"Kevin, kau sedang apa di sini?" Albert tiba-tiba sudah berdiri di belakangnya dengan raut keheranan, saat melihat Kevin seperti sedang serius memperhatikan sesuatu sambil sesekali berbicara sendiri.
Kevin terperanjat. Dia berdiri lantas melirik Jane yang tampak diam, tak berkutik.
"Kau kan tahu di sini itu sangat bahaya. Mengapa kau keluar sendiri tanpa mengajakku? Siapa yang membawa kau kemari?" Albert menarik lengan baju Kevin agar keluar dari sana. Terlihat sekali dari rautnya, dia tampak khawatir. Takut jika sahabatnya ini kenapa-kenapa dan dirinya juga tak ingin mengambil resiko lebih untuk itu.
"Dari tadi aku khawatir sekali. Aku sudah mencarimu kemana-mana dan tak kutemukan keberadaanmu di manapun."
"A-albert, m-maafkan aku. Aku tak berniat membuatmu khawatir." serunya kemudian setelah sampai di rumah. "Tadi aku bosan di dalam rumah terus. Jadi ya sudah. Aku jalan-jalan saja ke belakang rumah ini."
"Iya tapi mengapa kau tak menungguku?" tanya Albert tak mau kalah.
"Karena kau lama. Jadi aku jalan saja ke sana."
"Bukan masalah apa-apa, Kevin. Kau tahu kan kalau keberadaan kau di sini sangat sensitif dan berbahaya? Ini tak baik dan tak seharusnya kau lakukan lagi. Jujur aku sangat takut kau hilang." wajah Albert sangat merah. Tampak sekali dia gemetaran hebat karena mungkin, membayangkan hal yang tak sanggup untuk dia hadapi jika ketakutannya benar-benar terjadi.
Kevin merasa bersalah karena melihat sahabatnya sangat khawatir. Berulang kali dia meminta maaf atas keteledorannya dan berjanji tak akan melakukan hal yang sama.
Di samping rasa khawatir Albert, Kevin sebenarnya masih penasaran karena dia belum selesai mendengarkan cerita yang disampaikan oleh Jane.
Anak itu sangat pandai bercerita hingga membuat Kevin merasa ingin tahu lebih dari sekedar tahu. Awalnya, dia hanya penasaran saja. Namun saat Jane bercerita lebih, kini Kevin ingin mengetahuinya lebih detail dari awal sampai akhir, seperti ini.
Setelah kembali tenang, Albert meminta Kevin untuk segera istirahat. Kali ini, dia merasa untuk lebih memperhatikan sahabatnya itu agar tak mengulang lagi kejadian tadi.
Dia bersyukur jika Kevin masih berada di sekitar rumahnya. Karena Albert sangat khawatir, takut suatu saat nanti Kevin mendapatkan bisikan jahat untuk masuk ke dalam hutan terlarang itu.
Dia paham betul jika ada seseorang yang masuk ke sana, maka kemungkinan untuk kembali akan sangat kecil.
Selain itu, Albert juga memperhatikan sikap Kevin sekarang yang agak lain dari sebelumnya. Dia selalu mendapati pria itu mengobrol sendirian, padahal tidak ada siapa-siapa. Dia juga melihat, Kevin sekarang lebih berani dari sebelum dia datang kemari.
Kevin adalah tanggung jawab besar bagi Albert karena dia sendiri yang mengajak temannya untuk kemari, menemaninya. Otomatis selama Kevin di rumahnya, dia harus menjaga betul bagaimana kondisi Kevin dan segala hal yang ada di dalamnya. Meski dia juga sama-sama takut, tetap saja dia harus bisa menjadi leader bagi Kevin agar pria itu tak merasa sangat kesepian di rumah itu.
"Aku akan menyiapkan makan siang di bawah. Jadi aku mohon, kau jangan kemana-mana. Diamlah di kamar dan aku akan kemari setelah makanan sudah siap." ujar Albert memperingatkan.
Kevin mengangguk paham. Dia mengambil remote televisi kemudian menyalakannya. Terlihat, ada beberapa stasiun yang membuat Kevin tertarik untuk menontonnya.
Sesekali dia merasa ada hawa tak enak yang tiba-tiba mendarat di depannya. Hawa itu terasa panas dan membuat sesak. Kevin sampai membandingkan hawa tersebut dengan hawa yang ada di sampingnya, namun sangat jauh berbeda.
Karena merasa tak enak, Kevin menggeser posisinya agar lebih nyaman lagi melihat tayangan televisi itu.
