Dengan perasaan gelisah Gara memasuki restoran bintang lima yang super mewah itu. Pernak-pernik yang menyala menghiasi awal memasuki restoran yang bergaya ala korea selatan ini. Gara sudah menebak kalau pemilik restoran super mewah ini berasal dari korea. Buktinya saja, saat Gara memasuki restor mewah ini, huruf korea terpampang menyala di atas gedung restor ini. Indah sekali, tapi kenapa Gara baru tahu kalo restor korea juga ada di sini. Kalau gitu Gara akan makan di sini. Banyak-banyak nanti.
Semakin Gara memasuki restor itu, Gara semakin merasakan dirinya terisolasi. Bagaimana tidak? Gara melihat kebanyakan yang berada di sini adalah berpasangan. Sementara dirinya sendiri saja. Ehk, Gara lupa dia, 'kan kesini buat kencan buta.
Gara pastikan wanita yang akan bertemu dengannya malam ini tak akan pernah menemuinya lagi. Itu sudah pasti. Seorang pelayan restoran datang menghampiri Gara.
"Permisi, sudah ada janji?" tanya pelayan itu.
"Janji? Janji apa? Gara belum pernah bertemu denganmu apalagi berjanji sama kamu." Gara membuang muka, kesal!
Pelayan itu jadi salah tingkah menjawab pertanyaan Gara. Bukan itu maksudnya!
"Eemm..., bukan begitu maksud saya Pak."
"Apa Pak? Gara masih belum setua yang kamu pikirkan," celetuk Gara.
Lagi dan lagi pelayan itu jadi gelegapan menghadapi Gara. Pelayan itu menepuk jidatnya. Ya'ampun! Ia baru pertama kali ini menemui orang seperti Gara yang polosnya minta ampun.
"Baiklah. Mas...."
"Mas? Saya bukan suamimu! Enak aja bilang Gara, Mas."
"Huft!" Pelayan itu menghela nafas pasrah. Bisa-bisa otaknya bagong jika terus menghadapi lelaki di hadapannya ini. Tak ayal Gara menjadi pusat perhatian di sana.
"Apa ada janji temu dengan seorang gadis?" tanya pelayan itu? Ia sudah pasrah jika harus salah lagi.
"Ada. Nomor meja 35. Spesial!" Gara menekan kata spesial.
Akhirnya pelayan wanita itu bisa bernafas lega. Kali ini ia benar. Pelayan tersebut pun mengantar Gara menuju meja nomor 35. Di sana Gara tersenyum jail melihat seorang gadis yang duduk dengan gaun berwarna merah tengah menatapnya. Dengan anggun gadis itu menghampiri Gara.
"Kau Gara Xien?" Gadis itu bertanya dan Gara menanggapi dengan mengangguk.
"Kau siapa? Kau kenapa ada di sini?" Gadis itu mengerutkan kening. Bingung.
"Emm--."
"Aku bercanda, ayo kita duduk."
"Syukurlah. Aku pikir kamu tidak tahu kalo kencan buta kita sudah dipersiapkan oleh orangtuamu." Gadis itu terkekeh.
"Aku tahu." Gara tersenyum ke arah gadis itu. Tak lama sebuah pesanan mereka datang, padahal mereka tak memesan apapun.
"Aduh! Gara kau memang lelaki romantis. Kau sudah tahu apa makanan kesukaanku." Gadis itu dengan centilnya memegang tangan Gara.
Gara tersenyum kikuk, lalu menarik tangannya dari genggaman wanita itu.
"Kata Bunda, gak boleh bersentuhan bukan muhrim, tahu gak?"
"Ehk, maaf Gara aku gak sengaja. Sangking semangatnya." Gadis itu menyengir kuda.
Gara terus mencari ide untuk bisa membuat gadis ini ilfeel kepadanya. Aktivitas makan terus berjalan dengan lancar, sesekali gadis bernama Reva itu menyentuh tangan Gara, meski Gara sudah berulangkali melepas karena risih.
Gara muak dengan tingkah gadis di hadapannya ini.
"Kamu mau menikah denganku?" Gadis itu melotot tak percaya ketika Gara menyampaikan pertanyaan itu.
"Sudah tentu mau!" Gadis itu bersorak ria. Hatinya sudah berdebar tak karuan ketika Gara meraih tangannya. Serasa berada di awan senja. Gadis itu mabuk kepayang ketika Gara menatap lekat matanya.
"Kamu mau menikah denganku yang memiliki penyakit kelamin?"
