webnovel

Our 6th Anniversary

Alex dan Leon berpacaran. Antara mahasiswa dan murid SMA. Sama-sama lelaki. Di Indonesia, mereka berhubungan dan tetap menjaga hubungan itu selama 6 tahun meskipun tidak diakui sekitar. Di anniversary ke-6, Leon ingin hubungan mereka dirayakan dengan cara sederhana. Yang penting berdua. Namun bisakah Alex yang sudah menjadi Asisten Dosen dan sibuk luar biasa memenuhi keingin kekasihnya itu? CEK Karya LGBT-ku yang paling bagus juga ya!! JUDULNYA "MIMPI" :") FOLLOW IG-ku juga ya!! @Mimpi_work Terima kasih :")

Om_Rengginnang · LGBT+
レビュー数が足りません
17 Chs

14 Ketegaran Rama Tak Terbatas

"Rama, please…" kata Rian. Dia terlihat ingin memeluk Rama lagi, tapi kesepuluh jarinya justru mengepal dan meremas sofa karena takut menyinggung lagi kalau sembarang menyentuh. "Aku… aku akan berusaha kalau gitu. Oke? Kalau ada apa-apa bilang Kakak. Kamu ragu apa. Kamu nggak suka apa dari aku. Apa yang harus aku lakuin biar kamu nyaman. Jadi… jadi…"

Mereka tidak lagi berpeluk. Mereka tak lagi bersentuh. Namun, melihat tubuh itu juga nyoba dengan segenap usaha, Rama jadi kasihan dan menatapnya tanpa kata.

Rama mencoba menunggu. Rian akan melakukan apa lagi. Tapi ternyata tidak begitu. Lima menit. Sepuluh menit.

Rian bertahan diam-diaman sampai dia mengusap tengkuk dan tidak tahan di sana.

"Oke, kalau begitu udah bagus…" kata Rian dengan merogoh ponselnya meski gugup. "Kakak boleh minta nomor ponselmu lagi nggak? Nomor Kakak baru. Jadi nanti kita bisa menghubungi lagi."

Rama pun memandang ponsel itu sejenak. "Kakak blokir nomor aku kan? Ganti nomor gara-gara aku juga?"

DEG

"Eh… enggak…" kata Rian, tapi dia segera memperbaiki kata-katanya. "Sebenarnya iya, tapi nggak sepenuhnya karena kamu kok. Serius. Waktu itu Kakak dapet banyak spam dari temen-temen toxic. Tapi berhubung ada nomor kamu di sana, aku jadi… ehem… mikir-mikir dulu kalau mau ganti—"

"Dan waktu kutolak, baru bener-bener ganti?"

Rian pun tak bisa lari lagi. "Iya…" katanya pelan. "Heheh.. kan sekalian. Jadi, aku anggep itu kayak nggak pernah kejadian aja."

Senyum hambar. Senyum terpaksa. Senyum yang kau buat saat sakit ada di wajah Rian lagi saat ini.

Rama nggak pernah nyangka kalo dalam seumur hidupnya, ada seseorang yang menyukainya sampai begitu padahal bergender laki-laki.

"Oke siniin hapenya," kata Rama. Rian masih diam. Rama pun mengambil benda itu sendiri dengan decihan sebelum memasukkan nomornya. "Hubungi kapan aja, tapi jangan waktu aku lagi kuliah atau ada tugas. Aku akan kasih tahu kalo lagi free dan nggak ngapa-ngapain."

Di mata Rian, pemandangan Rama yang mengetik nomornya sendiri dengan cepat itu masih tidak nyata saja.

"Ini, udah…" kata Rama.

"Makasih."

"Dan Kakak kalo mau pulang dari sini, ambil uangnya lagi dari dalem," kata Rama. "Aku nggak lagi nguras duit Kakak. Jadi jangan lakuin kayak gitu-gitu lagi."

"Tapi, Rama—"

"Oke?"

Rian pun diam. Dia menggenggam ponselnya erat-erat karena luapan rasa yang terasa menggumpal dalam dada.

"Mn, kita kan sekarang pacaran," kata Rian. Seperti tengah berhutang, dia malah melakukan tawar menawar. "Dan Kakak juga udah kerja. Jangan khawatir soal uang. Jadi, apa tetep nggak boleh manjain kamu?"

Rama pun menatap mata itu, berdecih, dan mengacak-acak rambutnya sendiri karena frustasi. "Ya ampun, terserah aja lah.." katanya. "Tapi aku nggak minta apa-apa. Dan jangan beliin barang mahal-mahal. Aku tahu Kakak kaya, tapi kalo begini, berasa bukan jadi pacar, malah jadi pelacur cowok sewaan tahu nggak?" marahnya.

"Haha oke…"

Rama pun menatap pemandangan langka di depannya itu sekali lagi. Rian yang tersenyum. Sejak dulu, lelaki ini selalu lembut dan ramah kepada sekitarnya. Tapi memang, dia selalu menakhlukkan siapa pun terutama sebelum hari Rama menolaknya, dia melihat seorang laki-laki marah padanya, menamparnya, tapi Rian juga meninju wajahnya balik dengan tatapan tak kalah nyalang.

Ahh… Apa Rama hanya salah?

Apa Rian selama ini hanya lembut kepadanya?

Lelucon macam apa sih ini? Hah?

