webnovel

Eternal Past Life

Seorang model bernama Arthur Stefanus Theodore, selalu melihat Putri Korea di mimpinya tiap malam Sedangkan Mike Delwin, pria biasa-biasa saja, selalu melihat pangeran dari kerajaan Tiongkok di mimpinya dan berakhir dengan menangis tiap malam Pertemuan tidak sengaja di sebuah caffe, mengantarkan kedua orang itu pada ikatan takdir yang tersambung sejak lama Mampukah mereka menguak apa yang sebenarnya terjadi?

nia_rahmah · LGBT+
レビュー数が足りません
3 Chs

I'm not gay!

"Dunia sempit yah."

Sebaris kalimat itu meluncur begitu saja dari mulut tajam Arthur. Melihat lelaki berkulit coklat yang cukup tampan, andaikan kancing paling atas kemeja kotak-kotak merah dilepas dan tidak memakai ransel yang warnanya sudah pudar.

Mike Delwin menggigit bibir. Kemarin dia sangat yakin tidak akan bertemu Arthur lagi. Tapi sekarang ia berdiri tepat di depan pemuda berambut emas yang sedang menatapnya tajam. Entah hanya kebetulan atau takdir memang sedang mempermainkannya. Menyebalkan bukan?

"Jadi kamu pasangan modelku? Klub fotografi sedang kekurangan orang yah? Atau sudah tidak waras?" cibir Arthur menatap tajam semua orang di ruangan bercat putih tulang.

Tak ada suara yang menyahut. Mereka semua bungkam saat mata elang Arthur menatap satu per satu anggota klub. Dia duduk di salah satu kursi, memijat pelipis yang mendadak sakit.

"Aku tidak mau foto kalau modelnya dia. Lihat saja wajahnya itu. Kampungan!"

Jantung Mike berdenyut saat mendengar makian Arthur. Dia sudah biasa dihina. Namun entah kenapa jika Arthur yang memaki, rasa sakitnya beribu kali lipat. Seperti orang yang kecewa saat dihina kekasihnya sendiri.

Mike menggelengkan. Mengenyahkan pemikiran aneh barusan. "Kekasih? Konyol," gumam Mike.

"Arthur, jangan begitu. Kasihan Mike." Seorang gadis berambut merah mendekat. Memberikan senyum paling manis yang bisa ditunjukkan. Hingga semua lelaki di dalam ruangan -termasuk Mike, terpesona. Tapi tidak dengan Arthur. Wajahnya masih dingin seperti es kutub yang tidak mudah mencair.

"Ck! Kamu juga aneh. Menyuruhku jadi model untuk majalah kampus. Tapi malah memasangkanku dengan orang yang tidak punya tampang model sepertinya."

"Arthur! kamu terlalu kasar!" bentak gadis bersurai ruby.

Mike menghela napas melihat Arthur marah. Bukan kemauannya menjadi model bersama Arthur. Dia bahkan tidak pernah berpikir akan menjadi model.

Mengalihkan pandangan ke gadis bersurai merah, Mike jadi teringat kejadian beberapa saat lalu.

Suara langkah menggema di sepanjang koridor yang sepi. Kebanyakan mahasiswa sudah pulang saat ini. Terutama mahasiwa kupu kupu seperti Mike. Ransel tersampir di pundak, dia berjalan dari koridor menuju gerbang sambil bersiur. Mike memperlambat langkah ketika melewati deretan ruangan yang tertulis nama organisasi masing-masing di tiap pintu. Ada klub tari, musik, paduan suara, theater, fotografi, dan masih banyak lagi.

"Kalo aku tidak part time, pasti bisa ikut organisasi. Tapi kalo begitu, keluargaku tidak akan bisa makan." Mike bermonolog.

Langkahnya terhenti saat melihat seorang perempuan dengan warna rambut mirip api berjalan mondar mandir di depan pintu bertuliskan klub fotografi. Mendekati si gadis, Mike bertanya, "Kamu perlu bantuan?"

Gadis itu berjingat mendengar suara Mike. Terdiam beberapa saat sambil mengelus dada, gadis itu memperhatikan Mike seperti mesin pemindai. Melihat dari bawah sampai atas lalu tersenyum lebar. Sampai Mike takut mulut gadis itu akan robek.

"Kamu mau membantuku?" tanya si gadis tersenyum simpul.

Tanpa berpikir panjang, Mike mengangguk. Terhipnotis dengan senyum menawan gadis di depannya.

"Kalo begitu, ayo masuk. Akan kuperkenalkan kamu dengan teman-temanku," ajak gadis itu lalu masuk ke ruangan bercat putih yang di dalamnya terdapat berbagai peralatan untuk pemotretan.

Dan disinilah Mike sekarang. Terjebak di ruangan putih tulang bersama Arthur, yang tak henti menatapnya tajam. Mike menelan ludah melihat kilatan petir di balik manik biru safir Arthur. Satu kata yang menggambarkan Arthur, seram. Mike yakin pemuda bersurai emas itu mampu memporak porandakkan seluruh isi ruangan.

