webnovel

7. Kehidupan si gadis Candy

"Mah! Maafin Acha Mah! Buka pintunya, Acha ingin sekolah." Teriakan miris dari seorang gadis bernama Acha terus bergemang di kamar yang begitu berantakan tersebut.

Bantal-bantal berserakan dimana-mana bukan berada ditempat yang seharusnya lagi. Bekas kulit permen terlebihnya dan gorden yang sudah tersobek-sobek hampir tak nampak seperti gorden lagi.

Alih-alih menyembunyikan segala perasaan Fonts for Android and iPhone - www.fontskeyboard.comya, Acha malah terkurung di dalam ruangan yang sebetulnya kamar, tetapi bukan terlihat kamar lagi. Nyengat bertebaran dimana-mana menghinggapi sisa-sisa permen dan makanan bungkus yang Acha sempat beli di toko milik orangtua salah satu temannya.

Itupun harus diskon lagi.

Acha dengan deraian airmata terduduk dengan lesuh. Gadis itu sudah terlihat rapi dengan seragam sekolahnya. Namun Ibunya malah mengurung dan tak mengizinkannya untuk ke sekolah.

Acha hanya bisa mengadu pada sang kuasa. Nasibnya berubah ketika Ayah kesayangannya meninggal dibunuh seseorang. Sekarang ibunya tak lagi menyayangi, Ibunya malah membenci dengan alasan Achalah yang membunuh suami tercintanya itu.

Tangisan Acha tak lagi didengar oleh ibunya. Rasa kebencian sudah menutupi hati wanita itu. Bahkan dulu ketika mendengar Acha mengeluh sakit dan menangis, Ibunyalah yang pertama berlari memeluk Acha putri kecilnya itu. Menanyakan berulangkali apakah Acha terluka?

Namun itu dulu, sekarang sudah berubah total sejak kematian sang Ayah. Meninggalkan little princessnya begitu saja ketika Acha masih berumur 12 tahun. Kira-kira sudah enam tahun yang lalu. Acha merindukan Ayahnya. Setiap kali Acha harus mendapatkan siksaan dari Ibunya, Acha hanya bisa rela dan memikirkan sayupnya wajah sang Ayah membuat Acha kuat meski tubuhnya sudah tak berdaya lagi.

Demi menutup luka dengan senyum, Acha harus bisa pergi sekolah demi masa depannya. Perusahaan Ayahnya bangkut dan ibunya bekerja sebagai seorang wanita jalang di klu malam.

'Hufft...'

Acha hanya bisa menghela nafas memikirkan itu semua. Sekarang dirinya tidak bisa kemana-mana. Semua ini salahnya, seandainya ia tak ketahuan karena pulang sore hari kemarin, maka Acha tak harus menghadapi amarah sang Ibu. Ini sudah dua hari ia tak sekolah, lalu bagaimana Acha harus menghadapi guru-gurunya nanti? Alibi apa yang Acha berikan mengenai ketidakhadirannya di sekolah.

"Pah, Acha kangen sama Papa. Acha harus bagaimana Pah? Beritahu Mamah, Acha tidak membunuhmu Pah. Acha sayang sama Papah. Kerja keras Papa membuat semua keinginan Acha terkabul selama Papa masih hidup Acha ucapkan terimakasih untuk itu semua. Acha mohon, Pah kembali."

Acha hanya bisa mengadu dengan sang Ayah. Berharap Ayahnya itu bisa mendengar tangisan Acha setiap harinya. Memang sangat sulit bagi Acha yang masih sekolah menengah pertama kelas 3. Umur masih delapan belas tahun, tapi harus menafkahi dirinya sendiri, harus mengurus dirinya sendiri tanpa kedua orangtuanya.

Terkadang orang selalu salah menilai Acha yang terlihat riang di sepanjang hari. Mengunjungi toko permen dengam sedikit senyum tulus tanpa tahu penderitaan gadis itu. Apa gadis itu sudah makan? Apa gadis itu sudah minum? Apa gadis itu kesepian?

Setiap kali Acha ke sekolah, hanya satu kekuatan hidupnya, yaitu teman-temannya yang selalu mendukung Acha. Selalu menanyakan keadaan gadis itu? Acha bersyukur memiliki teman seperti mereka. Yang selalu menemaninya saat Acha sedang terpuruk bukan main. Yah, itu sebagian. Sebagiannya lagi hanya menghina Acha dengan sebutan Anak haram.

Anak haram? Jelas-jelas Acha punya Ayah, punya Ibu. Yah, itu dulu. Sekarang Acha hanya memiliki Ibu seorang wanita klub malam. Apa yang harus ia lakukan?

Hanya sekolah, belajar sungguh-sungguh yang bisa Acha lakukan demi bisa merebut kembali perusahaan milik sang Ayah dan mencari siapa pembunuh Ayahnya sesungguhnya.

"Maafkan Acha, ya teman-teman. Acha gak bisa pergi sekolah hari ini. A-acha ... gak bisa ikut berkumpul sama kalian. Please jangan cari Acha. Hiks ... hiks ... hiks...."

Acha tertatih-tatih berdiri, bertopang pada kedua lututnya. Cambukan dari Ibunya semalam meninggalkan bekas luka yang memprihatikan pada kedua kaki Acha. Terpaksa Acha harus berhati-hati berbaring di atas ranjang. menyibakkan selimut lalu berusaha untuk tertidur.

***

Gara tersenyum melihat penampilan dirinya yang begitu terlihat dewasa. Setelan jas biru navy dengan kaos putih dan serta celana senada di tambah sepatu sneakers berwarna senada dengan setelannya.

