webnovel

Our 6th Anniversary

Alex dan Leon berpacaran. Antara mahasiswa dan murid SMA. Sama-sama lelaki. Di Indonesia, mereka berhubungan dan tetap menjaga hubungan itu selama 6 tahun meskipun tidak diakui sekitar. Di anniversary ke-6, Leon ingin hubungan mereka dirayakan dengan cara sederhana. Yang penting berdua. Namun bisakah Alex yang sudah menjadi Asisten Dosen dan sibuk luar biasa memenuhi keingin kekasihnya itu? CEK Karya LGBT-ku yang paling bagus juga ya!! JUDULNYA "MIMPI" :") FOLLOW IG-ku juga ya!! @Mimpi_work Terima kasih :")

Om_Rengginnang · LGBT+
レビュー数が足りません
17 Chs

2 Empat Jam Lagi Bertemu

Di kampus, ruang kelas semakin lengang sejak waktu istirahat dimulai. Para mahasiswa sibuk membereskan meja dan bersiap-siap keluar dari ruangan itu.

Minus beberapa yang bisa dihitung jari. Dan Leon adalah salah satunya.

Di mejanya, dia sedang mencatat dengan tulisan cepat. Bentuknya agak miring ke kanan dengan khas agak berantakan.

Rama yang memandangnya dari kejauhan langsung mendekat. "Oi, aku mo ke galeri ntar siang. Sama Dea dkk juga. Mau bareng nggak? Daripada sendirian gitu..."

Leon melirik sekilas. "Nggak usah. Makasih. Aku udah ada temen kok hari ini." Katanya. Tetap fokus mencatat di buku.

"Serius?" tanya Rama.

"Iya, nanti sama Kak Alex..." jawabnya sekenanya.

"Oh... gitu," senyum Rama."Ya udah aku duluan ya."

"Hn."

Begitu Rama pergi, Leon baru selesai menulis semua catatannya. Dia melepas kacamata minus itu. Lalu menggerutu. "Akhirnya kelar juga, ck." Katanya sebal. "Rasanya pengen buang benda ini tapi butuh-huft..." keluhnya lagi.

Meskipun begitu, senyum kecil mendadak terbit setelah ia menilik arloji di tangan.

"Empat jam lagi ketemu Kak Alex. Gak papa deh." Katanya senang.

"Baik, cukup itu saja untuk hari ini," kata Alex. Dia menyapu pandangan ke seluruh mahasiswanya di kelas. "Soal bimbingan skripsi dan lain-lain kalian bisa tanyakan langsung nanti ke Pak Ari. Namun, jika beliau ternyata masih sulit dihubungi, kalian boleh tanya ke saya juga di luar jam pelajaran-yah selama saya luang." Lanjutnya mengkahiri.

"Oke, Senior..." sahut mereka nyaris bersamaan.

Alex pun keluar dari ruangan itu sambil menenteng tas selempang hitamnya. Dia menilik arloji dan tersenyum tipis. "Masih ada waktu buat ngambil paketannya sebelum jalan..." gumamnya pada diri sendiri.

Mendadak suara seorang mahasiswi terdengar memanggilnya dari belakang. "Kak Alex AsDos, tolong tunggu!"

Alex pun menoleh. "Ya?"

Mahasiswi berambut panjang itu buru-buru berlari mendekat.

Ombre rambutnya yang separuh merah separuh pirang berkilau terang di bawah cahaya mentari. "Anu maaf saya ganggu sebentar, ya Kak!" katanya dengan nada urgen.

"Iya gak papa," kata Alex. "Emang ada apa ya?"

Si mahasiswi segera membuka printing hardcopyskripsinya di depan Alex. "Yang ini... rasanya agak bingung mau susun bab 3 skripsi saya, Kak," katanya sambil menunjuk satu spot page dengan cepat. "Bagian ini... perasaan kemarin saya udah koreksi ulang waktu kerja kelompok. Cuman kata temen-temen emang ada yang janggal dikit. Jadi, misal nanti kakak periksa gimana? Saya masih ragu kalo Cuma diperiksa mereka... hehe..." cengirnya. Manis sekali, walau lama-lama malah kelihatan dimanis-maniskan.

Andai tidak mustahil, Alex benar-benar ingin tertawa ngakak di dalam hati sekarang juga.

"Astaga... si caper lagi. Entah yang keberapa ini..." batin Alex.

Meskipun begitu, Alex tetap saja memasang senyum pada akhirnya. "Iya, tapi saya gak janji bisa cepet loh," katanya sambil menerima bendelan printing itu. "Lagian saya juga ada acara siang ini. Emang perlunya kapan?" tanyanya langsung, ketika si mahasiswi mulai berekspresi masam.

"Mn.... nggak cepet-cepet juga nggak papa kok Kak," katanya dengan nada berat. "Yang penting akhir pekan ini udah bisa ngelanjutin ke Bab 4. Hehe..." lanjutnya.

"Oh, gitu," kata Alex. "Okelah. Kamis depan mungkin udah selesai kuperiksa, hm?"

"Iya, Kak," kata si mahasiswi "Kalau begitu terima kasih banyak ya..."

Senyum Alex melebar beberapa mili. "Bilangnya nanti aja deh kalau udah kubalikin," katanya dengan nada bercanda. "Dan gak perlu ngarep koreksian perfect loh ya. Soalnya saya bukan Prof. Ari..."

"Iya, Kak..."

"Kalau begitu saya duluan."

Alex langsung berbalik tanpa menunggu tanggapan dari si mahasiswi. Sengaja kelihatan buru-buru biar juniornya itu tidak berharap lebih simpatinya. Haha...

