webnovel

Prolog

[CATATAN: CERITA INI HANYALAH FIKSI]

[Akhir Abad 18]

Seorang pria dalam balutan tosei gusoku* tanpa penutup kepala berdiri menatap cahaya jingga yang hampir terbenam dimakan waktu. Cahaya jingga kemerahan memantul tidak beraturan di atas permukaan air laut yang berombak-ombak. Semilir angin berembus pelan, meniupkan bebauan tidak sedap mengusik hidung. Namun, pria itu sama sekali tidak tampak terganggu. Wajah kerasnya sama sekali tidak mempelihatkan emosi sekalipun aroma amis membelai indra penciumannya dan mayat-mayat bergelimpangan ke mana pun matanya mengarah.

"… Masanobu?"

Pria itu dihampiri oleh seorang pria berjanggut panjang dengan busur di tangan kanannya. Busur itu tiba-tiba terlepas dari genggamannya dan jatuh ke tanah bebatuan seolah jemarinya tak lagi kuat menahan bebannya. Ia kemudian berjalan pelan mendekati Masanobu dengan bola mata bergetar. Meskipun tampak terkejut, pria itu tidak berkata apa-apa.

"Sudah berakhir," kata Masanobu sambil menatap kosong tubuh-tubuh tak bernyawa yang bergelimpangan di atas pasir pantai dan yang hanyut terseret ombak. "Setidaknya untuk saat ini."

Masanobu menunduk sementara di sampingnya terdengar isak tangis pelan yang begitu menyayat hati. Semilir angin sejuk berputar-putar pelan di atas keduanya, seolah ingin meredakan sedikit ketegangan atmosfer di antara mereka.

"Kyosuke … Ryuu … Ami … Aku bahkan tidak bisa mengenali wajah-wajah mereka di antara semua mayat yang kutemui," rintih pria di samping Masanobu. Ia kembali tersedu tanpa kata, kemudian menengadah dan memperlihatkan matanya yang berlinang. "Bagaimana dengan anak-anakmu? Tomie? Apa mereka berhasil pergi?"

Masanobu terdiam lama, membuat kawannya merasa bersalah telah menanyakan perihal sensitif seperti itu. Namun tampaknya, emosi dalam diri Masanobu telah hilang bersamaan dengan semangat hidupnya. Ia menjawab pertanyaan kawannya dengan gelengan kepala dan suara datar. "Entahlah."

Kedua pria itu duduk bersebelahan di atas bukit tandus sambil menonton momen-momen ketika matahari berlalu menuju peraduannya. Permukaan laut yang sebelumnya masih berombak-ombak kini tampak begitu tenang, bagai permukaan meja transparan. Batang-batang pohon tumbang berserakan di sekitar pantai, beberapa di antaranya yang terseret ombak kini mengapung diam di tengah laut. Area bukit lain yang lebih banyak ditumbuhi pepohonan masih tampak menyulutkan titik-titik api dan asap yang mengepul menuju langit. Retakan-retakan tanah menganga lebar di berbagai sisi permukaan tanah, seolah-olah gempa besar ikut meramaikan suasana dan menelan manusia-manusia tamak yang berjalan di permukaannya.

"Pergilah, Touma," kata Masanobu. Pria di samping Masanobu terkesiap, menatap kawannya dengan mata membelalak. "Pergilah ke selatan. Kalau beruntung, kamu akan menemui teman-temanku. Katakan pada mereka kalau kamu adalah sahabatku, maka aku yakin mereka akan mengizinkanmu ikut dalam rombongannya."

Masanobu membalas tatapan tidak percaya Touma dengan tatapan bersungguh-sungguh. Namun, Touma menggeleng. Bertahun-tahun ia bersahabat dengan Masanobu, ia hapal semua tindak-tanduknya. Ia jelas-jelas tahu maksud di balik perkataan Masanobu. Touma menggeleng keras.

"Mereka tidak akan mengganggu jika seseorang tidak mengganggu keluarganya," tambah Masanobu, sama sekali tidak mempedulikan ketidaksetujuan Touma atas usulnya untuk menyuruhnya pergi ke selatan. Masanobu berdiri, mengarahkan telunjuknya ke arah mayat-mayat yang bergelimpangan di pantai, kemudian semburan api membakar mereka secara bersamaan. Touma menatapnya dengan sepasang mata dan mulut terbuka lebar.

"Aku berani bersumpah, bukan kami dalang di balik semua ini. Bukan aku. Bukan keluargaku. Bukan teman-teman klanku. Bukan Higami."

