webnovel

Not a Classic Wedding

Adult Romance (21+) _____________________ Series Wedding #1 [Not a Classic Wedding] Kalvian dan Kalebriena melakukan perjodohan tanpa drama, kontrak, atau syarat apapun. Menurut mereka, menolak perjodohan hanya akan membuang waktu mereka. Pernikahan tetap terjadi, mereka tinggal menjalaninya. Namun, siapa yang menyangka bahwa mereka telah mengenal jauh sebelum perjodohan ini berlangsung. Bukan hanya mereka berdua, tapi juga melibatkan sepasang hati yang lain. Tapi hal itu hanya masalalu mereka, individualis seperti briena dan vian tidak akan pernah membiarkan masa lalu merusak masa depan mereka. Sekalipun harus menyakiti hati oranglain, bahkan juga hati mereka sendiri. Tidak perlu ada drama yang memuakkan. This is not a classic wedding _________________________________________ Series Wedding #2 [CEO Scandal's : Married with Benefit] "Menikahlah denganku," ujar pria itu masih dengan nada dinginnya. "Apa?" Lona begitu terkejut dengan ucapan pria itu. Perempuan itu berusaha menormalkan degub jantungnya yang tiba tiba menggila. "Oke, tenang, Lona. Mungkin saat ini kau masih terjebak ke dalam skenario yang kau ciptakan sendiri," ujarnya dalam hati. "Sadarlah!" "Menikahlah denganku, Nona Hilona Anpuanra." Pria itu samakin menajamkan pandangannya dan Hilona nyaris tenggelam karenanya. "Kenapa? Kenapa aku harus menikah denganmu?" tanya Hilona setelah tersadar jika lamaran yang di utarakan pria itu bukan dialog dalam skripsi imajinasinya. "Karena saat ini, kau sudah terlibat ke dalam skenario hidupku dan mau tidak mau kau harus menerimanya." Salah satu alis tebal milik pria itu terangkat ke atas. Ada senyum yang tertarik dalam sudut bibirnya yang penuh. "Tunggu! Apa maksudmu aku harus menerimanya?" tanya Hilona masih tak mengerti dengan skenario yang tiba tiba saja terjadi. "Anggap saja, pertemuan kita kemarin malam adalah skenario Tuhan untuk mempertemukan kita. Aku akan menjelaskan lebih lanjut setelah kita resmi menikah." Setelah mengatakan hal tersebut, pria itu pergi meningalkan Lona begitu saja. Gila! Ini benar benar skenario yang gila! Bagaimana bisa tiba tiba ada seorang pria melamar Hilona? Menyatakan seolah tidak ada skenario lain selain menikah. Wait! Pria itu mengatakan tentang pertemuan kemarin malam? Pertemuan apa? Hilona berusaha untuk menggali ingatannya tentang pertemuan yang di maksud pria itu. Ia sendiri masih bingung dengan apa yang terjadi. Dia sedang menceritakan kisah kelamnya dan tiba tiba saja salah satu skenario yang ia bayangkan terjadi di hidupnya. Perempuan itu menoleh ke samping, ia baru tersadar jika saat ini tidak sedang berada di apartemen lusuhnya. Semua perabotan di ruangan ini terlihat mahal dan berkelas. Hilona menatap pantulan dirinya yang terlihat sama, ia kemudian menatap ke arah satu titik. Ke arah kalung yang saat ini ia pakai. Perempuan itu tak ingat pernah memiliki kalung ini sebelumnya. Lalu tiba tiba sekelebat ingatan muncul di ingatanya. Tentang kejadian malam itu. Kejadian yang membuatnya terjebak dengan pria yang baru saja melamarnya. Pria rupawan dengan jabatan tinggi dan sangat terpandang. "Sial! Aku benar benar harus menikah dengan Kalan Arusha Adhyasta!" Hilona mengusap rambutnya frustasi.

seinseinaa · 歴史
レビュー数が足りません
323 Chs

Chapter 17

Briena memandang kartu nama yang diberikan oleh Mamanya beberapa hari yang lalu. Perempuan itu tengah menimbang-nimbang, langkah apa yang harus dia ambil tentang perjodohan ini. Sebenarnya Briena sama sekali tak perduli dengan sistem perjodohan yang telah di atur oleh keluarganya. Masalahnya terletak pada siapa yang akan menjadi calon suaminya kelak. Nama yang terpampang pada kartu nama yang dipegangnya saat inilah, yang membuatnya bingung harus bersikap apa.

Vian.

Kenapa dari semua pria yang ada di dalam daftar calon mantu idaman keluarga Virendra, Vian adalah kandidat terkuatnya?

Kenapa bukan orang lain saja?

