webnovel

Like Ordinary High Schooler (1)

Menunggu lampu merah masih terlalu lama, akan semakin membunuh waktu, pikir Ken dengan kedua tungkai yang masih terus berlari dan mata terpancang pada hitungan mundur di lampu merah. Ia berpikir sebentar, kemudian mempercepat laju larinya dan putar haluan memasuki jalan sempit di antara kedai ramen dan kedai makanan manis yang sama-sama masih belum buka. Kalau saja ia tidak bangun kesiangan, Ken tidak akan memilih jalan ini sebagai alternatif.

Ken mengerem mendadak ketika suara gonggongan anjing mengagetinya dan membuatnya mundur ke belakang. Gonggongan itu saling bersahut-sahutan, seolah gerombolan anjing yang menghadang jalan Ken sangat tidak menyukainya. Ken berdecak kesal, merogoh saku celana, kemudian melempar asal benda—entah apa—yang teraba oleh jarinya. Anjing-anjing itu teralihkan perhatiannya, sibuk mengejar sesuatu yang dilempar Ken, sementara Ken segera ambil ancang-ancang untuk melompati pagar setinggi dua meter di depannya. Ketika para anjing telah hilang minat pada sesuatu yang dilempar Ken, Ken telah lenyap dari pandangan mereka.

"Ah, kupon diskon 30% Ramen Oyaji!" seru Ken tiba-tiba, masih sambil berlari, ketika akhirnya ia mengingat benda yang terselip di saku celananya. Kupon diskon sebesar 30% di kedai ramen Oyaji yang Ken dapatkan ketika dia dan teman-temannya mengisi perut di sana beberapa minggu lalu. "Kalau saja aku tahu itu kupon diskon Ramen Oyaji, aku lebih memilih memukul mereka satu per satu dengan batu! Sial!"

Ken melampiaskan kekesalannya dengan berlari. Jalan kecil berliku-liku yang dilaluinya tiba-tiba mengingatkannya pada sebuah game melarikan diri yang berlatar di sebuah labirin. Dulu, ia selalu berharap bisa memainkan peran sebagai bos terakhir karena pergerakannya yang sangat gesit seolah-olah sudah hapal di luar kepala jalur labirin yang dilaluinya. Terpikir hal itu, Ken tiba-tiba menyeringai dan kembali melompati pagar.

Di hadapan Ken sekarang, gerbang sekolah sudah separuh tertutup. Seorang guru yang berusia akhir 30-an menyadari kemunculan Ken, kemudian mempercepat gerakannya menutup gerbang. Merasa ditantang, Ken menambah kecepatannya dan berhasil lolos di antara celah sempit yang tersisa. Ken mengepalkan tangan ke atas, sementara guru penutup gerbang meneriakinya karena Ken telah lancang menabrak tubuhnya ketika ia memasuki gerbang.

Tantangan belum selesai sampai di situ. Lima meter di depannya, Ken dapat mengenali sesosok punggung berlapis baju rajut hijau. Tidak salah lagi, itu wali kelasnya. Masalah besar nomor dua yang tidak ingin Ken alami adalah berurusan dengan wali kelasnya. Keras, disiplin, dan tidak berempati. Memikirkanya saja sudah membuat Ken sakit kepala.

"Imai kun."

Ken lupa. Selain keras, disiplin, dan tidak berempati, tingkat sensitifitasnya juga sangatlah kuat. Mungkin berkisar 80 sampai 90%, sisanya karena Ken memang dikenal sebagai murid yang selalu datang terlambat.

"… Sensei." Ken berjalan menghampiri wali kelasnya sambil menundukkan kepala seadanya.

"Terlambat lagi," gumamnya dengan suara datar. Sepasang mata tajam di balik kacamata itu mengamati Ken lekat-lekat dari atas sampai bawah. "Kali ini apa alasannya?"

Ken memutar otak, tapi tidak kunjung menemukan alasan yang tepat.

"Rilis game baru …."

