Menunggu selama satu bulan sepuluh hari memang tidaklah sebentar. Namun, aktivitas mereka yang padat membuat durasi waktu itu terkuras dengan cepat, seolah hari-hari sebelumnya hanya berjalan sekali kedipan mata setiap harinya.
Desember menyapa. Angin dingin mulai bertiup ke seluruh penjuru kota. Siang itu seperti biasa, Taniguchi mendongengkan pelajaran sejarah di kelas 2-3 yang didominasi oleh kepala-kepala menunduk lemah.
Pemandangan langka terlihat di meja baris belakang. Ken yang biasanya tidak pernah menyimak pelajaran Taniguchi kini duduk tegak di kursinya. Ken sendiri tidak tahu-menahu mengapa matanya siang itu terasa sangat berenergi. Karena dia sendiri pun bingung, Ken tidak punya pilihan lain selain menyimak kisah dari wali kelasnya dengan posisi menopang dagu.
"Pada tahun 1798, Empat Kelompok Besar mendapat propaganda dari seorang anonim. Kabarnya, propaganda itu disebarkan oleh ninja bayaran dari Higami, salah satu dari Empat Kelompok Besar pemuja api. Namun, kabar itu dipatahkan dari beberapa petinggi Jikai, kelompok penguasa elemen bumi, yang mengatakan bahwa berita itu tidak beralasan dan akan semakin memperkeruh keadaan jika langsung diterima tanpa bukti kuat. Futen, kelompok berelemen udara yang memegang kuat prinsip perdamaian dan keselamatan, berusaha meminimalisir suasana dan membantu kalangan masyarakat lemah untuk evakuasi. Merasa terdesak dan terancam, kelompok pemuja elemen air, Suimi, mulai memperkuat penjagaan di keresidenannya. Sementara itu, Higami tetap bungkam dan memilih untuk mengurung diri di keresidenannya guna mengurangi kabar burung yang beredar.
Agustus 1798, kediaman Kepala Administrasi Jikai diserang secara membabi buta oleh sekelompok pengguna elemen api dan udara. Terjadi ledakan api dahsyat, disusul oleh tiupan angin tornado yang mengakibatkan kobaran api membesar dalam waktu singkat dan melahap kediaman Kepala Administrasi serta beberapa rumah warga di sekitarnya tak lebih dari setengah jam.
September 1798, gerbang keresidenan Suimi hancur oleh terjangan angin dahsyat. Para penjaga keamanan segera memfokuskan penjagaan di sekitar gerbang, sementara serangan lain berupa gempa dan tanah longsor kembali mengejutkan para penjaga keamanan yang saat itu tidak bisa berbuat banyak selain mengevakuasi mayat-mayat korban yang tertimbun reruntuhan.
Oktober 1798, Kepala Penasihat Futen mendapat serangan dadakan berupa tembakan panah es dalam perjalanannya membantu evakuasi warga. Panah es yang datang layaknya hujan lebat membuat Kepala Penasihat Futen terpaksa berlindung di sebuah gubuk kayu di sekitar ladang gandum. Sayangnya, gubuk itu bukan tempat yang tepat karena tiba-tiba saja sebuah ledakan besar disusul kepulan asap dan kobaran api muncul dari balik bangunan kayu itu. Sumber ledakan tidak diketahui secara pasti. Akibat ledakan itu, gubuk kayu dan seperempat bagian lahan gandum hangus terbakar.
November 1798, area keresidenan Higami ditimpa hujan batu berukuran besar yang membuat banyak rumah warga dan para penghuninya rata dengan tanah hanya dalam waktu hitungan detik. Belum selesai sampai di situ, danau besar yang terletak tidak jauh dari pusat keresidenan Higami menunjukkan pergerakan tidak biasa. Pusaran air besar setinggi lima meter membuat warga yang sedang berada di area sekitar ketakutan dan berlarian menjauh. Namun, gulungan air telah lebih dulu menyapu mereka menuju reruntuhan rumah warga yang sebelumnya hancur akibat hujan batu."
Taniguchi menaikkan pandangannya dari buku kepada murid-muridnya. Bola matanya yang semula bergerak memindai kemudian berhenti di suatu titik yang membuatnya membelalak lebar. Ia hampir tidak mempercayai indra penglihatannya sendiri. Ia membetulkan posisi kacamatanya, lalu menyipitkan mata.
"Imai kun, apa ada yang salah?"