Berhari-hari Briena memikirkan tentang masalah ini. Mengambil keputusan besar terkait masadepannya. Sebenarnya dia sedikit khawatir dengan sikap pria itu kelak, mengingat hubungan mereka di masalalu. Tapi mendengar info pria itu dari informan yang dia suruh, membuat kekhawatirannya sedikit berkurang. Sepertinya sifat pria itu sama sama seperti dulu, setidaknya pria itu tidak akan mencari masalah dengan perjodohan ataupun pernikahan mereka kelak. Briena yakin itu.

Briena menutup kedua matanya erat-erat. Dia sudah mengambil satu keputusan. Perjodohan ini akan tetap terlaksana, siapapun pasangan yang telah dipilih keluarga Virendra. Membuka kedua matanya lebar-lebar, perempuan itu meraih ponsel yang berada di atas nakas tempat tidur, kemudian mengetikkan satu pesan untuk calon suaminya.

Briena

| Ini aku Briena. Besok siang kita bertemu di Castle | Cafe, gedung kantormu lantai 1.

| Pertemuan antar pewaris yang dijodohkan, bukan dua orang yang saling mengenal di masalalu.

| Kau mengerti maksudku,'kan?

Di belahan kota Jakarta yang lain, pada waktu yang sama. Seorang pria yang berdiri menikmati angin malam di bakon apartemennya, mendapat sebuah pesan dari calon istrinya kelak. Raut pria itu tidak mudah di tebak, bahkan setelah membaca pesan tersebut. Pria itu kemudian mengetik pesan balan untuk calon istrinya.

Aku mengerti. Besok aku pasti datang.

Vian kembali memasukkan ponselnya ke dalam saku celananya, menikmati wine serta langit malam yang indah. Angin malam menghempas rambut pendeknya, menerbangkan anak-anak rambut ke udara. Pandangannya menerawang ke depan, pada luasnya Jakarta melalui gedung tinggi apartemennya.

Sekalipun kita memilh untuk lupa. Hidup kita tidak akan pernah sama seperti saat kita belum memutuskan menerima perjodohan ini. Kenapa takdir tidak membiarkan kita melangkah pada jalan yang kita pilih masing-masing? Kenapa kita harus berada di jalan yang sama sekali lagi? gumam Vian pelan.

*****

Adhyasta House, Jakarta.

"Biar kutebak. Kau terlambat pada hari ini karena aktivitas ranjangmu dengan kekasihmu itu, kan?" Vian menyapa Briena dengan ocehan sinisnya.

Di depan pintu masuk rumah besar keluarga Adhyasta, mereka berdua saling bertatapan sinis. Seperti perjodohan pada umumnya, makan malam dua keluarga besar pasti akan selalu ada di dalam agenda milik setiap pasangan yang dijodohkan. Hari ini adalah makan malam pertama setelah Vian dan Briena memutuskan untuk menerima perjodohan mereka. Jadwal kerja yang terlalu padat membuat mereka baru bisa mengikuti makan malam keluarga hari ini. Minggu-minggu sebelum acara tunangan dilangsungkan, mereka memiliki waktu yang cukup luang hingga bisa menyempatkan diri untuk datang ke acara makan malam keluarga.

"Kalau kau memang iri, kenapa kau tidak menyusul kekasihmu ke Paris saja?" cibir Briena balik. Perempuan itu melangkah lebih dulu masuk ke dalam rumah.

"Kosa kata iri tidak pernah ada dalam kamusku, Bi, kau harus tahu itu," sahut Vian menyusul kepergian Briena.

Briena berhenti melangkah lalu menileh ke belakang. "Oh, ya, kalau begitu aku per―"

"Briena! Vian! Kalian baru datang?" Panggilan dari Mrs. Adhyasta memotong ucapan dari Briena.

Vian dan Briena menoleh ke asal suara, ke arah wanita paruh baya yang datang dari arah depan mereka. Perempuan itu menghampiri mereka, kemudian mengajaknya menuju ruang makan yang sudah di isi oleh seluruh anggota keluarga inti, sebut saja Papa Vian dan juga orangtua Briena. Total semuanya adalah 6 orang beserta Vian dan Briena.

"Ayo duduk!" suruh Mr. Adhyasta kepada mereka berdua. Briena kemudian duduk di sebelah Mamanya, sedangkan Vian mengambil tempat duduk di depan Briena.

"Ayo, kita mulai makan malamnya. Monggo Mbak Yu, Kang Mas, silahkan di coba masakan saya," ujar Mrs. Adhyasta tersenyum sopan kepada calon besannya.

"Wah, sepertinya enak semua," ujar Mr. Virendra.

Silahkan, silahkan.

Mereka ber-6 makan malam dengan khidmat. Sesekali mengucap guyonan yang membuat suasana malam ini menjadi lebih kental rasa kekeluargaannya. Briena sendiri lebih banyak diam, dia hanya fokus pada makanannya. Sedangkan Vian terlihat gelisah, pria itu sesekali melirik ke arah Briena.