"What?" Gadis itu lagi mengerutkan kening. Kerutan ini lebih parah tercetak pada dahi Reva.
"Iya, Gara punya penyakit kelamin. Kelamin Gara gak besar, kamu pasti gak puas. Makanya, orangtua Gara ngadain kencan buta supaya Gara bisa dapatkan seorang gadis. Orangtua Gara berbohong sama kamu."
"A-apa pe-penyakit k-k-ela-lamin?" tanya Reva terbata-bata.
"Iya!" Gara mengangguk antusias. "Kamu gak percaya? Perlu aku tunjukkin?"
Reva beranjak dari kursinya. Tingkah Gara sangat membuatnya malu ketika lelaki itu hampir membuka kancing celananya.
"Kamu gadis yang jahat! Kamu menghina kelamin Gara yang keci dan penyakitan! Dasar wanita jahat!"
Reva gelegapan tidak tahu harus bagaimana menghentikan Gara yang merengak yang terus mengatakan dia wanita jahat. Wajah Reva mau ditaruh dimana kala melihat perhatian teralihkan kepada mereka. Reva kewalahan menghentikan tangis Gara yang semakin menjadi-jadi.
"Gara sudah hentikan. Malu tahu," lirih Reva menenangkan Gara. Sumpah Reva ingin kabur saja dan tidak ingin menemui Gara yang telah membuatnya malu.
Gadis itu kemudian dengan perlahan melihat sekelilingnya.
"Dasar lelaki gila!" ketusnya lalu berlari keluar restor sambil menutup wajahnya dengan tas brandednya.
Gara berhenti menangis dan merengek. Kekehan dan tawa membahana mengelegar begitu saja. Sudah tentu pelakunya adalah Gara. Rasain! Sebetulnya ia hanya berpura-pura saja. Penyakit kelamin? Ide yang baik yang terlintas di otak Gara yang polos. Ini untungnya jika sering menonton film. Sebenarnya, Gara tidak tahu apa itu penyakit kelamin. Ia hanya manggut-manggut saja ketika temannya di korea selatan menceritakan kisah cintanya yang juga sama halnya yaitu dijodohkan. Temannya itu alibi dengan penyakit kelamin. Gara akhirnya mengikuti cara temannya itu.
Dan lihatlah hasilnya, gadis itu berlari ketakutan darinya. Gara, 'kan sudah bilang kalo gadis itu tidak akan pernah menemuinya lagi.
"Emang kelamin Gara kecil, ya?" Au ah Gara gak tahu lebih tepatnya lupa. Hampir saja lelaki itu membuka kancing celananya karena ingin melihat apakah kelaminnya kecil atau besar kalau orang-orang yang berada di sana tak berteriak menghentikan Gara.
"Kenapa kalian berteriak? Gak sabar melihat kelamin Gara?"
Ampun dah!
***
Gara menahan tawa dengan membungkam mulutnya sendiri. Rasain, 'kan makanya kalau mengganggu Gara yang polos. Ia akan melakukan apapun saja demi keluar dari kencan buta ini.
Gara tak tahu harus melakukan apalagi jika kencan buta keduanya dipersiapkan oleh kedua orangtuanya.
Ting!
Gara membulat sempurna dengan mata yang berbinar kala sebuah ide cemerlang melintas di kepalanya. Kenapa baru kali ini ia memikirkan ide itu.
"Gara bilang aja kalo Gara mau menikah, tapi sama Acha," Gumam Gara.
"Tapi bagaimana cara mencari gadis candy itu, ya?"
Gara meletakkan tas selempangnya di atas nakas tempat tidurnya. Lalu berjalan mondar-mandir tak karuan dengan tangan yang terus menggaruk dagunya. Seolah tengah berpikir.
"Aha!" Gara menjetik jemarinya. Sekarang ia tahu bagaimana caranya mencari gadis itu.
Seingat Gara saat bertemu dengan gadis itu dua hari yang lalu, Gara masih ingat jelas dengan seragam sekolah yang digunakannya. Seragam atasan putih dengan rok hitam bergaris-garis.
"Iya Gara ingat. Acha tunggu Gara, ya. Gara berjanji akan melindungi Acha."
Awal bertemu dengan Acha, Gara melihat sesuatu darimata gadis itu. Sebuah perasaan tertekan yang luarbiasa Gara rasakan dari tatapan gadis itu.
Gara memang polos, tetapi bukan berarti orang polos tidak memiliki perasaan. Sikap mereka yang tidak egois mampu merasakan perasaan sesama mereka dengan jelas.