Hari ini Gara akan mengunjungi perusahaan sang Ayah untuk pertama kalinya. Setelah menyisir rambut dan mengoles sedikit bedak di sekitaran wajahnya. Gara tersenyum sebuah akal jail mengelegar otaknya.

"Gara gak suka ke kantor Ayah. Baiklah. Gara sekarang giliranmu. Bagaimana kalo Gara kabur saja, ya!" Gara menepuk-nepuk tangannya membuat bedak yang berada di tangannya jadi terbang seperti debu.

"Uhuk! Uhuk!" Bedak tersebut tak sengaja mengenai hidungnya membuat Gara terbatuk-batuk.

Dengan cepat Gara mengambil tas selempangnya. Mengisi tas tersebut dengan beberapa permen, tak tertinggal dengan handphone dan power banknya. Ah, iya! Gara hampir lupa dengan sesuatu.

Wajahnya. Gara menyentuh wajahnya. Wajah ini tak boleh ketahuan, jadi Gara mengambil topi hitam dan masker lalu menggunakannya. Gara tidak suka mengunjungi perusahaan Ayahnya, dimana di sana ia hanya menemukan orang-orang yang sudah berwibawa dengan kedewasaan tingkat tinggi. Ah, Gara maunya bersenang-senang saja. Semasi Gara hidup di dunia ini Gara ingin melakukan apa yang ia mau.

Benar. Orangtuanya terlalu egois. Hanya menyuruh Gara menjadi apa yang mereka mau tanpa mengerti apa yang Gara inginkan sebenarnya.

Gara sudah bersiap-siap. Penampilan Gara ini tidak akan ketahuan oleh para anak buah Ayahnya yang pasti akan mencarinya. Gara berpura-pura berpakaian formal, karena sepanjang hidup Gara, lelaki itu tak pernah menyentuh sederatan jas yang sudah tersusun rapi di dalam lemarinya.

Dan sudah tentu harganya bukan main mahalnya. Namanya juga anak seorang presdir di perusahan X'ien gruop. Dimana Gara akan menjabat sebagai CEO nantinya. Namun, sekarang Gara tidak ingin mengunjungi perusahaan Ayahnya. Gara malas, lelaki itu ingin menghabiskan sisa waktunya untuk bebas. Apalagi ia akan menikahi seorang gadis yang dijodohkan kepadanya. Gadis berpakaian kurang bahan itu?

Sepertinya Gara harus melakulan renovasi terhadap pakaian wanita itu.

"Di hatiku tetap ada Acha. Gadis candyku!" pekik Gara tak tertahan ketika menyebut nama Acha. Aduh! Kenapa Gara yang polos jadi bucin seperti ini. Inikah yang dinamakan cinta pada pandangan pertama?

Flash back on

Dua hari setelah kasus percobaan pembunuhan yang telah terjadi kepada Gara. Akhirnya sang pelaku itu yang merupakan sekretaris kepercayaan Ayahnya ditangkap.

Pernikahan yang Gara tak ingin lakukan ternyata telah dipersiapkan oleh kedua orangtuanya. Malam ini kencan buta Gara dengan seorang gadis sudah diatur sedemikian rupa oleh Ennoch dan Aileen. Mau tak mau Gara terpaksa menghadiri kencan butanya itu dengan seorang gadis meski Gara sudah merengek kepada bunda dan Ayahnya, Gara tetap tidak di dengarkan oleh mereka.

"Bunda! Gara gak mau kencan buta. Hal semacam apa itu Bunda? Apa mata Gara harus di tutup, ya? Gara gak mau Bunda!" tegas Gara merengek kepada Bundanya yang sibuk memperbaiki dasi lelaki itu yang melenceng ke sebelah arah. Dasi saja masih belum bisa Gara gunakan dengan baik, apalagi jika memimpin perusahaan X'ien group.

Itulah yang mereka khawatirkan. Orangtua itu bukan egois! Ingat, dia hanya ingin membentuk yang terbaik di dalam hidupmu. Sepertinya Gara terlalu naif dan polos untuk mengerti hal itu.

"Kamu harus menemui gadis itu. Awas jangan main-main Gara." Bunda Aileen menuangkan bedak My baby di tangannya, lalu mengusapkannya di wajah Gara dengan telaten.

"Bunda ngapain sih? Gara gak mau tahu kencan buta. Gara gak mau buta!"

Aileen mengerutkan keningnya. Makin hari makin lama Gara semakin menjadi-jadi kekanak-kanakannya. Kepolosannya sudah melebihi tingkat kepedasan dunia. Aileen menepuk jidatnya.

"Gara gak harus buta sayang. Siapa yang bilang Gara bakal buta, huh?"

Gara mengulum bibirnya, kebiasaan. "Anna, Bunda," ungkapnya.

"Kamu masih bisa dibodohi oleh Anna? Kamu tahu Anna, 'kan? Dia itu sering ngaco sayang. Sudah jangan dipikirin. Sekarang kamu harus menemui gadis itu, ya?"

"Iya, Bunda." Dengan wajah kusam Gara keluar dari kamarnya. Seorang pelayan membuka pintu utama, dimana Gara mampu melihat sebuah mobil yang menyala tengah menunggunya.

"Cepat." Bunda menyentuh bibir Gara lalu menyugingkannya ke atas. "Tersenyum!"

Gara mengangguk kemudian berjalan dengan gaya seorang anak kecil yang masih ragu ingin pergi atau tidak. Sesekali melihat ke belakang. Seolah-olah menunggu Bundanya untuk memanggilnya, dan tidak menghadiri kencan buta itu.

Kencan buta? Dua kata yang begitu asing dan baru di dengar oleh Gara.