Imai Ken yang masih duduk tegak dengan mata sepenuhnya terbuka mengangguk. "Siapa yang pertama kali menyebar gosip kalau Higami yang menyebar propaganda, Sensei? Lalu pada penyerangan Oktober, terlalu aneh rasanya kalau di zaman itu pengguna elemen api dan air berkolaborasi menghancurkan Futen."
Taniguchi menjatuhkan rahang. Ia merasa sedang bermimpi. Ada apa ini? Apa yang terjadi pada satu muridnya yang selalu ia temui selalu tidur atau bermain dengan dunianya sendiri? Apa dia sakit? Apa kepalanya terbentur sesuatu yang keras?
Atau jangan-jangan yang bicara padanya saat ini bukanlah Imai Ken melainkan ruh dari salah satu petinggi Empat Kelompok Besar yang masih tidak terima atas kematiannya yang tidak masuk akal?
Sepertinya, bukan hanya Taniguchi yang terkejut karena seluruh mata di kelas 2-3 saat itu ikut memperhatikan Ken dengan tatapan tidak percaya. Ketiga sahabat Ken yang hapal betul kebiasannya pun ikut menoleh, menatap laki-laki berjaket kuning itu dengan tatapan aneh sekaligus takut.
"Sensei? Apa pertanyaan saya terlalu sulit?"
"… Aah," Taniguchi kembali fokus pada buku yang hampir terjatuh dari genggamannya. "Penyebar propaganda sekaligus rumor 1798 sampai saat ini masih belum diketahui secara pasti. Oleh karena itu, di buku hanya tertulis sebagai anonim. Yang baru diketahui hanyalah sosok itu seorang ninja bayaran. Kemudian untuk perlawanan terhadap Futen pada Oktober 1798, banyak yang berpendapat bahwa itu bukan dari seorang pengguna elemen melainkan trik yang biasa digunakan oleh para ninja tidak bertuan. Ada juga pendapat lain yang mengatakan bahwa itu memang ulah pengguna elemen yang berkhianat dan mencoba menghancurkan keseimbangan empat elemen besar yang ada pada saat itu."
Sebagai guru yang profesional, Taniguchi melanjutkan pelajarannya dengan membaca lanjutan kalimat dari buku ajar. Ken kembali menyimak dengan fokus.
"Ken, kau sakit?"
"Jangan memaksakan diri, Ken. Ayo, kuantar ke UKS."
"Aku punya permen karet rasa mint favoritmu, Ken. Mau?"
Perhatian dari ketiga teman baiknya hanya dibalas Ken dengan delikan mata sambil mengarahkan telunjuk di depan bibirnya yang terkatup rapat. "Sshh!"
Mereka bertiga terperanjat, kemudian saling tatap selama beberapa menit.
"Apa Ken benar-benar sakit?" tanya Yasuhiro pada Chikara dan Kazuhiko yang sama-sama mengedikkan bahu. Yasuhiro melirik Ken dengan tatapan khawatir.
"Kupikir kepalanya terbentur sesuatu, lalu dia amnesia. Makanya, Ken tiba-tiba jadi seperti itu."
"Kau bodoh?" Chikara memukul pelan punggung Kazuhiko dengan kepalan tangannya. "Sejak kapan Ken jadi selemah itu hanya karena kepalanya terbentur? Lagi pula, tebakanmu terlalu drama. Tidak ada yang seperti itu di dunia nyata!"
"Ya … menurutmu sendiri bagaimana? Kenapa dia tiba-tiba jadi rajin begitu? Mustahil 'kan—"
Ucapan Kazuhiko terhenti ketika dia, Chikara, dan Yasuhiro kembali melihat keanehan berikutnya dari Ken. Ken mengacungkan tangan, kembali memberi komentar terhadap dongeng yang dibacakan Taniguchi, yang sama sekali tidak disimak oleh mereka bertiga.
"Akhir cerita itu terdengar janggal, Sensei. Kalaupun benar Ketua Higami adalah dalang di balik semua itu, kenapa akhirnya dia memilih untuk membiarkan Ketua Futen hidup, dan membiarkan dirinya sendiri terbunuh? Kalaupun dia memang berencana menghancurkan Empat Kelompok Besar, seharusnya dia bunuh saja Ketua Futen dengan tangannya."
Seisi kelas kembali dipenuhi atmosfer canggung. Ketiga sahabat Ken tidak lagi bisa bereaksi. Sampai kemudian bel berbunyi dan Taniguchi dengan agak gugup mengakhiri sesi pembelajaran.
