Nalini mematung melihat ke arah Pangeran Arya yang sudah berdiri di belakang mereka. Pemuda itu hanya melihatnya sekilas kemudian menghaturkan sembah pada Ratu Padma.
"Arya, ada apa kau bertandang kemari?" tanya Ratu Padma tanpa banyak basa-basi. Ia duduk dengan tenang di kursinya mengamati keponakan sang maharaja.
"Ampun, Kanjeng Ratu. Hamba ke sini untuk menyampaikan titah Pamanda Raja," jawab Arya. Ia lalu mengeluarkan gulungan daun lontar dan menghaturkannya pada Ratu Padma. Seorang emban beringsut mendekat, ia mengambil pesan itu lalu diberikannya ratu.
Ratu Padma membuka pesan itu dan mmebacanya sekilas. Bibirnya melengkung ke atas selesai membaca. Suasana hatinya berubah menjadi baik.
"Baiklah, Arya. Aku akan langsung membalas pesan Raja. Kamu tunggulah sebentar," ucap ratu. Ia kemudian menyuruh emban mengambilkan peralatan menulisnya.
Sementara ratu sibuk dengan tulisannya, Arya melirik lagi pada Nalini yang duduk bersimpuh dan menunduk di sampingnya. Berkali-kali tatapannya singgah pada gadis yang sudah berubah penampilannya dari yang sebelumnya dikenalnya.
"Nalini, kamu betah di sini?" bisik Arya pada calon tabib muda itu. Ada percikan yang tak biasa di sinar matanya.
Nalini mendongak dan membalas tatapan Arya tapi buru-buru menunduk lagi. Gadis itu tak menjawab, ia hanya mengangguk kecil. Degup jantungnya dirasakannya mulai berkejaran.
"Tadi aku dengar kamu mau belajar membaca? Kalau kamu mau, aku bersedia mengajarimu," bisik Arya lagi. Ia sedikit menggeser tubuhnya ke dekat Nalini.
Nalini menggosok telapak tangannya yang dirasakannya menjadi dingin. Ia tak tahu harus menjawab apa karena saat itu mereka masih ada di hadapan Ratu Padma.
Pandangan Arya belum beralih dari Nalini saat Ratu Padma memanggilnya. "Arya, sampaikan ini pada Paduka Raja," ujarnya seraya mengulurkan gulungan lontar itu.
Arya segera menyembah dan beringsut menerima benda kecil itu. Ia lalu menyimpannya hati-hati di balik rompi warna hitamnya. "Terima kasih, Ratu. Hamba akan membawanya segera pada Pamanda."
Ratu mengangguk dengan anggun sembari tersenyum. Ia kemudian mengalihkan perhatiannya pada Nalini. "Tabib muda, aku sudah mengajukan permintaanmu pada Maharaja. Aku harap kamu bisa bersiap-siap."
Nalini dan Nyai Dhira menghaturkan sembah dan mengucap terima kasih. Mereka menunggu isyarat dari sang ratu untuk bisa segera meninggalkan tempat itu. Namun, sang ratu tak jua memberi tanda, ia justru kembali bercakap-cakap dengan Arya Dhipa.
"Arya, apa kamu serius mau mengajari Nalini membaca?" tanya sang ratu. Ia tahu keponakannya itu pintar tapi ia tak pernah melihatnya mengajar.
"Ampun, Ratu. Benar saya ingin mengajarinya, dia memiliki bakat dan minat yang besar pada pengobatan. Panda juga tahu hal itu sejak pertama menolong mereka," jawab Arya. "Rumah tabib agung tak terlalu jauh dari tempat saya, dia bisa ke rumah saya setiap hari untuk belajar," imbuhnya lagi.
Ratu mengernyit sebentar. Ia membayangkan Nalini akan repot bolak balik antara rumah Arya Dipa dan tempat tinggal sementaranya di rumah tabib agung. "Tidak, Arya. Nanti dia akan kerepotan membagi waktu," tukas sang ratu.
Arya Dhipa tak kehabisan akal. Ide gemilang muncul di benaknya. "Kalau begitu saya yang akan datang ke rumah tabib agung setiap hari sambil mengawasi dia belajar."
Nalini dan Mbok Dhira mendengarkan percakapan itu dalam diam. 'Aku hanya ingin belajar membaca, kenapa jadi panjang urusannya?' batin Nalini seraya menarik nafas panjang. Nyai Dhira buru-buru menepuk pelan tangan anaknya, menyuruhnya tenang saja.
Ratu Padma masih belum menyetujui kemauan Arya Dhipa. Iya tahu keponakannya itu selalu berada di sekitar maharaja dan harus siap dipanggil kapan saja. "Kamu yakin bisa melakukan itu?"
Arya Dhipa tampak belum mau menyerah, ia lalu mengajukan usul lain. "Saya sebisa mungkin akan mengajar dan mengawasi tabib muda ini, Ratu. Jika hamba tidak bisa hadir karena suatu urusan, akan ada guru yang menggantikan."
