webnovel

Bertemu Wanita Cantik

Devan menutup teleponnya. Berbicara pada Mama Iren hanya membuatnya emosi saja. Devan kembali merebahkan tubuhnya, ia masih menunggu sang kakak pulang ke rumah.

Mendengar Devan yang mengadu padanya tadi, membuat Mama Iren khawatir, ia pun menelepon Fiona untuk menanyakan keberadaannya. Karena ia sudah pulang dari sore, tidak mungkin sudah hampir tengah malam begini belum sampai di rumah.

Mama Iren memanggil ponsel Fiona sebanyak tiga kali, tapi tak juga diangkat oleh Fiona. Fiona memang masih berada di jalan menuju ke rumahnya, Ia melewati jalanan yang gelap dan sepi. Fiona mengendarai motornya dengan kecepatan yang cukup tinggi karena ia takut oleh orang jahat yang sering mengintai pengendara motor wanita, lalu melakukan aksi begal. Fiona terus berdoa dalam hatinya agar Sang Pencipta melindunginya.

Setelah kurang lebih satu setengah jam perjalanan. Fiona pun sampai di rumah. Sudah tengah malam, ia langsung memasukkan kendaraan roda dua milik sang adik ke dalam, lalu mengunci pintu pagarnya.

Mendengar suara pintu pagar yang berbunyi, Devan mengintip dari jendela, lalu ia menunggu Fiona masuk ke dalam rumah. Fiona melepaskan jas hujan dan jaket yang ia pakai, lalu ia meletakkannya di atas motor Devan.

Pintu rumah sudah dikunci, Fiona pun mengetuk-ngetuk pintu rumahnya, lalu Devan langsung membukakannya.

"Kakak habis dari mana sih, jam segini baru pulang?" Tegur sang adik.

Fiona tidak langsung pertanyaan Devan, ia masuk ke dalam kamarnya, lalu berganti pakaian. Setelah itu, Fiona kembali menghampiri Devan.

"Kakak habis ngikutin suami Mama sampai di rumahnya." Ucap Fiona.

Devan mengernyitkan kedua alisnya, "memang rumahnya dimana?"

"Di jalan Rajawali, rumahnya besar."

"Pantas aja Mama mau sama dia."

"Iya, pasti Mama mau karena dia orang kaya." Lanjut Fiona.

"Udah nggak heran lagi, wanita jaman sekarang, hanya dengan uang, bisa pindah ke lain hati."

"Eittss, nggak semua wanita seperti itu. Contohnya Kakak nih."

"Tapi kan kakak belum pernah di hadapkan dengan laki-laki yang kaya raya dan yang sederhana. Jadi kakak nggak bisa mengatakan bahwa diri kakak sendiri bukan cewek matre." Tutur Devan.

Benar juga yang Devan katakan, Fiona tidak bisa menilai dirinya sendiri karena ia belum pernah merasakan ketika harus memilih diantara dua pilihan antara laki-laki kaya dan laki-laki sederhana.

"Iya sih, tapi kan Mama kenapa nggak pernah mikir perasaan kita? Anak sudah ada dua, sudah besar, malah berpaling pada laki-laki lain." Ujar Fiona.

"Aku juga sangat kecewa sangat pada Mama." Ungkap Devan.

"Selain Kakak kecewa pada Mama, Kakak juga dendam pada laki-laki yang sudah merusak keluarga kita." Ungkap Fiona.

"Percuma juga dendam, nggak akan membuat Mama kembali pada kita." Lanjut Devan.

Memang, dendam takkan membawa Mama Iren kembali, tapi gejolak dendam itu hadir dengan sendirinya karena rasa kecewa yang terlalu dalam.

Fiona beranjak ke kamar mandi, lalu ia masuk ke dalam kamarnya, ia melaksanakan shalat empat rakaat. Setelah itu, ia merebahkan tubuhnya di atas tempat tidurnya. Fiona membuka ponselnya, ternyata ada beberapa panggilan tak terjawab dari Devan, Mama Iren dan juga Nathan.

Fiona menelepon Nathan.

[Hallo Nathan.]

[Iya Fio. Kamu lagi apa sih, kok dari tadi aku telepon nggak diangkat?]

[Aku tadi masih pergi sama Mama.]

[Tapi kamu sekarang sudah di rumah?]

[Sudah.]

[Habis pergi kemana sih sama Mama?]

[Tadi habis antar Mama ke rumah temannya.]

[Oh gitu. Yaudah sana tidur, udah malam!]

