webnovel

Bersama Berjalan

"Ayo, naiklah!" ucap Arya menyuruh Nalini naik ke punggung kuda bersamanya. Bibirnya melengkungkan senyuman manis penuh harap.

Nalini mengusap wajahnya, ia bingung tak tahu harus menjawab apa. Naik kuda bersama Pangeran Arya saat itu adalah keterpaksaan, berbeda dengan saat ini. Orang tentu akan bertanya-tanya dan ia tak tahu bagaimana menjawabnya.

Dengan lemah kepala Nalini menggeleng. Apalagi dilihatnya dua prajurit yang mengawalnya saling bersitatap curiga.

"Maaf, Pangeran Arya. Hamba berjalan kaki saja," jawab Nalini pada akhirnya. Kepalanya menunduk menekuri tanah.

"Kamu yakin mau berjalan? Dengan baju sempit dan menyulitkan itu?" tanya Arya. Yang ia maksud adalah kain jarit panjang yang melilit tubuh Nalini. Memang, pakaian itu membuat Nalini tak bisa berjalan cepat.

Nalini gelisah. Ia menggosok tangannya yang dingin dan membetulkan buntalan kain yang ada di sandaran pundaknya. "Iya, Pangeran. Tidak apa-apa saya berjalan saja."

Arya melihat Nalini memang keras kepala tidak mau menuruti perintahnya. Ia pun meloncat turun dari kuda gagahnya. Tali kekang kuda ia berikan pada pengawal.

"Pengawal, tuntun kuda ini. Aku mau berjalan saja," ujarnya dengan nada datar.

Pengawal menerima tali pengendali hewan tunggangan itu. Tampak wajah mereka kebingungan tapi buru-buru mengangguk. "Baik, Pangeran."

Arya lalu berjalan menjajari Nalini. "Ayo jalan," katanya pendek.

"Pangeran, kenapa anda ...?" Nalini menghentikan kalimatnya saat Arya memintanya menyerahkan buntalan kain yang dibawanya.

"Sini perbekalanmu. Letakkan di punggung kuda biar tak membebani," ujar pemuda berabut ikal sebahu itu.

Nalini menyerahkan buntalan itu, matanya menatap Arya lebih intens. Ada apa dengan lelaki ini? Kenapa pagi ini dia begitu perhatian padanya?

"Rumah tabib agung cukup jauh dari sini. Kasihan kalau kau berjalan sendiri, jadi beban itu biar dibawa kudaku," jelas Arya Dhipa, masih dengan senyumnya yang menawan.

"Tapi Pangeran, kenapa anda juga ikut berjalan?" tanya Nalini. Ia menyelidik wajah Arya yang kelihatan lebih ceria pagi ini.

"Aku ingin gerak badan, itu saja." Arya menjawab cuek. Ia yang biasa berjalan cepat kini harus berjalan lambat-lambat agar bisa mengimbangi Nalini.

Gadis itu hanya mengucapkan terima kasih mendengar jawaban Arya Dhipa. Ia lalu lebih banyak menunduk dan menghindari bertatapan dengan Arya. Desir halus di dadanya mulai dirasakannya lagi.

Mereka terus bercakap-cakap sambil berjalan. Suasana pagi mulai ramai. Banyak orang yang berlalu lalang di jalanan. Arya hanya mengangkat tangan kanannya saat bertemu dengan orang yang menyapa dan menyembah hormat padanya.

Peluh mulai bercucuran membasahi wajah Nalini. Benar juga yang dikatakan Pangeran Arya. Rumah tabib agung sangat jauh, kakinya mulai terasa pegal.

"Apakah masih jauh?" tanyanya seraya menarik nafas lalu menghembuskannya kuat-kuat. Nalini berusaha menambah energinya agar cepat sampai tujuan.

Bibir Arya Dhipa menyunggingkan senyum miring. Kepalanya pun mendadak dicondongkannya ke depan wajah Nalini hingga jarak tinggal sejengkal.

Nalini terkejut dan buru-buru mundur menarik wajahnya. Matanya mendelik marah. Keusilan Arya dirasakannya mulai keluar lagi.

"Bukankah tadi aku sudah bilang? Rumah tabib agung sangat jauh dari Ndalem Kaputren, kamu akan capek berjalan." Arya Dhipa mendongakkan kepalanya. Dalam hatinya, ia merasa senang memiliki kesempatan menggoda gadis dusun itu.

"Aku kira tak akan sejauh ini." Nalini menjawab sembari terus mengelap keringat yang bercucuran di dahinya. Matahari terasa makin panas dan menyengat kulit.

"Makanya aku menawarkan berkuda, tapi kamu menolak," rajuk Arya Dhipa sembari menarik nafas seolah kecewa.

"Ampun, Pangeran Arya. Aku sungguh tak tahu." Nalini merasa bersalah telah membuat pemuda itu menemannya berjalan. "Pangeran bisa menaiki kuda itu. Naiklah, tak apa-apa aku jalan bersama para pengawal."

