"Selamat pagi semuanya, nama ku Lorent Mahesa siswa baru. Saya harap bantuannya," seisi kelas penuh dengan bisik bisik kagum, lihatlah laki laki didepan kelas sekarang. Dengan wajah tampan, kulit putih, mata bermanik hijau zamrud, rambut kecoklatan yang tidak disisir begitu rapi membuat ketampanannya semakin terpancar. Akan tetapi hal itu tidak membuatku setertarik siswa lainnya, aku hanya mengakui jika dia memang tampan, tetapi tidak lebih dan tidak kurang. Aku duduk dengan santai di bangkuku dan Sadewa, duh pria itu sekarang malah sangat antusias. "Kau bilang namanya Adrian Mananta, tetapi baru saja ia mengenalkan diri sebagai Lorent Mahesa. Jadi sebenarnya siapa namanya, Dewa?" tanyaku ketika anak baru itu sudah duduk di kursinya yang berada tepat di belakangku dan Dewa. "Kalau penasaran tanyakan saja sendiri," aku menghadiahinya pukulan di bahu. Dia tahu kalau aku tidak akan berani melakukannya.
"Hei, jahat sekali tidak menyapaku, tidak memberitahuku tentang kedatangan mu, apa kabar Adrian?" sapa Dewa setengah berbalik kearah murid baru, aku turut berbalik menatap orang yang sama. "Lorent. Namaku Lorent Mahesa, jangan panggil aku Adrian lagi, Sadewa" balasnya ketus dan terkesan acuh tak acuh. Karakter yang sama persis seperti yang diceritakan oleh Dewa, benar benar mirip denganku saat awal awal mengenalnya. "Ya ya ya terserah kau Adrian, kenalkan perempuan ini pacarku. Namanya Slyvia Carter, cantik bukan?" Sebelah alisnya terangkat seolah menilaiku dari atas sampai bawah lantas senyumannya terbit meski tipis, "Hm...dia cantik, seorang Carter ya?" sayangnya ketenangan wajah dari Lorent hilang begitu saja ketika dengan tidak sopannya Dewa mengacak rambutnya dengan ganas sambil tertawa, sepertinya dia terlalu senang ketika Lorent setuju tentang kecantikanku. Lebih anehnya lagi aku bersemu karena ucapannya. 'Tidak, aku tersipu karena yang mengatakannya adalah Lorent, aku pasti hanya kagum karena ia terlalu tampan.'
"Sudah sudah kalian ini hentikan sekarang juga, tidak tahukah kalian diperhatikan guru dari tadi?" ujarku pada mereka berdua yang sudah semakin ribut, Dewa adalah orang pertama yang melakukan perintahku dengan melepas kunciannya pada leher Lorent. Aku memijat pelipis ku yang berdenyut karena mereka berdua yang ribut pagi pagi, sang guru pun hanya tertawa kecil menganggap itu hanya candaan anak remaja. "Aku melihatmu tersipu, jangan tertarik pada orang lain selain aku." bisik Dewa setelah kembali menghadap ke depan, sejenak aku mematung mengetahui jika ternyata Dewa melihatku tersipu malu. "Karena sahabatmu itu terlalu tampan, tidak ada satupun wanita yang tidak tersipu jika dipuji olehnya. Jangan cemburu begitu, meskipun dia lebih tampan darimu aku tetap akan memilihmu sekarang."
"Lebih tampan? Sekarang? Jadi kau bisa saja berpindah hati besok besok!?"
"Dewa....astaga, tidak sudahlah fokus saja pada pelajaran. Aku sayang kamu, kok," meski aku mengatakannya dengan lirih Dewa pasti mendengarnya dengan jelas, teramat jelas untuk seseorang yang kuyakini menyayangiku sangat besar saat ini.
Sepanjang hari sampai pulang sekolah aku merasa diabaikan oleh Dewa, dia sibuk mengajak Lorent berkeliling di sekolah dan menceritakan banyak hal padanya. Mungkin perhatian perhatian kecil seperti ajakan ke kantin masih diberikannya padaku, tetapi selebihnya aku hanya duduk di kelasku sambil menghabiskan waktu dengan belajar. Sekarang ini aku sedang duduk di halte bus untuk menunggu rute ku, suara yang tidak lagi asing bagiku mulai terdengar. "Aku akan memberimu tumpangan, kau masih baru di kota ini bukan? Jangan memaksakan naik bus dan akhirnya salah rute!" itu suara Dewa yang sedang membujuk Lorent untuk pulang bersamanya. Lelaki yang satu jengkal lebih tinggi darinya itu mendorong wajah Dewa untuk menjauh darinya sana berjalan semakin dekat ke arahku. "Hai," sapanya padaku, aku mengangguk sekilas dan menggeser tempat duduk ku, tidak lama kemudian sosok Dewa menyusul dibelakangnya. "Hai...mau kuantar pulang ?"
"Rumah kita berlawanan arah, Sadewa. Kau mau menghabiskan satu jam percuma hanya untuk mengantarku pulang?" balasku memutar mata jengah, bukan Dewa namanya jika tidak membalas sambil bercanda. "Buat kamu apa lah yang tidak kulakukan, setidaknya alasanmu lebih masuk akal daripada anak ini. Dia tidak mau kuantar pulang padahal belum tahu pasti rute menuju rumahnya."
Perhatianku teralih pada laki laki yang duduk tidak peduli disampingku, "Dimana rumahmu?" ia menyebutkan nama daerah yang sama dengan tempat tinggalku. Sontak saja aku mengatakan, "Itu rute yang sama denganku, aku akan mengantarmu pulang kalau begitu. Ya...meskipun yang kumaksud adalah menunjukkan jalannya."
"Tentu saja, terimakasih. Dan kau, pulanglah sendiri kerumahmu. Aku akan pulang bersama Slyvia,"