webnovel

Our 6th Anniversary

Alex dan Leon berpacaran. Antara mahasiswa dan murid SMA. Sama-sama lelaki. Di Indonesia, mereka berhubungan dan tetap menjaga hubungan itu selama 6 tahun meskipun tidak diakui sekitar. Di anniversary ke-6, Leon ingin hubungan mereka dirayakan dengan cara sederhana. Yang penting berdua. Namun bisakah Alex yang sudah menjadi Asisten Dosen dan sibuk luar biasa memenuhi keingin kekasihnya itu? CEK Karya LGBT-ku yang paling bagus juga ya!! JUDULNYA "MIMPI" :") FOLLOW IG-ku juga ya!! @Mimpi_work Terima kasih :")

Om_Rengginnang · LGBT+
Not enough ratings
17 Chs

3 Ada Masalah Apa Kamu, Alex?

Di depan cermin, Leon berdiri dengan muka masam yang langsung memantul jadi dua. Dia mendengus ketika mengakhiri panggilannya yang ketujuh.

"Kemana sih orang itu?" katanya sebal. "Ditelpon gak diangkat. Di-WA gak di-read. Padahal online juga-lagian masak jam segini belum kelar juga sih?"

Rama, yang juga sedang siap-siap dengan ransel mungilnya menoleh. "Kenapa lagi Leon? Kok betean lagi sih-"

"Nggak tuh. Siapa juga yang bete," sela Leon tanpa berpikir.

"Lah? Terus kerutan di dahi itu apaan?" tanya Rama.

"Tauk. Gua cuman lagi dapet!" jawab Leon ngasal. Sambil ngeloyor begitu saja ke lemari dan memilih-milih pakaiannya.

"Heee? Bukannya dapet Cuma buat cewek?" bingung Rama. Keningnya ikutan mengerut melihat Leon bisa berganti baju sekilat itu.

"Lupain aja omonganku, aku berangkat," kata Leon, sambil menyambar headphone-nya dari atas meja.

"Hoi kamu yakin lagi nggak papa, Leon?" tanya Rama.

"Berisik!" sahut Leon begitu keluar dari pintu.

Rama hanya bia geleng-geleng kepala setelah itu. "Kenapa lagi sih anak itu..."

.

.

.

"Hati-hati, Pak minumnya..." kata Alex cemas. Dia duduk tepat di samping Prof. Ari yang terbaring lemah di sofa panjangnya begitu saja. Mereka di ruang tamu dan dia tetap menggenggam gelas berisi air putih itu sampai disuruh menaruhnya di meja saja.

"Kamu ini, berlebihan, Lex.." kata Prof. Ari sambil menghirupi inhaler mungilnya di mulut. Sesekali. "Udah kok. Saya nggak papa sekarang. Makasih ya udah ngebantu saya. Padahal tadinya Cuma pengen ambil berkas cerai saya yang ketinggalan di lac-"

"Bapak nggak usah mikir begitu lah. Saya kan Cuma ngelakuin yang seharusnya Pak," sahut Alex cepat. "Emang apa yang sudah terjadi Pak? Bukannya bapak udah lama nggak kambuh begini?"

Ditanya begitu, Prof. Ari melengos, tapi tetap saja menjawab pelan. "Aku dan Erena," katanya tersendat. "Kami jadi cerai, dalam waktu dekat."

"Ahh... iya," desah Alex. Benar-benar lupa kalau ada masalah serius yang dialami Prof. Ari karena kepanikan yang belum reda. "Maaf saya bertanya, Pak."

Prof. Ari tersenyum tipis, meskipun tetap tidak menoleh ke Alex kembali. "No, it's okay by now." Katanya parau. "Emang itu salah saya kenapa kurang mampu merawat istri saya dengan baik-maksudku dari berbagai segi hal."

"Oh, begitu." Desah Alex. Mencoba mengerti meskipun asalnya tidak benar-benar bisa.

Kali ini Prof. Ari menoleh. "Kamu sendiri, apa bener nggak papa nolongin saya malam-malam begini?" tanyanya. "Ini hampir jam sembilan malam loh. Kamu nggak istirahat dari tadi pagi kan?"

DEG

Ditanya begitu, seketika dada Alex berdebar keras.

Bukannya takut jam tidur terlanggar atau kelelahan yang merusaknya, tapi... lebih kepada bagaimana keadaan orang yang paling dicintainya saat ini.

"Astaga, Leon!" batin Alex syok.

Prof. Ari refleks mengerutkan kening ketika mellihat ekspresinya.

"Ahh... kamu kelihatan mikir sesuatu, Lex. Apakah ada masalah?"

.

.

.

Leon di kafe. Menilik arloji sekali lagi dan meletakkan gelas jus keduana yang dipesannya. Dia berhenti main game dan menilik WA-nya untuk Alex yang terakhir kali.

Kak, aku udah nunggu di kafe biasa. Jangan telat.

Dan WA itu hanya bertanda cawang dua tanpa cahaya biru. Waktu terimanya sudah satu setengah jam lalu. Membuat mood main game-nya habis dan mood menunggunya hilang seketika.

