webnovel

Minggu yang memusingkan

"Tidak boleh! Zesa cuma boleh panggil namaku saja. Kak Ian dan Kak Kay jangan ikut-ikutan," protes Zoe.

"Kami, kan, sama denganmu. Kenapa Zesa tidak boleh memanggil nama kami? Jangan, jangan …."

Kay menunjuk Zesa dan Zoe bergantian. Matanya menatap penuh selidik terhadap keduanya. Sementara, kedua manusia berlainan jenis yang dicurigai itu hanya bisa tersipu dengan wajah merah bak tomat cherry.

"Beneran?" Ian bertanya untuk memastikan karena melihat keduanya tersipu malu-malu.

"Tidak, Tuan muda Ian. Bagaimana mungkin saya … punya hubungan sama tuan muda Zoe," jawab Zesa dengan cepat.

Wajah Zoe mendadak murung. Entah jawaban apa yang ingin didengarnya? Kenyataan bahwa mereka memang tidak memiliki hubungan spesial sedikit mempengaruhi mood Zoe.

"Ah, syukurlah. Aku kira beneran ada hubungan spesial," ucap Ian.

"Kalau begitu, mulai sekarang kamu harus memanggil nama kami juga," perintah Kay.

"Hah? Tidak mau! Nanti saya dipecat sama tuan muda Zayden." Zesa menolak dengan tegas. Ia tidak berani membayangkan konsekuensinya jika ketahuan oleh Zayden. Laki-laki yang paling menakutkan dibanding empat tuan muda lainnya.

"Kenapa kamu berani memanggil nama Zoe kalau kamu takut sama kak Zay?" Ian mendekatkan wajahnya ke wajah gadis itu.

Zesa memundurkan wajahnya hingga punggungnya melengkung. Karena tidak mampu menahan beban tubuhnya, ia hampir terjengkang. Beruntung Kay berdiri tidak jauh darinya.

Kay menahan tubuh Zesa dari belakang, sedangkan Ia menahan tangan dan pinggang Zesa dari depan. Pemandangan yang cukup membuat Zoe semakin geram sehingga laki-laki itu memilih pergi dengan wajah kusut seperti pakaian yang belum disetrika. Sementara itu, Zesa sedang dilanda rasa gugup berada diantara dua laki-laki tampan.

'Ya Tuhan! Apa mereka tidak tahu kalau jantungku hampir meledak. Aku harus segera pergi dari sini.'

"Terima kasih, Tuan muda. Kalian bisa lepaskan saya sekarang," pinta Zesa.

"Tidak mau!"

"Ya. Aku juga tidak mau!" Kay menimpali ucapan Ian.

Zesa mencoba untuk melepaskan diri. Namun, kekuatan gadis itu tidak ada apa-apanya dibanding dua laki-laki bertubuh bugar itu. Gadis itu pun tersenyum dan berhenti memberontak.

"Jadi, apa yang harus saya lakukan agar kedua Tuan muda yang tampan ini melepaskan saya?" tanya Zesa sambil memasang wajah imut yang dibuat-buat.

"Panggil nama kami mulai sekarang. Soal kak Zay, kami akan menjelaskan kalau kami yang memintanya sendiri," jawab Kay.

"Betul. Panggil saja nama kami supaya kita lebih akrab," ucap Ian menambahi ucapan kakak ketiga.

"Kenapa kalian harus membuatku serba salah begini? Aku bekerja di sini karena punya masalah dengan kakak pertama kalian. Kalau aku membuatnya marah, masa kerjaku akan diperpanjang," keluh Zesa dengan wajah tertunduk.

"Hah …. Ya sudah. Panggil saja seperti biasanya," ketus Ian sambil melepaskan pelukannya di pinggang gadis itu. Ia berlalu pergi, disusul Kay yang berlari kecil mengejarnya di belakang.

"Mereka ini merepotkan sekali. Cuma gara-gara aku manggil nama ke tuan muda Zoe, mereka memintaku untuk memanggil nama mereka. Kebayang, tuh, tuan muda Zayden melotot terus marah-marah. Hiii …."

Zesa berlari keluar dari kamarnya. Sebelum para tuan muda yang sedang pergi nge-gym itu pulang, ia harus menyiapkan makan malam. Makanan yang tidak pernah berubah setiap harinya. Bedanya, hari ini ia menyiapkannya seorang diri.

