Khanza sudah bisa menebaknya siapa yang telah mengirim pesan singkat padanya pagi ini.
Khanza sudah mulai geram. "Akh, sial!!! Pagi buta pun dia sudah merusak mood ku. Sudah pasti ini ulah kakak yang memberikan nomorku pada Denis."
Setelah itu, Khanza beranjak pergi menuju kamar mandi tanpa membalas pesan dari Denis. Dia sungguh tak peduli dan mengacuhkan nya begitu saja. Dalam hatinya yang di harapkan justru pak Gibran yang mengirimkannya pesan sambutan pagi yang manis.
Satu jam berlalu, Khanza sudah siap dengan seragam sekolahnya lalu keluar dari kamar. Ketika membuka kamar, Arumi sudah menunggunya dengan tatapan sengit. Seakan tak mau kalah, Khanza pun membalasnya lebih tajam. Kini, kedua kakak beradik itu seperti sedang berada dalam satu arena pertandingan bela diri.
"Bu, Ayah, aku berangkat ke sekolah." Pamit Khanza pada ibu nya yang sedang menyiapkan sarapan untuk ayah Khanza, suaminya.
"Khanza, sarapan dulu. Nanti kau sakit lagi," jawab sang ayah.
"Perlu ibu siapkan bekal untuk sarapan mu di sekolah nanti, Nak?" ucap ibu Khanza menambahkan. Sembari meletakkan nasi goreng di piring kosong, untuk Arumi.
"Enggak deh, Bu. Aku sarapan di kantin saja nanti, sudah janjian bareng Chika."
Khanza berjalan menghampiri ayah dan ibunya untuk berjabat tangan dengan santun. Dia melewati Arumi dengan sengaja, membuat ayah dan ibu mereka saling memandang dan menggelengkan kepalanya.
Lalu Arumi menyusul Khanza ketika sudah hendak keluar rumah, saat ini dia masih di teras memasang sepatu nya.
"Za, kakak mau ngomong sebentar!"
Lagi lagi Khanza mengacuhkan kakak nya, dia terus memasang sepatunya dengan terburu-buru.
"Khanza!!!" Arumi memanggilnya dengan nada cetus.
"Apa lagi? Soal Denis? Aku gak mau dengar. Males, bikin mood jelek pagi ini tau gak?" bantah Khanza dengan kesal.
"Za, kurang apa Denis bagimu hah? Dia itu baik, dia anak yang berpendidikan, dia juga manis kan, semua kriteria cowok idaman mu ada pada Denis."
"Kak..." Khanza berdiri menatapnya, dalam hatinya ingin berterus terang jika dia sudah mencintai seorang lelaki lain dan sedang menjalani hubungan dengannya. Akan tetapi, dia mengurungkan niatnya, menghentikan apa yang akan dia lontarkan.
"Apa? Apa lagi yang mau kau katakan?" tanya Arumi kian kesal.
"Hah, terserah kakak saja. Aku sedang tidak ingin ribut dengan kakak, mood ku sudah jelek sejak bangun pagi tadi. Aku berangkat ke sekolah dulu, Kak. Bye."
Begitu melambaikan tangan kasar, Khanza beranjak pergi dari hadapan Arumi. Tak pedulikan lagi bagaimana kakaknya itu terus mengomel tanpa jeda, Khanza segera mengayuh sepedanya dan pergi ke sekolah.
Sampai di sekolah, Chika sudah menunggunya di halaman parkir. Dilihatnya sahabat kecilnya itu memasang wajah masam, Chika bertanya-tanya dalam hatinya. Ada apa lagi dengannya?
"Pagi, tuan Puteri," sapa Chika mencolek dagu Khanza. Tak ada jawaban, Khanza malah semakin cemberut masam.
"Yaelah, Za. Ini masih pagi, pamali loh menyambutnya dengan wajah masam begitu." Chika mencoba mencari tahu penyebabnya.
"Udah lah, aku sedang tidak ingin banyak bicara. Tadi aku berantem lagi sama kak Arumi, nyebelin banget. Kali ini dia keterlaluan," cetus Khanza menjelaskan sembari berjalan hendak menuju kelas.
"Haduuh, memangnya sejak kapan kau dan kak Arumi akur? Bukankah sejak dulu selalu begitu?"
"Tapi kali ini bukan masalah kecil, ini tentang Denis. Cowok yang kak Arumi pilih dan di paksa untuk ku jadikan pacar. Gila gak sih?" Sembari masih berjalan, langkah Khanza berdecak sebal. Nafasnya kian bersungut-sungut dengan bibirnya yang manyun.
