"Ular? Yang benar saja," ucap Aaron tidak percaya.
Kay dan Ian juga meragukan ucapan Zesa. Hanya Zayden dan Zoe yang tidak berkomentar. Zayden membungkuk, lalu melihat ke bawah tempat tidur.
"Kamu yakin, ularnya berjalan ke sini?" tanya Zayden sambil menunjuk kolong tempat tidur.
"Aku yakin, Tuan. Tadi, ularnya berjalan ke sana," jawab Zesa dengan suara bergetar.
"Kalian berdua! Angkat ranjangnya," perintah Zayden.
"Yah, Kak …. Kakak percaya kalau di rumah ini ada ular? Masuk dari mana coba," gerutu Aaron yang tetap tidak percaya.
"Ada atau tidak, bisa dibuktikan kalau sudah dicari. Cepat angkat!" Zayden melirik tajam.
Mereka tidak bisa lagi membantah perintah kakaknya. Aaron, Kay, Ian, dan Zayden mengangkat tempat tidur itu bersama-sama. Ranjang king size itu terlalu berat diangkat oleh dua orang.
"Ah! I-itu ularnya!" pekik Zesa saat tempat tidurnya dipindah.
Seekor ular sanca batik yang cukup besar sedang melingkar di lantai yang semula terhalang tempat tidur. Aaron, Kay, dan Ian terperangah. Sejak dulu, mereka tidak pernah melihat ada ular yang bisa masuk ke rumah itu, apalagi masuk ke kamar.
"Sial! Beneran ada ular," maki Kay.
"Bagaimana menangkapnya? Itu terlalu besar dan aku takut, hehe …." Aaron mundur dan bersembunyi di belakang adiknya, Zoe.
"Ck! Ular itu tidak lebih berbahaya darimu, Buaya," ejek Zayden.
"Pfftt …." Zesa menutup mulutnya yang sangat ingin menertawakan Aaron. Istilah itu sangat cocok untuk Aaron yang memang terkenal sebagai buaya darat.
Tap! Tap! Tap!
"Permisi, Tuan muda," ucap seorang pelayan laki-laki dari mansion utama.
"Ada apa? Tumben kemari," kata Ian.
"Saya mendengar suara teriakan dari sini. Mungkinkah, ular milik tuan besar masuk ke rumah ini?" tanya pelayan itu.
"Apa? Jadi, papa yang memelihara ular ini," pekik Zoe dengan mata membulat.
"Aku baru tahu kalau, papa suka memelihara hewan seperti ini," sambung Zayden.
"Sebenarnya, itu bukan milik tuan besar. Kemarin, ada seorang kenalan tuan besar yang memberikan ular itu sebagai kenang-kenangan perpisahan. Teman tuan besar hendak pindah ke Singapura dan dia adalah seorang pecinta hewan melata," papar pelayan menjelaskan panjang lebar kepada mereka.
"Apa kau bisa menangkapnya?" tanya Aaron kepada pelayan itu.
"Bisa, Tuan muda. Saya akan menangkap dan membawa ular itu," jawab pelayan.
Pada dasarnya, ular sanca tidak berbisa. Namun, ia bisa meremukkan tulang manusia jika ia membelit tubuh. Pelayan itu merupakan pelayan khusus untuk merawat hewan. Dia baru dipekerjakan oleh Damar beberapa hari yang lalu.
Setelah menangkap ular itu, pelayan laki-laki itu segera pergi dari mansion Zayden. Mereka mengembuskan napas lega. Aaron segera berdiri tegak, keluar dari tempat persembunyiannya.
Zesa terduduk lemas. Sejak kecil, ia memang sangat takut dengan beberapa jenis binatang. Bukan cuma ular saja, tapi juga binatang lain seperti, ulat, cacing, lintah, dan banyak lagi yang lainnya.
Saat melihat binatang yang ditakuti, ia bisa menangis ketakutan. Untung saja ia masih bisa bertahan untuk tidak menangis di depan para tuan muda itu.
Jika berada di rumah, ia pasti sudah berlari sambil menangis ketakutan. Sang ibu yang dengan tenang menghalau binatang itu, meski sebenarnya ia juga takut. Namun, seorang ibu akan menjadi berani jika demi melindungi buah hatinya.
"Kamu aman sekarang," ucap Zoe sambil berjongkok di depan Zesa.
