webnovel

Kejadian diluar nalar

Cahaya jingga membentang lurus diantara perpindahan waktu antara siang dan malam. Memberi kesan indah dan menenangkan bagi para penikmat senja. Juga waktu yang cocok untuk rehat dari segala kesibukan duniawai sambil menyesap kopi dan menikmati pemandangan alam, ditemani alunan lagu yang menenangkan jiwa.

Itu yang direncanakan pemuda bersurai emas beberapa saat lalu sebelum antrean panjang nan memuakkan merusak suasana. Ditambah dingin dari cairan berwarna hitam pekat dan noda coklat di bagian dada, sukses menghancurkan rencana indah Arthur.

"Maafkan saya. Maafkan saya." Pemuda yang menumpahkan kopi membungkuk berkali-kali. Ia lebih tinggi dari Arthur sampai leher Arthur pegal karena harus mendongak. Dalam hati Arthur mendumel karena kalah tinggi dari lelaki menyebalkan yang sedang membungkuk.

Gadis Asia di samping Arthur menggigit bibir. Ia merasa bersalah. Bagaimana pun insiden ini terjadi karenanya. Andai ia bisa lebih sabar. Andai ia tidak menarik tangan Arthur dan pengndaian lain yang tak berguna karena semua sudah terjadi. Mau menyesal sebesar apapun, ia tak akan bisa mengulang waktu.

"Sekali lagi maafkan saya, biar saya cuci pakaian Anda," ujar si pelayan hendak membalikkan tubuh, berjalan ke ruang bertuliskan 'hanya karyawan' lalu mengambil benda apa saja untuk membersihkan baju pelanggan itu.

Tapi langkahnya terhenti saat seseorang menahan pergelangan tangan. Dia berbalik, menatap iris biru cerah lelaki yang dia tabrak. Sungguh rupawan, dia yakin banyak gadis yang menggilai pemuda ini.

Kulit putih mulus seperti porselen nampak berkilau terkena cahaya mentari. Bibir semerah darah yang pasti manis jika digigit. Dan manik biru laut yang mampu membuat semua orang terjerat dalam pesonanya.

"Tak apa. Lagipula aku tidak mau baju mahalku rusak karena kau cuci," balas Arthur sinis. "Aku juga yakin upahmu tidak akan cukup untuk mengganti kerugian, jadi enyahlah dari hadapanku," lanjutnya.

Kalimat sarkas yang tepat sasaran. Arthur benar, upah sebulan Mike hanya cukup untuk makan sehari-hari dan membeli beberapa kebutuhan. Bahkan dia perlu waktu setahun untuk membeli tas ransel dan sepasang sepatu. Mungkin dia harus minum obat lambung sebulan jika ingin mengganti baju lelaki blonde itu.

"Sekali lagi maafkan saya," mohon Mike yang tak disangka-sangka menjatuhkan air mata. Ia bukanlah laki-laki cengeng yang mudah menangis hanya karena hal sepele. Mike tidak sakit hati akan ucapan pelanggan yang dia tabrak. Mike sendiri tidak tahu kenapa dia menangis. Buliran bening itu turun begitu saja tanpa bisa disuruh berhenti.

"Hei jangan menangis!" pekik Arthur. Dia tidak menyangka ucapannya terlalu menyakiti perasaan si lelaki sawo matang. Praktis membuatnya merasa bersalah sudah berkata kasar pada pelayan itu.

"Huh?"

Bukan hanya Arthur yang bingung. Mike merasakan hal yang sama. Mengelap kelopak, dia terkejut telah menangis. "Kenapa aku menangis?" tanya Mike.

"Mana kutahu? Kan kau yang menangis. Dasar pria aneh," ketus Arthur. "Minggir. Kamu menghalangi jalan."

Bagai kerbau dicocok hidungnya, Mike menggeser tubuh ke kanan, mempersilahkan Arthur melewatinya dengan tatapan sinis. "Perasaan apa ini?" gumam Mike bertanya-tanya.

Menggelengkan kepala, Mike memilih membersihkan lantai yang basah -mencegah orang terpeleset, daripada memikirkan hal diluar nalar beberapa saat lalu.

Gadis bermata sipit mengetukkan kedua ibu jari di bawah meja. Dari tadi kepalanya menunduk karena pemuda di depannya memberikan aura intimidasi yang kuat. Kyung Mi tahu ini salahnya. Tapi, ayolah, dia juga tidak mau kejadian ini terjadi. Gadis itu ingin membela diri, tapi suaranya tercekat saat manik biru itu memberi tatapan tajam.