"Kakak, aku pengen cium kamu lagi untuk memastikan sesuatu," kata Rama tiba-tiba.

DEG

"Tunggu—apa?"

"Kalo nggak suka, ya udah—"

"Tidak, tidak. Silahkan, tapi aku masih demam—"

Rian mendadak tercekat dan kemudian segera menutup matanya. Dia seperti kebingungan, tapi juga tidak mau membuat Rama langsung tidak nyaman dengan hubungan mereka.

Rama pun mendengus, baru mendekat lagi ke wajah itu, kali ini dengan tanpa amarah di dadanya.

Dia meraih tengkuk, tapi berbisik 'Buka aja matanya. Jangan gitu' sebelum benar-benar meraup bibir Rian dalam lumatan lembut.

Ciuman itu tidak jauh berbeda dari yang pertama. Nikmat. Disertai debaran-debaran menegangkan yang akan membuat jantung seperti akan meledak. Hanya saja Rian lebih membuka diri kali ini. Dia takut, tapi mencoba membalas sentuhan itu dengan hati-hati. Lidah mereka bertaut. Bertarung. Menghasilkan saliva tipis di sudut bibir, namun Rama lebih berani memperlamanya daripada sebelum ini.

Rama kira, Rian akan mengeluarkan suara seperti para gadis. Tapi sedalam apapun dia masuk ke dalam, tetap nggak juga. Dia pun melepaskan lelaki itu, mendorongnya, mengusap bibirnya seolah-olah baru saja muntah, dan berdehem kecil dengan amat canggung.

"Rama…"

Rian tahu lelaki straight tetap memiliki hati yang nggak mudah goyah. Rama (mencoba) menerimanya saja sudah seperti anugerah. Namun, memang ada sedikit rasa tersinggung jika boleh jujur. Hm, bukan awal hubungan yang bagus. Rian pun langsung berdiri dari sana daripada semakin memperkeruh suasana.

"Mn, oke. Kakak lebih baik pulang dulu sekarang," kata Rian. Dia nyaris menepuk pucuk kepala Rama, tapi batal. Rama bisa lihat tangannya mengepal sebelum disembunyikan di belakang tubuh. "Oh, iya. Seharian ini aku mau istirahat total. Demamku harus sembuh besok pagi karena ada penerbangan. Jadi, jangan hubungi dulu ya. Kalo Kakak udah sampe ke Manchaster, nanti pasti kukasih tahu."

"Hm…"

Rian langsung mengambil kunci mobilnya yang tadi terjatuh di sisi sofa. Dia juga mengancingkan kemeja yang sempat lepas beberapa karena sempat ditindih kasar. Oh, restleting celananya juga turun sedikit. Rama langsung buang muka sebelum Rian mundur untuk pergi.

"Oke, aku pamit dulu. Jaga diri dan semangat kuliahnya."

Oke, aku pamit dulu. Jaga diri dan semanagat kuliahnya.

Kata-kata itu cukup keramat bagi Rama soalnya dulu, pas mereka berdua masih akrab dan sering duduk bareng di perpustakaan tengah kota, Rian pasti mengatakannya saat pamit pulang lebih dulu. Dia akan ngembaliin setumpuk buku ke rak, membayar jam durasi sewa ke penjaga, lalu melambai dengan senyuman sebelum pulang.

Kalau diinget-inget sekali lagi, Rian juga nggak pernah lupa membelikannya minuman kaleng atau botol. Hm… kadang juga camilan ringan. Katanya, 'Ini temen duduk kita sambil baca, ya?' Sampai Rama menganggapnya sosok 'Kakak' paling dia idamkan karena di kampung, dia punya Mbak sulung yang pemarahnya minta ampun. Mbak Rini namanya. Atau siapa lah.

Rama sampai muak kalau mengingat nama saudari perempuannya itu. Tapi, hell! The fuck what he's doin now? Dia baru saja menerima perasaan spesial lelaki mapan itu, menciumnya, tapi sekarang malah mendiamkannya seperti orang lain.

"Kak."

Sial. Suara Rama kenapa mendadak serak juga? Pasti Rian tak bisa mendengarnya...

"Kak, aku mau ngomong sesuatu…"

Langkah itu semakin jauh. Jauh... jauh... dan Rama tak mampu lagi menjangkau Indra pendengarannya.

Tahu-tahu, pintu depan sudah dibuka dan ditutup kembali begitu saja.

Di luar sana Rian pasti menyapa Alex dan Leon dengan senyuman yang bisa dia bayangkan.

"Ah, aku tadi malem nggak sengaja nyasar ke sini…" kata Rian. "Sorry ganggu. Aku pamit pulang dulu ya, Leon…" lalu dia menatap ke Alex. "Kamu juga."

Alex dan Leon yang tadi berdebat soal sesuatu sambil makan es roti isi langsung berhenti saat menatap lelaki itu.

"Oh, yeah.. oke," kata Alex. Dia yang lebih muda daripada Rian satu tahun tentu saja membuat gestur lebih hormat. "Hati-hati, Kak."

"Oke."

Rian tersenyum sekali lagi untuk Leon sebelum turun.

Rian yang kuat ya ༎ຶ‿༎ຶ Rama belum bener-bener belok soalnya...

Om_Rengginnangcreators' thoughts