"Lagi pula, dia harus cepat menguasai ilmu pengobatan yang lebih luas. Wabah di kerajaan Lokapala belum sepenuhnya bisa kita atasi. Tenaga dan pikirannya sangat diperlukan di barisan terdepan," ujar Arya Dhipa mengemukakan alasannya.
Mendengar kata wabah, Ratu Padma berubah pikiran dengan cepat. Meskipun ia tak pernah ke luar Ndalem Kaputren, sebagai ratu ia selalu tahu apa yang terjadi di kerajaan.
"Baiklah, Arya. Lakukan tugasmu dengan baik, bimbing dia agar segera bisa membantu tabib agung, ibunya biarkan tetap di sini merawatku," ujar sang ratu seraya melihat pada Nyai Dhira.
"Nyai tabib, kamu bersedia tetap di sini merawat aku?" tanya Ratu Padma. Sekian lama dirawat oleh tabib dari dusun itu, ia mulai merasa dekat dan bisa merasakan ketulusan dalam pengabdiannya.
"Dengan senang hati, Kanjeng Ratu. Hamba akan tetap di sini menjalankan perintah," ucap Nyai Dhira seraya menyembah takzim.
Ratu tersenyum senang melihat pada Nyai Dhira. "Nalini, kamu belajarlah sungguh-sungguh. Langit pasti akan mencatat setiap kebaikanmu," ucap ratu yang baik hati memberi dukungan pada Nalini.
Dada Nalini terasa bergemuruh mendengarnya. Dukungan dari sang ratu membuatnya semakin bersemangat dan berjanji untuk melakukan upaya yang terbaik.
"Terima kasih banyak, Kanjeng Ratu. Saya berjanji untuk belajar dan mengabdi dengan sepenuh hati," ucap Nalini dengan bibir bergetar. Kedua telapak tangannya disatukan di depan dada lalu bersujud pada Ratu Padma. Setetes air mata haru jatuh dari sudut matanya.
"Bersiaplah, Nalini. Tunggu titah baru dari maharaja. Hari ini atau besok akan ada pengawal yang menjemput dan mengantarkanmu ke rumah tabib agung," ujar Ratu Padma sembari tangannya memberi isyarat pada Nalini dan Nyai Dhira untuk meninggalkan kediamannya.
Ibu dan anak itu kemudian beringsut mundur dan meninggalkan tempat itu. Tak lama setelah keduanya berlalu, Arya Dhipa juga beranjak meninggalkan Ndalem Kaputren.
Benar saja, keesokan harinya ada dua orang pengawal yang memanggil Nalini dan membacakan perintah baru untuknya.
"Tabib Nalini, Baginda Raja memberikan perintah padamu untuk membantu di rumah tabib agung mulai hari ini," ucap pengawal yang berpakaian lengkap itu.
Nalini cepat menyembah dan bersujud menerima titah dari 'Eyang Guru' alias Maharaja Lokapala. "Nalini siap menjalankan perintahnya," ucapnya dengan mantap.
Nalini berpamitan dan memeluk erat Nyai Dhira saat akan meninggalkan tempat itu. Sebagai anak satu-satunya, tak pernah seharipun Nyai Dhira berpisah dengan Nalini sejak ia dilahirkan. Air mata mengalir perlahan di pipinya yang mulai keriput.
"Hati-hati dimanapun kamu berada ya, Nduk. Simbok di sini selalu menunggu kamu kembali," ucap Nyai Dhira di telinga anaknya.
Nalini mengangguk dengan patuh. Hatinya juga campur aduk harus berpisah sementara dengan ibunya tapi itulah jalan yang sudah ia pilih.
"Jika waktuku luang, aku pasti akan mengunjungi Simbok di Ndalen Kaputren ini." Nalini berjanji seraya menghapus air mata di pipi ibunya.
"Janji ya, Nduk," ucap Nyai Dhira terbata. Baginya Nalini adalah separuh nyawanya.
"Aku janji, Mbok." Nalini berkata dengan mantap dan mempererat pelukannya.
Pengawal mengingatkan Nalini agar segera berangkat. Gadis itu melepaskan pelukannya pada Nyai Dhira. Ia perlahan mengikuti para pengawal sambil melambaikan tangan pada para dayang yang juga mengantar kepergiannya.
Baru melewati regol Ndalem Kaputren, rombongan pengawal dan Nalini dikejutkan dengan sapaan khas dari sosok yang sangat dikenali Nalini.
"Aku akan mengantarmu. Tugasku mengawasimu," ujar Arya Dhipa dari punggung kudanya sambil tersenyum lebar. Wajahnya yang tampan tampak semakin bersinar memantulkan cahaya matahari pagi.
Nalini tak berkedip melihatnya. Ia sejenak berdiri mematung dan tak tahu harus berbuat apa.