"Arthur, kamu mau pesan apa?" Kyung Mi memberanikan diri. Mungkin segelas kopi akan membuat amarah sahabatnya sirna.

"Terserah," sahut Arthur dingin.

Suara tegukan ludah terdengar. Berasal dari perempuan Asia yang duduk di depan lelaki Eropa. Suhu ruangan mendadak turun sampai minus. Kedua kaki Kyung Mi bergerak gelisah di kolong meja. Berpikir seraya mengigit bibir, ia harus cepat meluluhkan hati Arthur.

"Sebelum ke kelasmu, aku bertemj perempuan cantik. Dia mencarimu. Katanya kamu sangat tampan. Sepertinya dia mau menyatakan cinta."

Perkataan yang sebenarnya hanya karangan berhasil menarik perhatian Arthur. Pemuda itu menopang dagu dengan bibir yang tersenyum. "Benarkah? Secantik apa dia?"

"Pokoknya cantik. Dia tahu kamu dari majalah fashion. Dia bilang, kamu sumber inspirasinya."

Suasana tegang seketika hancur. Berubah menjadi hangat seperti bola panas di atas langit yang mulai tenggelam. Ditandai dengan Arthur yang tersenyum lebar juga tangan yang memainkan poni berbentuk tanda koma. "Memang yah, tidak akan ada yang bisa menolak pesona seorang Arthur."

"Tentu saja. Kamu orang paling tampan sekampus," puji Kyung Mi mengacungkan dua ibu jari.

Hidung mancung Arthur kembang kempis diikuti rona merah yang mulai menjalar ke pipi putihnya. Sepertinya pemuda blonde itu lemah dengan pujian.

"Karena suasana hatiku membaik, aku akan mentraktirmu. Pesan apa pun yang kamu inginkan," sergah Arthur setelah mengibas rambut ala model iklan sampo. Kyung Mi bernapas lega mengetahui Arthur sudah tidak marah. Cara satu ini memang selalu berhasil.

"Benar yah? Kalo gitu aku akan pesan banyak cake," balas Kyung Mi semangat.

"Silakan. Pesan yang banyak. Lagipula uangku tidak akan habis hanya karena mentraktirmu," timpal Arthur menyunggingkan senyum lebih lebar lagi. Ia menatap pantulan wajahnya di kamera setelah merogoh ponsel di saku celana. Gadis di depannya tersenyum tipis sembari menggelengkan kepala.

"Kamu lucu sekali Arthur," ucap Kyung Mi dalam hati. Menatap Arthur dengan sangat fokus bahkan sampai tak berkedip.

"Ada sesuatu di wajahku?"

Wajah Kyung Mi merah padam saat manik biru Arthur menabrak manik coklatnya. Ia seperti orang mesum yang tertangkap basah memperhatikan alat kelamin seseorang. Memanggil pelayan menjadi cara praktis mengalihkan perhatian. Setelah itu waktu terlewati dengan Arthur dan Kyung Mi yang menyesap kopi dalam dia sembari memperhatikan cahaya jingga dari balik kaca transparan.

Suara gemericik air terdengar di toilet khusus karyawan. Kaca lebar memantulkan wajah pemuda berkulit coklat. Mike Delwin mematikan keran setelah membasuh wajah. Alis tebal itu menyatu hingga nampak kerutan di tengah dahi. Ingatannya menerawang pada insiden tabrakan dengan lelaki berparas tampan.

"Siapa orang itu? Kenapa aku tiba-tiba menangis? Dan dia ... entah kenapa aku seperti pernah melihatnya. Apakah dia selebriti?"

Berbagai pertanyaan berkecamuk di pikiran Mike. Baru kali ini dia mendapat perasaan aneh. Perasaan yang tak pernah dia rasakan selama 20 tahun hidup.

"Sebenernya apa yang terjadi? Aku yakin tadi menangis bukan karena sakit hati atas ucapannya. Lagipula perkataan dia benar." Suara Mike terdengar lirih di akhir kalimat. Embun tercipta di kaca saat Mike menghembuskan napas berat.

"Yeah wajar orang kaya meremehkan orang miskin. Jadi ... aku tidak perlu sakit hati."

"Sudah takdirku dihina seperti itu."

Mike menghakhiri kalimat menyedihkan dengan memasang senyum yang terkesan dipaksakan. Dia keluar dari toilet sebelum mendapat omelan dari bos. Mencari pundi-pundi uang untuk mengisi perut lebih penting daripada memikirkan hal yang tidak jelas. Dia juga yakin tak akan bertemu lagi dengan pria kelewat putih arogan itu.

Next chapter