"Hari ini kita sudahi sampai sini," ucap Taniguchi sambil membersihkan tenggorokannya. Ia menatap murid-muridnya, terutama Ken, dari balik kacamatanya. "Untuk minggu depan, saya mau kalian menulis esai berisi pandangan kalian masing-masing terkait akhir perang 1798."
Selesai mengatakan itu, Taniguchi ke luar kelas diiringi riuh suara murid-murid kelas 2-3 yang memprotes Ken. Akibat ulahnyalah, Taniguchi memberi tugas itu, pikir mereka. Ken memandangi mereka dengan tatapan polos, lalu meminta maaf.
"Ken, kau sakit? Ayo, kuantar ke UKS. Atau kau mau langsung pulang saja? Kau sanggup berjalan? Tidak pusing?"
Yasuhiro yang sedari tadi khawatir pada perubahan sikap Ken segera menghambur ke arahnya. Ken yang sama sekali tidak merasa sakit di sekujur tubuhnya memandang Yasuhiro dengan tatapan heran.
"Siapa yang sakit? Aku baik-baik saja, kok."
Yasuhiro jelas-jelas tidak percaya sehingga ia sibuk membantu merapikan barang-barang Ken dan memasukkannya ke ransel temannya itu. Chikara dan Kazuhiko pun ikut menghampiri meja Ken.
"Ayo, kalau kau tidak kuat berjalan, aku siap meminjamkan bahuku."
Ken menatap Kazuhiko dengan kening berkerut. "Kalian bicara apa, sih?"
Chikara yang agaknya mulai kesal dan ingin cepat-cepat ke luar kelas langsung membantu Ken berdiri dengan cara memapahnya. Namun ketika ujung jarinya menyentuh lengan Ken, ia refleks menarik tangannya kembali. Matanya membelalak heran.
Dilanda heran sekaligus penasaran, Chikara mencoba menyentuh Ken lagi. Kali ini, ia mengarahkan telapak tangannya ke kening Ken. Chikara menarik tangannya secepat kilat untuk kedua kalinya. Keningnya berkerut dalam. Ia semakin heran.
"Ken, badanmu panas sekali. Seperti termos air mendidih."
Yasuhiro dan Kazuhiko terkejut. Mereka berdua dengan agak panik ikut meraba-raba permukaan kulit Ken dari wajah sampai telapak tangan. Keduanya, sama seperti Chikara, langsung menarik tangan masing-masing ketika merasakan panas menyengat saat bersentuhan dengan kulit Ken.
Ken tampak semakin kebingungan.
"Panas?" tanya Ken sambil mengukur suhu tubuhnya sendiri dengan menempel-nempelkan telapak tangan di kening, leher, dan pipinya. "Aku merasa biasa saja."
Ketiga laki-laki berwajah pias itu tanpa pikir panjang segera membawa Ken menuju UKS. Ken sebenarnya masih tidak mengerti apa yang dibicarakan teman-temannya. Namun karena mereka memaksa, Ken akhirnya membiarkan Kazuhiko menarik lengan jaketnya dan membawanya sampai ke UKS.
"Benar-benar tidak ada yang sakit? Kepala? Jantung?" tanya dokter bermata sayu setelah memeriksa tubuh Ken. Ken menggeleng. "Hm … kalau begitu kemungkinannya cuma satu."
Keempat laki-laki itu menatap sang dokter dengan mata penasaran, menunggunya selesai merapikan stetoskop dan membereskan barang-barang pribadinya ke dalam tas yang diletakkan di dekat kakinya.
"Itu reaksi energi dalam tubuhmu."
Keempatnya menelengkan kepala dengan wajah penuh tanda tanya. Dokter menghela napas panjang, menahan kesal sambil memijat area di sekitar keningnya.
"Umurmu sudah 17, 'kan? Itu reaksi wajar, tidak ada yang aneh, walaupun kasusnya bisa dibilang jarang dan aku baru menangani tiga kasus yang seperti itu selama aku di sini. Yah … anggap saja kau spesial."
Dokter itu menyadari wajah-wajah tidak puas yang meminta penjelasan lebih lanjut, terutama di wajah pasiennya. Namun karena mata dan punggungnya terasa sudah sangat berat, ia hanya menegaskan pada Ken untuk mengendalikan emosinya supaya pusaran energi dalam tubuhnya tetap stabil. Kemudian, guru biologi merangkap dokter UKS itu memaksa mereka keluar dan meminta mereka agar segera pulang sebelum hari mulai gelap.