Terdengar bunyi pintu digeser. Ken mendongak sedikit, melihat sang wali kelas yang hanya berdiri diam sementara tangannya masih menempel di pintu, seolah-olah menyuruh Ken masuk. Ken menatapnya dengan agak tidak percaya, lalu masuk dengan kepala menunduk.

Ken menghampiri meja kosong paling belakang, masih sambil bertanya-tanya dalam hati. Satu hal yang hampir bisa dibilang mustahil jika alasan keterlambatannya tadi dapat langsung diterima tanpa satu pun komentar. Sangat tidak biasa.

"Hei," bisik Ken pada dua orang laki-laki yang duduk di samping kanannya. Mereka berdua menoleh. Yang duduk di samping Ken menatapnya sambil mengangkat satu alis, sementara yang duduk di depan menatapnya sambil tersenyum-senyum. "Sejak kapan Taniguchi naik pangkat jadi kepala sekolah?"

Laki-laki yang sedari tadi menatap Ken dengan wajah menahan tawa tak lagi bisa menahannya, terlebih lagi saat pertanyaan itu keluar dari mulut Ken. Semua mata di dalam kelas sontak mengarah padanya, termasuk sang wali kelas, Taniguchi.

"Ogawa kun, silakan keluar jika masih ingin tertawa."

Orang yang bersangkutan berdeham, menahan tawanya sekuat tenaga. "Maaf."

Setelah suasana kembali tenang, wali kelas kembali berbicara di balik mimbar kebesarannya sambil membuka map kuning yang senantiasa dibawanya. Ken mengamati dalam diam, dengan kedua alis bertaut dalam, kemudian berdeham.

"Ken, kepalamu terbentur apa kali ini?"

Ogawa nyaris memuntahkan tawa untuk yang kedua kalinya. Laki-laki yang duduk di belakang Ogawa menatap Ken dengan tatapan menilai sekaligus menebak.

"Bukan karena naik jabatan, Ken. Itu karena bunkasai* tempo hari."

Seorang lagi teman Ken, yang duduk persis di depannya, meluruskan praduga liar dalam kepala Ken. Ken menopang dagu, lalu bergumam pelan sambil mengangguk-angguk ketika memori itu muncul dalam kepalanya.

"Oh, rekor konsep bunkasai yang belum pernah ada sebelumnya …," kata Ogawa sambil menjentikkan jari, bersamaan dengan kepergian Taniguchi. "Kalau diingat-ingat lagi, salahmu sendiri main nintendo saat pelajaran Taniguchi. Untungnya, kemampuanmu bukan hanya main game, Ken. Kalau tidak, kau hanya buat malu."

Ken ingat. Di hari Kamis siang yang begitu panas, pelajaran sejarah yang dibawakan Taniguchi terasa lima kali lipat lebih membosankan daripada hari-hari biasanya. Malam sebelumnya Ken habiskan dengan mengeksplorasi rilis terbaru game favoritnya sampai pukul dua dini hari. Ken ingin tidur siang itu, tapi seketika dia ingat kalau nintendo yang dibawanya kemarin masih ada di dalam tas. Ken pun sibuk bergelut menekan-nekan tombol nintendonya dari bawah meja, sementara Taniguchi mulai menyadari kejanggalan pada salah satu muridnya.

Nintendo Ken nyaris disita. Ken menolak keras, tentu saja. Taniguchi pun memberi Ken pilihan. Relakan nintendonya atau berkontribusi penuh pada acara bunkasai yang saat itu akan dilaksanakan sebulan lagi. Tanpa pikir panjang, Ken memilih pilihan kedua. Ken tidak rela barang kesayangannya disita, apalagi barang yang dibeli dengan hasil uang tabungannya sendiri.

Di luar ekspetasi Taniguchi, bunkasai kelas 2-3 mendapat rekor sebagai 'konsep langka yang belum pernah terselenggara sebelumnya' sekaligus 'kelas dengan penghasilan terbanyak'. Intinya, sukses besar. Hasilnya, Ken berhasil mendapatkan kembali apa yang telah terenggut darinya.