"Dasar...Mau berusaha kayak apa pun gak bakal ngefek, tahu..." batin Alex lagi. Senyumnya yang kelihatan photo-catching berubah jadi seringai lebar saat itu. "Sekarang tinggal beresin yang di ruang Dosen. Abis itu langsung jemput Panda deh. Hmn..."

Jam dinding menunjukkan pukul tujuh malam ketika Alex mulai mengeprint segala berkas yang dia butuhkan buat bahan ajar besok.

Terlalu bersemangat membuatnya bekerja setengah jam lebih cepat daripada biasanya. Yah walaupun matanya serasa ingin lepas saja sejak tadi. Tapi untung, waktu yang tersedia masih cukup untuk menyelesaikan semuanya. Bahkan mungkin lebih kalau nanti dia sekedar mandi kilat dan ambil paketannya di apartemen.

"Hufft..." desah Alex pelan. Dia melemaskan punggung di kursi kantor beroda sembari memejamkan mata.

Sejenak. Dan memang tidak ada satu menit.

Dirinya mau tetap terjaga dari lelah atau apapun khusus hari ini. Karena yang merasakan itu pasti bukan hanya dirinya, ya kan?

Sayangnya proses printing memang tidak secepat itu karena beberapa lembar ada yang bergambar referensi. Hahh... membosankan sekali.

"WA dulu aja lah. Kali aja ada yang lupa nantinya..." gumam Alex pelan. Ia lalu berdiri dan melangkah menuju meja kopi. Di sanalah ponselnya tergeletak dengan mode silent agar tidak mengganggunya selama bertugas. Namun, belum sampai dia menyentuh benda mungil itu-mendadak pintu ruangan terbuka dengan suara bantingan yang keras.

BRAKH!

Alex refleks menoleh. "Pak Ari?" kagetnya.

Sebab Pak Ari yang katanya mau izin memang nyata-nyata berdiri di sana waktu itu. Tepat di ambang pintu tapi tidak serapi biasanya dalam berpenampilan.

Mukanya pucat, jaketnya lusuh, syalnya kusut dan tampak basah di bagian dada. Entah kenapa. Padahal di luar sana tidak hujan. Rintik-rintik saja nihil samasekali.

"Selamat malam, Alex..." kata Prof. Ari serak.

Dosen Teknik Sipil untuk tingkat akhir itu tersenyum lemah. Dia juga menekan pelipis seolah-olah merasakan lima ton beban di dalamnya "Boleh... saya minta tolong lagi nggak-"

Brugh!

"LOH PAK! HATI-HATI!" teriak Alex. Refleks dia berlari dan mencoba menahan tubuh limbung Prof. Ari saat menabraki meja dokumen-dokumen skripsi.

Gelas ATK berguling... beberapa pulpen dan pensil pun berjatuhan dari sana, sebelum kemudian menggelinding di permukaan lantai.

"Hahh... hahh..." desah Prof. Ari sambil menekan dadanya. Pria 46 tahun itu terlihat begitu kesulitan bernafas tiba-tiba.

Panik. Alex pun segera menendang kaki kursi terdekat agar bergeser ke sisi Prof. Ari dan mendudukkannya disana. "Asma Bapak kambuh lagi ya?" tanyanya kebingungan.

"UH-iya, hahh... hahh..." keluh Prof. Ari. Tampak sakau seketika.

"Kontak mobil saya... hahh.... hahh... di saku jaket." Katanya kesusahan

"Apa, Pak?" tanya Alex. Takut salah dengar. "Kunci mobil?"

"Iya..." tegas Prof. Ari. "Tolong antar saya... pulang segera. Obatnya... saya tadi kelupaan di ruang tamu... hahh... hahh-kamu bisa bawa mobil kan sekarang?"

"Ah, iya tapi-" kata Alex. Tapi mendadak kalimat selanjutnya tertelan begitu saja. Karena tak mungkin dalam situasi seperti sekarang dia bilang belum terlalu mahir kan? "-ah IYA. Tentu saja saya bisa. Memang siapa yang selama ini mengajari saya? Cepat pegangan saya Pak!" serunya. Urgen.

Tanpa berpikir lagi, Alex pun segera memapah keluar Prof. Ari. Membantunya berjalan ke sepanjang koridor yang mulai benar-benar sepi, minus satpam gerbang dan satu-dua dosen yang juga baru mau pulang.

Tak ada satu pun mahasiswa dan mereka hanya bisa bengong di kejauhan.

Ah, tidak. Paling-paling kaget waktu melihat Prof. Ari mulai batuk-batuk.

"Ya ampun! Pasti Prof. Ari kambuh lagi, Bu!"

Dosen perempuan di sampingnya berkerudung dan ikut syok.

"Astagfirullah iya..." dan dia kelihatan ingin mendekat juga untuk membantu, tapi juga menahan diri karena ingat bukan muhrim. "...nak Alex bisa sendiri ndak itu, ka?!" serunya segera. Logatnya masih Batak campur sedikit Sunda meskipun Bahasa Indonesianya sudah lumayan bagus.

"Bisa, Bu. Ini diusahakan!" seru Alex sebisanya. Dan akhirnya dia memang berhasil membawa Prof. Ari kembali ke mobilnya meskipun pria paruh baya itu langsung ambruk di jok belakang begitu saja. "Maaf, Pak! Tahan sebentar bisa, ya! Saya bakal kebut kok sampai rumah nanti!" lanjutnya sambil memutari mobil dan segera memegang tuas kemudi.

Dalam hitungan detik. Begitu mesin menyala, Alex langsung melesatkan mobil audi hitam itu keluar dari parkiran.

Langsung menyasar tujuan.

.

.

Lupa sepenuhnya, mengenai ponsel di atas meja kopi yang terus bergetar dengan panggilan missed call lebih dari tiga.