***
Sampai di rumah, Ken tidak menjumpai siapapun di sana. Kakaknya mungkin masih di luar bersama teman-temannya. Sudah biasa. Ayahnya mungkin masih dalam perjalanan pulang atau sedang sial mendapat jam malam lagi. Sudah biasa juga. Ibunya ke mana? Sepengetahuannya, ibunya tidak pernah pergi ke luar menjelang malam. Ken pun keluar rumah dan mencoba memeriksa keadaan sekitar.
"Ken?"
Ken segera menoleh ke arah sumber suara. Namun, itu bukan ibunya melainkan kakak perempuannya.
"Suzume! Ibu tidak ada di rumah!" adu Ken.
Imai Suzume bergumam pelan sambil mengangkat pergeralangan tangan, melihat jam tangannya. Sudah pukul enam sore.
"Sudah telepon?"
Ken menggeleng. Suzume berdecak. Perempuan berambut kuncir kuda itu mengambil ponsel dari tas selempangnya dan mencoba menguhubungi ponsel ibunya. Suzume melirik adiknya ketika teleponnya tersambung.
"Ah, Ibu? Di mana? Ken baru saja pulang tapi dia bilang tidak melihat Ibu di rumah."
Selepas itu, Suzume lebih banyak diam menyimak ucapan ibunya. Sesekali, kepalanya mengangguk sambil bergumam.
"Baiklah, baiklah. Akan kusampaikan pada Ken," kata Suzume, kemudian memutus sambungan telepon. Ia memasukkan kembali ponselnya ke dalam tas sambil menyampaikan pesan ibunya, "Ken, jemput Ibu di Toko Roti Enmaru. Cepat. Sekarang juga."
Ken memutar bola mata, namun tetap pergi ke tempat yang dimaksud Suzume. Hari sudah semakin gelap dan langit-langit mendung di atas kepalanya membuat Ken semakin mempercepat langkah menuju toko roti yang sebenarnya tidak terlalu jauh dari rumahnya.
"Sudah kubilang, dia tidak tahu apa-apa!"
Ken mengerem dan bersembunyi di balik tiang lampu jalan yang berjarak lima meter dari Toko Roti Enmaru. Ibunya ada di sana, tampak sedang berdebat dengan seorang pria berjas hitam. Ken curiga, sekaligus penasaran. Jadi, ia memilih untuk bersembunyi selama beberapa saat sebelum menghampiri ibunya.
"Aku percaya padamu, tapi aku ragu kalau dia benar-benar tidak tahu."
"Tahu apa kau?! Aku ini ibunya!"
Ken terperanjat kaget mendengar teriakan ibunya. Namun, ia memilih untuk tetap bersembunyi. Di sana, ibunya dan pria berjas hitam tampak terdiam. Pria berjas hitam kemudian mengangkat satu tangan dan melambai-lambaikannya pelan sambil melangkah meninggalkan ibunya. Ken pun keluar dari tempat persembunyiannya setelah pria berjas hitam itu sudah berada cukup jauh dari mereka.
"Ibu!"
Wanita berambut hitam sebahu dengan kardigan merah mencolok itu menoleh dan seketika memasang ekspresi kesal di wajahnya. "Lama sekali! Kenapa tidak datang dari tadi?"
Ken mengambil alih tas-tas belanja dari kedua tangan ibunya. "Supaya Ibu bisa secepatnya pergi dari pria berjas hitam tadi?"
Wanita itu terdiam sebentar, sebelumnya akhirnya menghela napas dan bergumam mengiyakan pertanyaan anak laki-lakinya. Mereka berdua berjalan pulang dengan langkah agak cepat.
"Kamu boleh penasaran, Ken, tapi kamu masih belum bisa membaca situasi dengan baik," komentar ibunya. Ken menoleh dan menunjukkan ekspresi penuh tanda tanya. "Ibu tidak ingin memperpanjang waktu dengan orang yang tadi. Seharusnya, kamu segera datang dan menghampiri Ibu agar Ibu bisa cepat-cepat pergi dari orang itu."
"Oh, maaf," gumam Ken pelan. "Memangnya dia siapa? Kenalan Ibu?"
Wanita di sampingnya tidak menjawab. Ken nyaris mengira bahwa ibunya ingin merahasiakan perihal itu pada Ken. Namun, dugaan Ken salah karena setelah beberapa saat yang panjang suaranya kembali terdengar.
"Teman lama."