Touma ikut berdiri sambil mencengkeram bahu Masanobu yang terlihat kehilangan kekuatannya. "Jangan bicara seolah-olah kamu akan mati! Aku akan pergi, asalkan kamu ikut denganku!"

"Tidak ada gunanya aku pergi."

Touma mulai emosi. Ia mengangkat tangan kanannya dan membuat tiupan angin kencang mengarah pada Masanobu. Namun, sapuan angin itu masih kalah cepat dengan refleks tubuh Masanobu yang sudah lebih dulu berkelit ke samping sehingga angin itu salah sasaran dan menghantam bebatuan.

Sebelum Touma mampu membaca pergerakannya, Masanobu menghampiri sahabatnya, mendorongnya hingga terguling ke bawah dan mendarat di atas pasir pantai dekat tumpukan para mayat yang terbakar. Touma mendongak, kemudian berseru meminta Masanobu untuk turun dan ikut pergi bersamanya, pria itu hanya diam dan menggerak-gerakkan tangan menyuruhnya pergi. Touma yang tidak juga pergi kemudian dilempari bola-bola api oleh Masanobu, yang Touma tahu bukan ditujukan untuk membuatnya takut melainkan untuk membakar para mayat dan memaksanya pergi, meninggalkan Masanobu seorang diri.

Ketika Touma sudah cukup jauh meninggalkan pantai, ia menoleh ke belakang dan menatap Masanobu yang terlihat berjalan menghampiri ujung bukit. Tepat di bawahnya, pasir pantai yang mulanya disesaki mayat kini berubah menjadi lautan api. Masanobu menunduk, sementara Touma menjerit kencang meneriakkan nama sahabatnya, yang pada akhirnya memilih terjun ke dalam lautan api yang dibuatnya.

"Masanobu ...," ratap Touma sambil berlalu menuju selatan. "Aku tidak akan pernah melupakanmu. Aku percaya denganmu. Aku tidak pernah menyalahkanmu, keluargamu, klanmu, atau Higami."

.

.

.

[Abad 21]

Seorang perempuan berambut hitam panjang tampak berkacak pinggang di samping meja makan. Sementara ibunya tengah mencuci piring bekas makan, perempuan itu menatap sebal ke arah seporsi makanan yang masih utuh tak tersentuh milik seorang anggota keluarganya yang selalu saja bangun terlambat.

Tidak ingin membiarkan kekesalannya bertumpuk di ubun-ubun, ia berjalan menghentak menuju lantai dua dan mulai mengetuk kasar pintu kamar yang berada persis di samping kamarnya.

"Ken!!! Bangun!!! Sampai kapan kamu mau tidur?!"

Sama sekali tidak ada tanda kehidupan dari balik pintu kamar. Perempuan itu semakin kesal dan mencoba untuk masuk ke dalam. Ketika ia memegang kenop pintu yang terbuat dari besi, ia terperanjat dan segera menarik tangannya kembali secepat kilat karena ia merasa seolah-olah sedang memegang besi panas.

Ia penasaran, menatap kenop pintu itu selama beberapa saat, lalu memutuskan untuk mengabaikannya dan kembali membangunkan pemilik kamar.

"Berisik," kata si pemilik kamar yang dengan terang-terangan menunjukkan kondisi baru bangun tidur ketika pintu ia buka. Ia menguap lebar, menggaruk kepala, kemudian menatap kakak perempuannya dengan mata setengah terbuka. "Apa?"

"'Apa'?! Ini sudah jam delapan! Kalau kamu tidak segera siap-siap, kamu akan terlambat ke sekolah! Makananmu juga akan dingin kalau tidak segera ke bawah."

Laki-laki 16 tahun itu membelalak dan segera berlari masuk ke kamarnya untuk memakai seragam sekolah. Ia bahkan tidak menyadari kepergian kakaknya dan dengan terburu-buru meraih tas dan segera turun ke bawah. Di bawah, ibunya yang telah selesai mencuci piring menghampirinya.

"Ken, lain kali jangan tidur terlalu larut," kata ibunya sambil memasukkan kotak bekal ke dalam ranselnya.

Ken yang memperhatikan itu sambil memasang simpul tali sepatu mengangguk sekilas dan berlalu secepat kilat. Membanting pintu sambil berteriak, "Aku berangkat!"

.

*tosei gusoku* (semacam baju perang)

Hello & welcome to my first novel debut!

Hope you like this kind of story

eventhough I still have a bunch shortcoming in all aspects

Also, I wanna know your response about this novel

Thx & CU!

Asthareicreators' thoughts