"Tandanya online tapi begini," dumalnya pelan. "Kalo nggak bisa setidaknya ngabarin kek."

Belum selesai acara bersungut-sungutnya, mendadak seorang waiter menghampiri mejanya dengan sebuah nampan kosong.

"Permisi, Kak. Apa boleh saya ambil gelas yang sudah kosong?" tanyanya. Ahh... pengusiran halus. "Soalnya hari ini pelanggan kami sedikit lebih banyak dari biasanya, hmm..." senyumnya. Palsu.

Leon pun paham. Dia berdiri dari sana dengan sedikit guncangan di meja. "Kalau begitu ambil aja. Lagian aku juga udah selesai." Katanya kesal. Lantas keluar dari kafe dengan langkah menghentak setelah membayar bill di resepsionis.

Di halaman kafe, Leon menendang batu kecil sampai melesat ke jalan raya.

Menggelinding jauh begitu saja hingga dilindasi berbagai macam ban kendaraan. "CK. BODO. DARIPADA GINI AKU PERGI AJA SENDIRI." Katanya kesal.

Dan bahkan kekesalannya itu sampai menciprat ke sopir taksi yang dihentikannya. "Apa liat-liat?!" bentaknya kasar. Waktu sekilas melihat si sopir mengintip lewat kaca depan. "Aku lagi sebel, tahu. Jadi jangan macam-macam dan jalan aja oke?" katanya.

Seolah-olah bermonotom. Sebab si sopir pun Cuma memfokuskan diri ke jalan raya setelah itu. Tanpa komentar. Tanpa protes apalagi marahan. Dan ya... walaupun dia sempat melirik sekilas saat mendengar suara nafas memburu pelanggannya yang satu itu.

Nafas yang memburu karena emosi. Bukannya masalah logika lain.

Dan genangan di pelupuk mata Leon lah bukti nyatanya.

"Anak ini udah gede kan..." batin si Sopir. "Baru kali ini lihat yang mau nangis gini..."

.

.

.

Alex lagi-lagi panik memarkir mobil audi hitam itu dalam hitungan detik. Dia hampir lupa untuk hati-hati memperlakukan properti orang sejenak tadi.

Sampai kemudian dia segera meloncat keluar dari kursi kemudi, lalu menyasar pintu masuk kafe biasanya yang Leon bicarakan.

Brakh!

Klinting-ting-ting....

"Sedang mencari siapa, Mas?" tanya si petugas resepsionis. Alex pun langsung menghampirinya.

"Yang pesan meja namanya Leon. Nomor berapa?!" tanyanya hampir dengan nada membentak.

Si resepsionis tahu dia gugup dan segera membuka data daftar tamunya di layar komputer.

"Sebentar saya lihat dulu."

"Kalo bisa cepetan." Kata Alex urgen.

Kuku-kuku jari Alex mengetuk-ngetuk beberapa kali. Keringat menetes di pelipisnya.

Bukannya apa.

Tahun lalu Leon sudah pernah ngambek karena dirinya tidak bisa tepat waktu saat Anniversary juga. Alasannya simpel: skripsi S1-nya ada rekapan mendadak dan dia harus menyelesaikannya secepat mungkin. Alhasil waktu itu tidak ada perayaan apapun.

Leon sempat ingin putus, tapi dengan segala cara mereka lalu berakhir dengan hanya break dua minggu. Saat baikan, Alex pun berjanji akan meluangkan waktu untuk tahun ini sebagai pembayaran hutang.

Yah walaupun dengan perjuangan yang lumayan rumit.

Setelah itu, Alex segera menandai hari-hari penting mereka di kalender meja. Memasang alarm pengingat di ponsel dan apapun yang sekiranya membuat ia ingat.

Tapi kenapa terjadi lagi, sih! Ini benar-benar bullshit!

"Barusan orang yang bernama Leon sudah keluar, Mas," kata si resepsionis. "Sekitar sepuluh menit lalu."

"Shit." Umpat Alex refleks. "Tapi makasih." Katanya sebelum keluar begitu saja. Menimbulkan kegaduhan lonceng kafe seperti sebelumnya.

Dia masuk ke dalam mobil dan menampar setirnya kesal.

"Hapeku.... ya ampun! Kenapa waktu begini juga ketinggalan sih!" dumalnya seorang diri. "Apa aku balik dulu saja ya-tapi jam segini pamerannya masih buka nggak ya? Mungkin dia udah datang ke sana duluan?"

Membingungkan. Terlalu kalut sampai-sampai Alex mengikuti instingnya tanpa berpikir lagi.

"Ck. Kelamaan. Langsung susul ke galeri aja lah. Kali aja masih ada."

Pedal gas langsung diinjak setelahnya. Seperti sudah mahir saja.

Persetan.

Kalau ada kerusakan di mobil ini pasti masih bisa ia usahakan. Beda lagi kalau masalah Panda-nya yang satu ini.

"Bocah itu pasti marah lagi, ya ampun..." batinnya gelisah.