"Uangnya dipakai untuk apa?"

"Karaoke."

"Eh…?" Ken memasang wajah kecewa.

"Jangan salahkan mereka, kau sendiri yang bilang tidak mau ikut."

Ken membuang napas frustrasi. "Kalau saja aku tahu teman-teman sekelas memakai uang pendapatan bunkasai hanya untuk karaoke, seharusnya aku ambil uangnya diam-diam sebelum mereka pergi."

Laki-laki yang duduk di depan Ken memutar badan ke belakang sambil tersenyum geli, "Dan semoga saja tidak ada teman-teman sekelas, selain kami bertiga, yang mendengar keluhanmu."

"Kenapa? Pada dasarnya, aku yang memikirkan semua rencana sampai yang paling kecil. Lagi pula, Yasu, uangnya sudah dipakai. Sudah habis. Tidak ada lagi yang peduli dengan keluhanku."

Nomura Yasuhiro mengedikkan bahu, masih sambil tersenyum-senyum. Ia kemudian berdiri, memimpin ketiga temannya yang lain untuk segera pergi ke lab sains.

"Itu dia keluar, Egois Kensuke. Kau belum makan, ya?"

"Tidak perlu bertanya kalau kau sudah tahu jawabannya, Chika!"

Laki-laki yang duduk di belakang Ogawa, Shimada Chikara, mendengkus pelan sambil menyeringai. Ia mengambil buku pelajaran yang disimpannya di dalam laci meja, lalu menyusul langkah Yasuhiro.

"Hm … bukan, bukan. Ini lebih buruk dari yang ditebak Chikara," kata Ogawa menimpali, bertindak layaknya detektif. "Ken, kau kehilangan sesuatu? Kalau Ken lapar, mode 'Egois Kensuke' tidak akan keluar secepat ini. Pasti ada pemicu lain."

Ken menjentikkan jari. "Seperti yang diharapkan, Detektif Kazuhiko san! Tadi aku lewat jalan sempit di 3-Chome, anjing-anjing gila itu menghalangi jalanku. Aku tidak bawa apa-apa tadi, jadi aku merogoh asal saku celana dan membuang apapun yang ada di sana. Aku baru ingat kalau benda yang kulempar ke anjing gila itu kupon Ramen Oyaji! Kupon 30%!"

Ogawa Kazuhiko mengangguk-angguk takzim, masih mendalami perannya sebagai seorang detektif profesional. "Hm hm … jadi seperti itu."

Chikara menoleh ke belakang, lalu memukul kepala Kazuhiko dengan buku tulisnya. "Tidak usah bertingkah sok pintar begitu kalau nyatanya kau selalu ikut kelas remedial."

Ken dan Yasuhiro tertawa, sementara Kazuhiko mendengkus keras.

***

Ken dan ketiga temannya lebih suka menghabiskan waktu istirahat di atap sekolah meskipun akses menuju tempat itu dilarang, terutama untuk murid-murid. Mereka berempat duduk di pinggir atap berpagarkan jaring-jaring kawat setinggi dua meter sambil menikmati makanan masing-masing.

Ken membuka kotak bekalnya cepat-cepat, lalu segera melahap sosis yang ada di sana sebelum semuanya direbut Kazuhiko dan Chikara. Yasuhiro yang menyadari pergerakan gesit Ken terkekeh, sementara Kazuhiko dan Chikara tampak asyik mengobrol tentang hasil perlombaan softball tadi malam sehingga tidak menyadari bahwa Ken sudah membuka kotak bekalnya.

Tiba-tiba, terdengar suara ribut-ribut dari arah lapangan sepak bola. Keempat laki-laki yang duduk di atap itu menunduk dan melihat dari celah jaring-jaring. Di bawah sana, persis di tengah lapangan sepak bola, tanahnya yang kering terbelah layaknya telah terjadi gempat dahsyat beberapa detik lalu. Namun, situasi di bawah sana sama sekali tidak menunjukkan ketegangan. Justru sebaliknya.