Langkah Chika terhenti, membuat Khanza mengerutkan kedua alisnya heran. "Za, aku boleh nanya sesuatu gak?" tanya nya kemudian.
"Apa?" jawab Khanza dengan singkat dan cetus.
"Maafkan aku jika ini sedikit menyinggungmu, tapi mau sampai kapan Za, kau begini?" Kali ini Chika berniat mengeluarkan uneg-unegnya yang selama ini membuatnya gelisah.
Mendengar ucapan Chika begitu, Khanza menyeringai. Dia menarik nafasnya dalam-dalam. Dia mengerti kemana arah pembicaraan sahabatnya itu.
"Chika, kau tau? Sejak awal aku memang hanya berniat main-main pada pak Gibran. Tapi kali ini, sepertinya aku kemakan omongan ku sendiri. Aku jatuh cinta padanya, Chika. Aku mencintainya, apa kau percaya itu?"
Chika merasa kasihan melihat sahabatnya yang saat ini sedang berusaha menahan bendungan air matanya, Chika merasa bersalah. Pertanyaannya tadi pasti sangat menyakiti nya, meski ini untuk kebaikannya.
Chika melangkah maju dan memeluk sahabatnya itu. Begitu dalam pelukan Chika, Khanza akhirnya menangis tersedu-sedu. Sungguh pagi yang buruk bagi Khanza kali ini. Sejak bangun tidur tadi, bahkan dia sudah kehilangan semangatnya.
"Za, maafin aku. Aku hanya tidak ingin melihatmu terluka lagi, aku tidak ingin ku terlalu lama terbuai, sedangkan pak Gibran… Kau tau, dia sudah berkeluarga," ucap Chika mengingatkan.
Khanza hanya diam dalam pelukan sahabatnya itu, sesaat dia merasa ucapan sahabatnya memang benar, dia hanya tidak ingin melihat diri Khanza semakin hancur nantinya. Tapi apa daya? Cinta yang tumbuh di dalam hatinya sudah begitu dalam, dia tidak mampu lagi berlari dari pelukan hati pak Gibran. Karena pak Gibran pun juga mencintai dan begitu menggilainya.
Lalu kemudian mereka kembali melangkah menuju ruang kelas. Tanpa di sengaja mereka berhadapan dengan pak Gibran yang datang dari arah berlawanan. Dia melempar senyuman pada Khanza, berharap Khanza membalasnya juga.
Cih, kau pikir aku akan membalas senyuman mu itu? Setelah kau begitu marah padaku dan semalaman membuatku menunggu pesan darimu.
Bathin Khanza, yang kemudian dia berlalu begitu saja tanpa menyapa santun pada pak Gibran, tersenyum hangat layaknya antara guru dan murid.
Chika salah tingkah melihat sikap sahabatnya itu. Yang begitu saja pergi melewati pak Gibran yang menyambutnya lebih dulu dengan senyuman.
"Pa-pagi pak," sapa Chika terbata-bata.
"Ya, pagi. Ada apa dengan sahabatmu itu? Dan kenapa matanya begitu sembab? Apa dia habis menangis?" tanya pak Gibran setengah berbisik.
"E,eh… Itu, kalau itu saya tidak tau pak. Baru sampai tadi dia sudah marah-marah gak jelas, maaf saya ke kelas dulu."
Chika pergi begitu saja dari hadapan pak Gibran. Dalam hati pak Gibran bertanya-tanya akan sikap Khanza tadi.
"Apakah ini masih tentang ibunya kemarin? Lalu mengapa terlihat marah padaku juga? Hem, sebaiknya aku menemuinya nanti. Aku harus bisa menenangkan hatinya, meski kesalku belum hilang sejak kemarin"
Setelah tiba di kelas. Khanza menghempaskan tubuhnya duduk di kursi, dan merebahkan kepalanya di atas meja. Lalu Chika datang menyusulnya, dan duduk di sebelahnya.
"Za, maafkan aku. Jangan hanya karena bicaraku tadi, kau marah pada pak Gibran," ujar Chika dengan nada lirih, dia masih merasa bersalah, menganggap bicaranya tadi terlalu ikut campur.
"Aku tidak marah dengan apa yang kau bicarakan tadi, Chik. Aku memang sedang kesal dan marah pada pak Gibran, ah sudahlah!" bantah Khanza kesal.