Namun belum sempat menghela napas, hawa itu kembali Kevin rasakan seolah mengikuti posisi Kevin saat ini. Karena kesal, pria itu mendelik dan berangsut pergi dari kasurnya untuk ke balkon.
"Aku tahu kau bukan Jane." batin Kevin. Dia sangat yakin karena keberadaan Jane sekarang, bisa dirasakan berbeda oleh Kevin dan tentu, sosok yang mengikutinya sekarang bukanlah sosok Jane.
Dia tak tahu siapa.
Bulu kuduk Kevin tiba-tiba meremang. Dia merasa sesuatu yang sangat aneh ada di sekelilingnya. Hawa itu, membuat Kevin terasa sangat sesak seperti sedang berhimpitan dengan kerumunan orang di tempat sangat sesak.
Tahu ada sesuatu yang sangat aneh, Kevin segera mengunci pintu balkon untuk menghindari hal-hal yang tak diinginkan terjadi. Tak lupa, semua gorden dia buka agar cahaya masuk dengan kentara.
"Jane?" panggil Kevin sambil sesekali mengecek lemari. Anak itu memang sering muncul dari sana. "Kau di mana? Temani aku di sini." ucapnya lagi dengan pelan.
Namun nihil, tak ada sautan sedikitpun. Kevin masih merasakan rasa merinding yang luar biasa. Tak hanya bulu kuduk, bulu di tangannya pun semuanya berdiri.
Tak lupa, Kevin terus membacakan doa-doa semampunya agar energi itu bisa hilang dengan cepat. Tak henti dia berdoa agar gangguan tersebut tak bisa mencelakainya ataupun sahabatnya, Albert.
"Kau sedang apa?" tiba-tiba, sebuah suara mampu membuat Kevin terperanjat. "Kau kenapa, Kevin? Sikapmu sangat aneh." lanjut Albert sambil terkekeh.
Dia datang sambil membawa satu nampan makanan yang sangat wangi sekali. Kevin jadi tenang karena setelah Albert datang, dirinya tak sendiri lagi.
Kevin terkesiap saat melihat makanan yang Albert masak, tersaji begitu indah dan nikmat sekali. Dia sangat senang melihat makanan-makanan itu begitu enak dipandang. Belum lagi karena lapar, Kevin tak sabar untuk segera mencicipi masakan Albert.
"Kau cepat sekali masak makanan sebanyak ini, Albert." ujar Kevin sambil terus memandang makanan itu satu persatu.
"Kau seperti tak tahu saja, aku akan senang memasak?"
Kevin tertawa kecil. Membenarkan apa yang diucapkan temannya itu.
"Ayolah makan lebih dulu. Aku akan ke kamar mandi sebentar." Albert membawa sabun cuci mukanya lantas masuk ke dalam kamar mandi tersebut.
"Hei!" suara samar-samar Kevin dengar saat dirinya akan menyuapkan makanan itu ke dalam mulut. "Kau makan apa?"
Tampak, Jane tiba-tiba muncul dari luar kamar. Seperti biasa, dia selalu kepo dan penasaran ingin tahu saja apa-apa yang dilakukan Kevin.
Tanpa diminta datang, anak itu selalu muncul dari mana saja. Namun saat dibutuhkan, Jane malah tak tahu di mana.
"Wah. Kau tak ajak aku untuk makan bersamamu." Jane duduk di tepi kasur.
"Memangnya orang sepertimu bisa makan?" tanya Kevin benar-benar tak tahu.
"Bisa. Namun tak seperti manusia yang bisa menelan semua makanan itu. Aku hanya bisa menyesap sari makanannya saja."
Kevin terdiam sebentar. "Oh, jadi makanan ini masih ada, begitu?"
Jane mengangguk. "Kau masak sendiri?"
"Bukan. Ini buatan Albert."
"Albert?" Jane memastikan ucapannya.
"Iya. Dia memang pandai memasak. Aku akui masakannya selalu enak. Ayo, kau ikut makan juga. Aku sudah tak sabar ingin mencoba masakan buatan Albert ini." Kevin tampak antusias dengan makanan-makanan yang ada di hadapannya. Dia benar-benar tak sabar ingin segera mencicipi hidangan itu.
"Sebentar," Jane menahan tangan Kevin saat pria itu akan menyuapkan makanan ke dalam mulutnya. Lagi-lagi, Kevin menghela napas dengan berat karena sejak tadi, dia selalu gagal menyuapkan makanannya itu.
"Ada apa?" tanya Kevin menahan kesal.
"Ini bukan masakan Albert!"
...