Kelompok laki-laki dari gawang sebelah kiri terlihat tertawa terpingkal-pingkal. Sementara itu, kelompok dari gawang sebelah kanan secara bergerombol menghampiri satu orang anggota timnya yang berada di dekat retakan tanah yang menganga itu. Salah satu laki-laki dari kelompok kanan mulai terlihat berteriak-teriak tidak terima pada kelompok kiri, menuntut tanggung jawab atas apa yang telah terjadi.

Dari kejauhan, mereka terlihat seperti sedang berkelahi. Namun jika diamati lagi, salah satu laki-laki dari kelompok kiri mengangkat tangan dan bersorak meminta maaf atas ketidaksengajaannya. Laki-laki dari kelompok kiri itu kemudian menghentakkan satu kaki di sekitar permukaan tanah yang menganga lebar, kemudian retakan itu perlahan kembali menutup rapat seolah tidak ada insiden apapun sebelumnya.

"Pamer," komentar Ken sambil mengunyah telur gulungnya.

Kazuhiko tertawa. "Kita lihat nanti saat Ketteibi*, Ken. Aku akan jadi orang nomor satu yang akan menertawaimu kalau ternyata kau juga pamer-pamer kebolehan."

"Ho!" sanggup Ken sambil menelan makanannya, kemudian mengangguk. "Traktir aku roti yakisoba kalau aku menang."

Kazuhiko tertawa lagi, kali ini lebih kencang.

"… Ketteibi."

"Ada apa, Yasu? Ketteibi masih tersisa satu bulan sepuluh hari lagi. Bersabarlah."

"Oi, Ken. Tanpa kau suruh pun, dari awal Yasu adalah orang yang paling sabar di antara kita berempat," kata Chikara sambil memukul kepala Ken dengan kotak jus jeruknya yang sudah kosong.

Kazuhiko masih tertawa, roti melon di tangannya belum juga habis. "Ketteibi hanya diselenggerakan sekali setiap akhir tahun, sementara ulang tahun Yasuhiro di awal tahun. Apa gunanya orang-orang tua dulu memberi tahu kita enaknya memasuki usia 17 tahun kalau nyatanya justru seperti ini?"

Chikara mendengkus. "Kata mereka, kita bisa mengeluarkan kekuatan elemen di umur 17 tahun. Sudah sebulan sejak ulang tahunku yang ke-17, tapi aku belum bisa mengeluarkan kekuatan elemen yang ayahku maksud."

Mereka berempat tertawa.

"Dulu aku berharap jadi pahlawan super saat kekuatan elemenku muncul," kata Kazuhiko sambil menusuk sedotan ke kotak susunya, lalu menyeruputnya sampai habis dalam sekali teguk. "Bola api milik Higami keren. Jarum es milik Suimi keren. Panah angin milik Futen keren. Golem milik Jikai juga keren."

"Bola api lebih keren," sanggah Chikara.

"Panah angin," timpal Ken.

Kazuhiko, Chikara, dan Ken menoleh ke arah Yasuhiro yang tidak ikut menimpali. Laki-laki beriris mata biru jernih itu mengerjap-ngerjap polos, menatap ketiga temannya satu per satu.

"… Menurutku, semuanya keren. Aku jadi bingung memilih satu yang paling kusuka."

Kazuhiko tertawa dan merangkul Yasuhiro. "Iya, 'kan? Kupikir keempat kelompok itu memang keren-keren. Api, air, bumi, angin, belum lagi elemen gabungan lainnya. Aah … aku harap satu bulan sepuluh hari tidaklah lama."

.

bunkasai* (festival budaya)

Ketteibi* (hari penentuan)

Suka & tertarik dengan ceritanya? Tambahkan ke koleksi! xoxo

Asthareicreators' thoughts