Arya Dhipa cepat menggelengkan kepalanya. "Tidak, aku biasa berjalan pagi seperti ini. Sama sekali tak masalah," ujarnya.

"Terima kasih, Pangeran." Nalini kembali menghaturkan sembah pada Arya.

Arya Dhipa merengut melihat Nalini terus-terusan bersikap sopan di depannya. Padahal ia merindukan sikap kacau gadis cantik itu.

"Sudahlah, bersikaplah biasa saja padaku. Kita ini teman," ucap Pangeran Arya. Ditatapnya Nalini dalam-dalam. Wajahnya kini putih bersih, pakaian dan rambutnya pun ditata rapi. Jelita sekali.

"Ampun, Pangeran. Tidak bisa, hamba takut dihukum." Nalini tetap bersikap sopan dan tak mau betingkah sembrono. Gemblengan tata krama di Ndalem Kaputren kini benar-benar dipraktekkannya.

Arya bersedekap. Mulutnya mengerucut lucu. "Kamu sudah banyak berubah," ucapnya seraya menggelengkan kepala. "Padahal aku tak suka perubahan."

"Saya dulu pernah bertemu seorang pemuda, dia bilang saya harus begini dan begitu. Sekarang saya sudah berubah, kenapa dia malah protes. Apakah Pangeran Arya tahu, kenapa dia begitu?" Nalini membalas sikap Arya dengan pertanyaan perumpaan.

Mata Arya membesar. Ditatapnya lekat Nalini. Langkah mereka bahkan sampai terhenti.

"Oh ya? Jadi kamu berubah demi aku?" tanyanya dengan hidung kembang kempis. Pemuda itu sedang merasakan gejolak di dalam hatinya, sebentar perhatian, sebentar tak suka gadis yang dulu dikenalnya lugu dan jujur banyak berubah.

"Bukan begitu ... aku hanya ..." Nalini kehabisan kata-kata. Jauh di lubuk hatinya ia pun senang bisa berjumpa dan bersenda gurau lagi dengan Arya. Hanya saja, ia sadar posisinya mereka berbeda. Ia hanya seorang abdi istana, sedangkan Arya seorang Pangeran yang berkuasa.

"Sudahlah, ayo jalan. Jangan berdebat terus. Ini sudah siang dan panas, tak sampai-sampai kita nanti," ujar Arya seraya menarik tangan Nalini. Tapi gadis itu buru-buru melepaskannya. Ia takut sekaligus malu di tempat terbuka dan terang benderang ini Pangeran Arya menggandengnya.

Nalini melihat, beberapa gadis yang berpapasan dengannya saling berbisik dan melemparkan pandangan curiga. Tabib muda itu segera mempercepat langkahnya. Kain jarit ia angkat sedikit.

Tiba di sebuah belokan jalan, Arya menghentikan langkahnya dan menunjuk sebuah bangunan yang dikelilingi pagar bambu kuning setinggi pinggang.

"Itu kediaman tabib agung. Kita sudah sampai," ucapnya. Pangeran itu lalu memberi isyarat pada kedua pengawal agar berjalan di depan dan minta dibukakan gerbang regol.

"Pangeran, bagaimana tabib agung? Apakah dia orangnya baik?" bisik Nalini. Ia mulai cemas karena akan bertemu dengan orang yang baru. Alis matanya berkerenyit.

Arya melirik Nalini dengan ekor matanya. Ia lalu memberi isyarat pada Nalini agar mendekat dan mendengar bisikannya.

Nalini mendekat dan mendekatkan telinganya. Di tempat yang baru dan bertemu dengan orang-orang yang baru, hanya Arya Dhipa yang dia kenal dan percayai.

"Para abdi dalem sering bergosip, tabib agung pria yang galak dan temperamen. Jadi kamu berhati-hatilah," ucap Arya.

Mulut Nalini terbuka sedikit, ia lalu cepat-cepat menutupnya. Mulai timbul rasa takut dan gentar dalam hatinya. "Pangeran, apa aku salah memilih belajar padanya?"

Arya Dhipa mendekatkan lagi kepalanya dan berbisik. "Tidak ada yang salah, kamu justru membantuku karena mau datang ke sini."

"Mengapa begitu, Pangeran? Aku belum mengerti," balas Nalini. Matanya mengunci pandangan Arya. Ia ingin mendapatkan jawaban yang benar.

Arya Dhipa lalu tersenyum. "Selama ada aku, kau akan aman di sini. Dia tak akan berani menggganggumu."

Nalini menarik nafas lega. Tangannya mengusap dadanya sendiri. "Selamat, selamat. Aku harus bagaimana di sini, Pangeran?" tanyanya.

Sekarang gantian Arya Dhipa yang menatap dalam-dalam mata Nalini. Gadis itu membalas. Hatinya kembali merasakan desiran aneh. Ia cepat-cepat menunduk. Pipinya bersemu merah bak udang rebus.

Arya Dhipa tak lagi bisa menahan perasannya. Keluarlah kata-kata yang belum pernah didengar oleh Nalini.

"Nalini, matamu indah sekali. Bolehkah aku ...."