil mengulurkan tangannya seolah berkenalan dengan orang lain. Liza hanya tertawa melihat tingkah pacar barunya. Ia punya pacar.. ya ampun ia punya pacar. "Heii.. bukan mas saja yang punya pacar, aku juga punya! haaii.. aku Liza, pacarnya Mas Bram!" kata Liza sambil membalas uluran tangan Bram. "Saaahhh!!" teriak Bram yang diikuti tawa Liza dan keduanya mengobrol hingga larut malam itu dan Bram terpaksa disuruh pulang oleh perawat jaga yang galak karena Liza tidak dapat istirahat selama ada Bram.