"Vi, Papa dengar dari Om Danu, kau mengambil cuti 4 hari," ujar Mr. Adhyasta kepada putranya.

Vian menoleh ke arah Papanya. "Iya, Pa. Vian berencana liburan dengan teman-teman."

"Refreshing?" Mrs. Virendra terlihat tertarik. "Bi, kenapa kau tidak ikut Vian liburan? Mama tau kau juga butuh liburan," saran wanita paruh baya itu kepada putrinya.

"Iya, ide bagus itu, Mbak Yu," komentar Mrs. Adhyasta.

"Kebetulan, aku juga sudah merencanakan liburan. Just for girls," ucap Briena melirik Vian sekilas.

"Aku juga. Just for man."

"Oh, begitu." Orangtua Briena maupun Vian hanya manggut-manggut.

"Baiklah. Terserah kalian saja," sahut Mrs. Adhyasta pada akhirnya.

"Oh, iya Mama hampir lupa. Ternyata kalian itu sekolah di SMA yang sama lho. Deandles High School," seru Mrs. Adhyasta tiba-tiba.

Sendok perak yang ada di tangan Briena terlepas begitu saja, ujung pisau yang di gunakan Vian untuk mengiris daging juga terhenti begitu saja. Mereka terlampau kaget mendengar ucapan dari wanita paruh baya itu. Keduanya berusaha menetralkan raut wajahnya agar tak kentara kaget.

"Iya, Bi. Kemarin Mama nggak sengaja melihat album SMA-mu dulu, terus Mama lihat foto Vian. Mama tidak menyangka kalau kalian berdua satu angkatan waktu SMA," ujar Mrs. Virendra heboh.

Kalian tidak ingat pernah satu sekolah? tanya Mrs. Adhyasta.

"Sekolah itu meluluskan ribuan siswa, Ma, jadi mana mungkin kami ingat wajah-wajah teman SMA dulu. Lagipula ini sudah hampir 8 tahun, banyak hal yang sudah berubah," ujar Vian kemudian.

"Vian benar, Tante."

"Benar juga."

"Ya sudah, ayo dilanjutkan makannya," suruh Mr. Adhyasta.

Kembali mereka menkmati makan makan ini. Briena terlihat tak nafsu dengan makanannya, namun masih bersikap sopan dan berusa menghabiskan makanannya. Sedangkan Vian mencoba fokus pada makanannya, meskipun sesekali melirik perempuan yang duduk di hadapannya.

*****

Mobil Audi yang ditumpangi Vian dan Briena melaju pelan di jalanan Ibu Kota yang cukup ramai. Keduanya saling diam. Vian memilih fokus pada jalanan di depannya dan Briena lebih memilih kerlap-kerlip lampu gedung Jakarta sebagai objek yang ingin dia lihat.

Perjalananyang cukup panjang itu berakhir dalam keheningan, bahkan saat Vian menghentikan mobilnya di depan Apartemen Briena. Namun perempuan itu tak ada niatan untuk turun―belum― Fikirannya masih penuh dengan berbagai macam pertanyaan tentang hubungannya dengan Vian kedepannya dan Vian menangkan kerisauan di wajah Briena.

"Kita sudah sejauh ini, Bi, jangan melihat lagi ke belakang," ujar Vian lirih.

Briena masih diam, kemudian bertanya sama lirihnya,"Apa yang bisa aku lihat di belakang, Vi?Masa lalu kita? Hubungan kita?"

"Kita memutuskan untuk tidak saling mengenal setelah menanggalkan putih abu-abu, bersikap seolah-olah Djournal Cafe adalah tempat pertama kita bertemu. Kau sendiri juga mengusulkan pilihan itu. Kita sama-sama memilih untuk lupa, Bi. Itu artinya kita tinggal mengikuti alur yang sudah kita rencanakan sebelumnya."

"Memang benar, sebelum orangtua kita membahas tentang masa lalu dan aku jadi mengingat, betapa dulu kita sangat bodoh karena mengambil keputusan yang salah." Briena menatap Vian nelangsa.

Mendengar hal itu, Vian hanya terdiam membisu.

Makasih kalian semua sudah dukung cerita ini. Maaf jarang menyapa kalian, tapi plis dukung anak-anak saya ya.

Please, give me a power stone .

Jangan lupa juga kasih bintang dan review cerita saya yang lain, supaya anak-anak saya terkenal dan banyak yang baca.

Semoga Mas Vian dan Mbak Briena bisa naik rangking. Dukung mereka dengan memberi komen, like, atau power stone.

Thank you semua, ayam flu(๑♡⌓♡๑)

PYE! PYE!

seinseinaacreators' thoughts