Bu Sumirah masih belum kembali, padahal asisten wanita paruh baya itu berjanji kepada Zesa untuk pulang sore ini. Namun, sepertinya ia sedang menikmati masa liburan santai setelah ada orang yang bisa menggantikannya mengurus para tuan muda. Ia sudah lama mengajukan pengunduran diri dan ingin menikmati masa tuanya di kampung, tapi kelima tuan muda itu tidak memberi izin.

Zayden, Aaron, Kay, Ian, dan Zoe. Mereka tidak hanya menganggap Sumirah sebagai asisten rumah tangga dan pengasuh, tapi sebagai ibu mereka. Sampai kapan pun, mereka tidak akan mengizinkan wanita itu pergi dari mansion. Apalagi, mereka tahu bahwa Sumirah hidup sebatang kara.

Grep!

"Akh!" pekik Zesa. Ia berbalik dan mendorong laki-laki yang tiba-tiba memeluknya dari belakang. Laki-laki itu tersungkur menabrak tempat sampah kecil di dekat rak piring.

Bruk!

"Tu … Tuan muda Aaron! Maafkan saya," ucap Zesa sambil bergegas membantu laki-laki mesum itu bangkit. Ia menarik kursi dan mendudukkan laki-laki itu di sana. "Anda baik-baik saja, Tuan muda?"

"Aku terjatuh cukup keras. Apa kamu itu pesumo? Kuat sekali tenaganya," gerutu Aaron.

"Itu karena Anda tiba-tiba memeluk saya." Zesa membela diri. Ia tidak bisa tinggal diam saat laki-laki itu terus berusaha melecehkannya. Sejak ia bekerja di rumah itu, Aaron sering sekali tiba-tiba memeluknya.

"Karena aku sedang mengejarmu. Aku sudah mengatakannya kemarin," jawab Aaron dengan santainya.

"Jangan bicara sembarangan! Kamu pikir dia itu pantas buat dikejar?" Zayden datang dengan tubuh bagian atas polos tanpa kain sama sekali. Ia baru saja tiba dari gym bersama Aaron. Awalnya dia sudah membuka baju dan hendak mandi. Tapi, teriakan Zesa membuatnya berlari keluar dari kamar mandi.

'Mulut tuan muda yang satu ini memang pedas, ya. Kalau mau membantuku, tidak harus menghinaku juga, kan. Memang benar-benar laki-laki menyebalkan.'

Zesa menggerutu dalam hati. Walaupun ia tidak secantik miss universe, tapi ia juga tidak termasuk jelek. Jika ia mau, banyak laki-laki di luar sana yang mengejarnya. Hanya saja, Zesa tidak ingin menjalin hubungan dengan laki-laki mana pun. Ia hanya ingin bekerja, bekerja, dan terus bekerja demi menyambung hidupnya dan sang ibu.

"Pantas, Kak. Dia, ini, cantik. Terus, tubuhnya juga bagus," jawab Aaron sambil menarik pinggang gadis itu hingga terduduk di pangkuannya.

"Lepaskan saya, Tuan muda! Gurauan Anda tidak lucu sama sekali," protes Zesa sambil memberontak. Ia bangun dari pangkuan Aaron dan melanjutkan tugasnya. Untung saja ia sedang memasak sup, jika sedang menggoreng, sudah pasti gosong semua masakannya.

"Pergi ke kamar dan mandi sana! Kerjaanmu menggoda wanita saja. Cepat mandi, lalu datang ke ruang makan," perintah Zayden dengan wajah dinginnya. Kalau wajah suramnya itu sudah keluar, keempat adiknya tidak akan berani melawan.

"Ya," jawab Aaron dengan wajah lesu. Ia berjalan pergi menaiki tangga.

"Kamu!"

"Astaga! Saya tidak tuli, Tuan. Anda bisa memanggil saya dengan normal, kan? Tidak perlu membentak. Saya bisa mati muda karena jantungan kalau begini," celetuk Zesa. "Ups …." Ia segera menutup mulutnya. Ia sudah keceplosan bicara macam-macam di hadapan laki-laki itu. Kini, ia tidak berani menatap wajahnya.

Zayden kesal mendengar gadis itu menggerutu panjang lebar, tapi entah kenapa ia tidak marah. Ia menghela napas panjang. "Jangan lupa bawakan secangkir kopi ke kamar setelah makan malam nanti," perintahnya. Setelah itu, ia pergi melanjutkan mandinya yang tertunda.

Zesa menatap punggung laki-laki yang sedang menaiki anak tangga itu dengan mata membulat. Mulutnya menganga lebar. Ia tidak percaya bahwa laki-laki itu tidak memarahinya.

"Dia … sehat, kan," gumam Zesa.

*BERSAMBUNG*