[Oke. Kamu juga istirahat ya, Nathan.]

[Iya.]

[Bye ... ]

[Bye ... ]

Fiona menutup teleponnya, tapi ia belum bisa memejamkan mata. Fiona kembali menatap layar ponselnya, lalu membuka aplikasi instagram. Fiona melihat dm-nya yang tidak di balas oleh Filio. Tak masalah baginya, karena ia sudah bertemu dengan orangnya langsung.

Fiona melirik jam pada dindingnya, sudah menunjukkan pukul setengah dua dini hari. Fiona ingin memejamkan kedua matanya, tapi perutnya terasa lapar, ia belum makan malam. Ingin memasak mie instant, tapi kedua matanya sudah meminta untuk dipejamkan. Akhirnya Fiona berusaha menahan rasa laparnya, ia berusaha memejamkan mata hingga tidur pulas.

Alarm pada ponsel Filio berbunyi. Filio membuka kedua matanya, lalu mematikan alarmnya itu. Filio bangun dari tidurnya, lalu ia beranjak ke kamar mandi untuk membersihkan tubuhnya, setelah itu ia menunaikan sholat dua rakaat.

Filio melangkahkan kakinya menuruni anak tangga, lalu ia beranjak ke ruang makan. Filio duduk di hadapan kedua orang tuanya. Filio mengoleskan sepotong roti dengan selai cokelat.

"Oma gimana keadaannya, Lio?" Tanya Papa Rizal yang sedang sarapan pagi.

"Alhamdulillah, sudah lebih baik, Pa. Kemarin, saat aku datang, Oma sudah mau makan, sudah lebih segar."

"Syukurlah."

"Papa nggak kesana?" Tanya Filio.

"Nanti deh. Papa belum sempat kesana."

Filio tahu kesibukan Papa Rizal, sang papa bekerja dari pagi sampai sore bahkan terkadang pulang larut malam.

"Papa semalam pulang jam berapa?" Filio bertanya lagi.

"Sampai rumah kira-kira jam sepuluh. Kenapa?" Papa Rizal balik bertanya, ia takut anak sulungnya itu curiga padanya.

"Nggak apa-apa. Semalam, saat aku sampai di rumah. Ada seorang wanita yang sedang berteduh di depan rumah kita. Papa lihat juga nggak?"

"Nggak. Papa nggak lihat siapa-siapa."

"Wanita siapa sih?" Tanya Mama Citra.

"Aku juga nggak kenal, tapi aku kasihan aja ngeliatnya, dia keujanan, lalu badannya menggigil kedinginan."

"Oh, dia lagi neduh di depan rumah kita?" Mama Citra bertanya lagi.

"Iya. Aku kasih aja jas hujan dan jaket aku. Aku nggak tega melihatnya kedinginan."

"Hhmmm, wanitanya pasti cantik ya?" Tebak Renata, adik Filio yang berusia enam belas tahun.

"Jujur, wanita itu cantik sih." Ungkap Filio sambil berusaha mengingat wajah Fiona yang memperkenalkan dirinya dengan nama Vinia.

"Tuh kan, coba kalau sama yang nggak cantik, mana mau Kakak memberikan jaket dan jas hujan?" Ledek Renata.

"Nggak gitu juga, Ren! Kalau niat mau nolong ya nolong aja, tanpa melihat dia cantik atau nggak." Sahut Filio. Memang dari awal, ia tulus ingin menolong tanpa melihat wanita itu cantik atau tidak.

"Terus, Kakak pasti kenalan dong sama dia?" Tanya Maura, adik Filio yang berusia empat belas tahun.

"Iya, Kakak kenalan, nama wanita itu Vinia. Dia bilang sih, dia habis dari rumah temannya, lalu kehujanan di jalan."

"Kenapa nggak disuruh masuk? Lalu disuruh minum dulu di dalam rumah?" Ucap Papa Rizal.

"Sssttt ... Jangan sembarangan nerima tamu yang nggak di kenal, belum tentu dia wanita baik-baik." Seru Mama Citra.

Lagi pula sudah malam, tidak mungkin Filio berani menyuruh wanita yang baru dikenalnya untuk mampir ke rumahnya.

Di waktu yang sama, Fiona masih saja merasa sedih. Ia sedang duduk termenung di atas ranjangnya.

Tok ... Tok ... Tok ...

"Fiona!" Papa Febri mengetuk pintu dan memanggil putri sulungnya yang masih berada di dalam kamarnya.