"Sebenarnya pasanganmu bukan Mike, tapi ketua klub basket. Hanya saja tiba-tiba dia tidak bisa jadi model. Dan kami tak punya waktu untuk mencari model lain." Perempuan bersurai merah berusaha menjelaskan. Dia menggenggam tangan Arthur sembari memasang wajah melas.

Melihat tidak ada perubahan eskpresi, gadis itu melanjutkan perkataannya. "Kalo kamu tidak bisa juga, kami akan semakin bingung. Siapa lagi orang tampan dan terkenal di universitas ini selain kamu?"

Sudut bibir Arthur berkedut mendengar pujian ketua klub fotografi. Dia bangun dari kursi setelah melepas genggaman si ketua klub. Berdeham pelan, ia menatap gadis berambut merah dan Mike bergantian.

"Baiklah. Tapi dandani dia setampan mungkin. Jangan sampai aku dan dia terlihat seperti tuan dan pembantunya."

Semua orang di dalam ruangan bernapas lega mendengar penuturan Arthur. Klub mereka selamat sekarang. Diam-diam Mike memperhatikan wajah Arthur. Mengernyit kala merasa tidak asing dengan pemuda angkuh itu. "Apa aku pernah bertemu dia selain di caffe?" batinnya bertanya.

"Serahkan ini semua padaku," kata ketua klub melebarkan senyum hingga memperlihatkan deretan gigi yang putih bersih.

Para gadis yang diketahui sebagai anggota klub membawa Mike ke sebuah soffa, yang bantalannya lebih empuk dari ranjangnya. Pemuda coklat itu hampir tertidur jika salah satu gadis tidak menyapanya. "Namaku Jenie, siapa namamu?"

Dengan terbata, Mike menjawab, "Mike. Mike Delwin." Lalu merutuki diri sendiri yang gugup. Apalagi ketika melihat Jenie tertawa pelan. Sudah pasti gadis itu menertawai Mike yang terlihat aneh. Pipi Mike sampai memerah saking malunya.

"Jangan gugup gitu. Santai saja," ujar Jenie.

Mike mengangguk sebagai jawaban.

Mengedarkan kepala ke sepenjuruh arah, ia melihat beberapa orang sedang menaruh tripod beserta kamera di beberapa sudut. Sedangkan yang lain mengatur lampu agar mendapatkan cahaya yang pas. Kain putih yang disangga dua tiang telah terpasang di tengah ruangan. Terlihat Arthur sedang berpose, barangkali memilih pose apa yang pas untuk pemortetan.

Mata Mike tidak berkedip dari manik biru cerah yang memantulkan cahaya lampu. Sorot mata tajam itu mampu membuat siapa pun terjerat dalam pesonanya. Tatapan Mike turun ke hidung mancung lalu berakhir di bibir Arthur.

Pemuda tinggi besar itu meneguk ludah susah saat melihat bibir Arthur yang semerah darah. Perlahan rasa panas menjalar ke seluruh wajah. Bibir kecil yang bergerak indah saat berbicara, membuat jakun Mike bergerak naik turun. Darah berdesir saat pemuda kelewat putih itu menatap Mike. Ia tak bisa menahan jantung yang berpacu cepat seperti kuda yang dipecut.

"Hei! kenapa kau melihatku seperti singa yang kelaparan?"

Mike tersentak ketika menyadari Arthur berdiri di depannya. Ia buru-buru memalingkan muka yang semerah tomat. "Aku ... tidak menatapmu," kilah Mike meremas celana jins lusuhnya.

Sebelah alis tebal Arthur terangkat diikuti tangan yang terlipat di depan dada. "Jelas sekali kamu memperhatikanku. Jangan-jangan kamu tertarik kepadaku?" sinis Arthur menyeringai.

Buru-buru Mike menggelengkan. Tidak mungkin dia menyukai Arthur. Mike hanya kagum ada laki-laki semanis Arthur. Lagipula dia laki-laki. Bukankah aneh jika menyukai sesama lelaki?

"Mana mungkin aku menyukaimu? Aku bukan gay!" teriakan Mike sontak menimbulkan perhatian semua orang tertuju padanya. Mereka saling bisik -mengira-ngira apa yang terjadi.

Arthur tersenyum miring. Ia memajukan wajahnya hingga ia bisa merasakan deru napas Mike. "Yakin kau bukan gay?"

Napas Mike tercekat saat tangan Arthur mengelus rahangnya. Ia bisa merasakan jantungnya berdetak kencang seperti tabuhan drum. "Asal kau tahu, aku mampu membuat semua orang terpesona. Baik perempuan ..."

"Maupun laki-laki."

Mike berteriak dalam hati saat Arthur menyeringai. Memohon pada Tuhan agar tidak menjadi seorang homosexual.