"Kamu harus pergi mandi atau kamu bisa sakit nanti. Pergi ke kamarmu!" Zayden menarik tangan Zoe agar berdiri dan pergi mandi. "Kalian juga, pergi sana!"
Zayden mengusir mereka tanpa pengecualian. Mereka tidak bisa membantah, meski masih ingin tinggal. Mereka juga mengkhawatirkan Zesa yang masih trauma.
Gadis mana yang tidak trauma setelah melihat ular yang sangat besar berada di kamarnya? Apalagi, Zesa memang takut dengan binatang itu. Rasanya seperti kakinya tiba-tiba tidak bertulang, hingga ia menggelosor turun dan terduduk lemas di lantai.
"Bangunlah," kata Zayden sambil mengulurkan tangannya. Ia tidak pernah peduli kepada seorang gadis, tapi sikapnya berbeda terhadap Zesa.
Gadis itu sedikit ragu untuk meraih tangan Zayden. Namun, tatapan mata yang teduh dan berbeda dari biasanya, seakan menghipnotis gadis itu. Ia perlahan mengulurkan tangan ke atas, meraih tangan Zayden yang ternyata tidak sedingin sikapnya selama ini.
"Kamu bisa sakit kalau duduk di lantai. Apa masih takut?" tanya Zayden dengan lembut.
Zesa mengangguk. Ia duduk di tepi tempat tidur, tapi matanya terus berkeliling ke setiap sudut. Sosok ular itu terus terbayang di matanya, membuat sekujur tubuh Zesa gemetar.
Grep!
"Jangan takut. Masih banyak kamar kosong di mansion ini. Pindah saja ke kamar yang lain," ucap Zayden sambil memeluk gadis itu dengan lembut.
'Hangatnya …. Apakah pelukannya selalu sehangat ini?'
Zesa sempat terhanyut dalam pelukan laki-laki itu. Namun, ia akhirnya sadar dan segera mendorong Zayden. Mereka tidak seharusnya berpelukan seperti itu, karena mereka bukan pasangan kekasih.
"Terima kasih, Tuan muda. Saya sudah lebih baik. Sa-saya akan mencari kamar yang lain," kata Zesa dengan jantung berdebar-debar tidak beraturan. Ia meninggalkan Zayden di kamar itu.
Laki-laki itu masih menatap kedua tangannya yang tadi memeluk Zesa. Apa yang dilakukan Zayden sama sekali tidak disengaja. Ia refleks memeluk Zesa saat melihat gadis itu ketakutan.
"Apa yang sudah kulakukan? Tch! Aneh," gumamnya sambil mengedikkan bahu. Ia tidak mengerti perasaan apa yang membuat ia begitu peduli pada gadis itu. Apakah karena takut gadis itu melarikan diri dari kontrak mereka? Jawabannya tidak bisa ditemukan oleh Zayden.
Ia melanjutkan jadwalnya bersama Aaron. Mereka pergi ke tempat gym langganan. Sudah lebih dari sepuluh tahun mereka menjadi member di tempat itu.
Zoe, Kay, dan Ian. Mereka yang awalnya ingin beristirahat, terpaksa mengurungkan niat. Ketiga tuan muda membantu membawa barang-barang milik Zesa ke kamar yang lain.
Zesa sudah menolak bantuan dari mereka, tapi ketiganya bersikeras ingin membantu. Di rumah itu tidak ada orang lain selain mereka, ibu pengasuh, dan Zesa yang belum lama tinggal di sana. Mereka tidak suka dikelilingi banyak pembantu karena merasa tidak nyaman.
Hal itu juga yang membuat kelima pandawa itu memilih pisah mansion dengan Damar. Hanya ada beberapa pengawal di pintu gerbang. Mereka tinggal di paviliun belakang dan jarang masuk ke rumah kecuali sangat penting.
"Terima kasih, Tuan muda Kay, Tuan muda Ian, dan … Zoe. Saya sudah merepotkan kalian," ucap Zesa dengan rasa tak enak hati.
"Tunggu dulu! Kenapa kamu memanggil aku dan Ian dengan sebutan tuan muda, tapi Zoe tidak? Apa kau tidak merasa pilih kasih?" tanya Kay dengan kesal.
Zesa menganga dengan pertanyaan Kay. Ia memanggil Zoe tanpa embel-embel tuan muda, karena itu permintaan Zoe sendiri. Zesa mana berani memanggil Kay dan Ian dengan nama secara langsung.
*BERSAMBUNG*